Nama : Halimatus
Sa’diyah Makul :Penulisan Kreatif
Nim :
5.11.06.13.0.007 Dosen Pengampu : Suwarsono, S.Pd.
Semester : IV Pagi Prodi
: Bahasa dn Sastra Indonesia
SAPU TANGAN
PERPISAHAN
Perlahan,
dari balik lekukan terendah bukit barisan yang berdiri kokoh dengan liuk-liuk
mengagumkan, mentari mulai merembat naik diufuk timur dengan pesona keindahan
yang luar biasa. Diawali dengan cahaya keemasan yang menyelimuti sang fajar, ia
muncul dengan tenang sembari menyapa alam yang ada di bawahnya. Alam pun
tersenyum.
Sambil
melepas penat, Afiza duduk membujurkan kedua kakinya di atas lapangan rumput,
menatap indahnya Kali Sadar tepatnya di desa Pengalihan. Sungai yang mirip
danau itu memang mempesona namun penuh misteri bagi masyarakat sekitar. Menurut
anggapan masyarakat, sungai itu ada penghuninya sehingga dikeramatkan.
Setiap
hari minggu, menjelang matahari terbit, Afiza dan Aqila memang biasa lari pagi
untuk menyegarkan badan sambil menghirup udara segar pegunungan. Sungguh
menyenangkan. Ketika menarik nafas dalam, udara memasuki tenggorokan dan terus
masuk menuju rongga dada. Perlahan, menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh
darah, mengalirkan kesejukan. Tenaga seolah bangkit kembali.
Afiza
membaringkan tubuh penatnya. Berbantalkan telapak tangan, ia menatap lurus ke
depan, ke atas langit, menatap semburan cahaya mentari seiring menghilangnya
bintang gemintang. Ia membayangkan masa depannya sambil berharap dapat mencapai
ketinggian langit dan bintang-gemintang. Ia bercita-cita suatu saat bisa
menjadi manusia yang bersinar seperti bintang yang menerangi di sekelilingnya.
“Qila...!”
Heru berlari kecil seraya menghampiri dua gadis itu. Mereka berdua tersentak kaget
dan membuyarkan lamunan. “Heruuu...!!! ada apa kau kemari” Aqila seakan tidak
percaya kedatangan Heru. Ia mendengar kabar dari sahabatnya bahwa Heru sudah
berangkat melanjutkan sekolah SMA di pulau Jawa.
“Her..
katanya kamu sudah berangkat ke pulau Jawa? Kapan!! Tanya Aqila seraya
memainkan rambutnya yang di kepang dua menambah keelokan wajahnya. “emmm aku
sebenarnya berencana berangkat seminggu yang lalu. Namun, kakekku meninggal”. Jawab Heru sambil mengerutkan jidadnya tanda
ia sedih. “Innalillahi Waa Inna Ilaihirajiun, kami turut berduka cita atas
meninggalnya kakekmu Her”. Lirih Afiza dan Aqila sambil menatap Heru dengan
penuh keharuan. “terus kamu merencanakan untuk berangkat kapan...!?” Afiza
bertanya tentang keberangkatan Heru.
Heru
tertekun mendengar pertanyaan Afiza. Hatinya gemetar jantungnya dag dig dug
terasa mau copot. Semenjak di bangku kelas sebelas, ia jatuh cinta kepada
Afiza. Namun, Afiza tidak menyadari hal itu. “Heru..!!!! jawab pertanyaanku kok
malah bengong gitu sih!” sentak Afiza, ia geram melihat sikap Heru yang tidak
lekas menjawabnya. “ em..em..em.. maaf kamu tadi bertanya apa Za” Heru tersipu
dan jadi salah tingkah di hadapan gadis cantik itu, sampai-sampai ia tidak bisa
menjawab pertanyaannya. Lidahnya terasa pilu dan kaku, bicaranya terbata-bata
dan tidak tersusun arah.
Matahari
sudah naik sepenggalah, Afiza dan Aqila beranjak meninggalkan danau yang penuh
misteri itu. Heru pun juga ikut beranjak. Mereka berpisah di persimpangan jalan
desa yang meliuk-liuk melewati pematang sawah. Hanya itu jalan satu-satunya
yang menghubungkan antar desa satu dengan desa lainnya.
Pada
hari Rabu, Aqila berencana mau pergi ke toko buku Toga Mas untuk mencari buku tentang
sastra. Saat ia mau naik angkot jurusan kota, ia bertemu dengan Heru. “Hai
Aqila tungguuuu..mau kemana?” sapa heru seraya menghampiri Aqila, ternyata Heru
juga mau naik Angkot yang sama. Ia berencana untuk membeli beberapa baju untuk
di bawa ke Jawa“ Aku mau ke kota mencari buku di Toga Mas.” Kalu kamu mau
kemana Her!!” Aqila balik bertanya. “ em aku mau ke toko pakaian, bagaimana
kalau kita bersama-sama Kebetulan toko
pakaian yang aku tuju berdekatan dengan toko buku yang kau maksud”. Setelah
terdiam sejenak Aqila menjawab “ Ok! Ok! Kalu begitu.
Akhirnya
sampai dan turun tepat di halaman parkir toko buku. Aqila melenggang santai
memasuki toko buku di ikuti Heru. “Qila kamu mencari buku apa? Kali aja aku
bisa bantu” tanya Heru sambil melihat tumpukan rak-rak yang berisi berbagai
macam buku. Mulai dari ilmu pengetahuan, matematik, agama dan sastra bahkan
bacaan umum. “aku mencari buku tentang sastra Her!” Aqila memulai memilah-milah
buku yang ia cari. Di sela-sela rak yang bertumpuk delapan Aqila menatap satu
buku dengan mata yang berbinar-binar, karena apa yang ia cari membuahkan hasil.
Ia tidak menghiraukan pembicaraan Heru yang mulai kesana kemari tidak tau
jluntrungannya. “Her aku sudah mendapat kan buku yang selama ini aku
idam-idamkan” Aqila menginginkan buku yang berisi tentang panduan sastra fiksi.
Ia sangat menyukai cerpen sehingga ia ingin suatu saat menjadi penulis cerpen
yang handal. Heru ikut senang melihat keberhasilan Aqila yang susah payah
mendapatkan buku, sudah hampir dua puluh putaran mereka di toko buku itu. Heru
menghela nafas seraya berkata dalam hatinya ”akhirnya dapat juga”.
Mereka
beranjak dari toko buku ke sebuah warung yang menyuguhkan berbagai makanan dan
minuman. Mulai dari nasi berbagai macam sayur samapi makanan ringan, minumannya
mulai dari yang panas sampai yang dingin. Heru dan Aqila memesan minuman es
jus, sambil melepas dahaga mereka berbincang-bincang. Heru curhat tentang isi
hatinya kepada gadis pujaan yang bernama Afiza, ia ingin mengutarakan rasa
sayangnya kepada Afiza. Namun, ia bingung memulai dari mana. “Qila sebenarnya
aku sudah lama jatuh cinta kepada Afiza! Kamu maukan membantu untuk mencurahkan
perasaanku ini kepadanya?” Aqila mendengarkan sambil menikmati segarnya jus
strowberi kesukaannya. “apa her yang dapat aku lakukan untuk menolongmu?”. Heru
menyusun rencananya dengan penuh jeli dan rapi. “Begini Za aku kan tidak
mungkin bertemu dengan Afiza dan langsung menyatakan cinta kepadanya. Kamu
taukan keluarga Afiza sangat fanatik” Aqila mengangguk-angguk tanda mengerti
apa yang dimaksud Heru mengenai Afiza.
Afiza
adalah anak gadis yang sangat cantik, kalem dan taat beribadah. Ia sangat
menurut orang tuanya, ia tidak diperbolehkan keluar dengan anak laki-laki yang
bukan mahromnya. Oleh karena itu Heru meminta bantuan kepada Aqila. “Qila! Aku
titip surat ini, tolong sampaikan kepada Afiza ya” Heru menyodorkan sepucuk
surat yang dibungkus amplop berwarna merah jambu dan bermotif bunga-bunga dan
gambar hati. “emm sejak kapan kamu menulisnya Her!” tanya Aqila dengan penuh
heran. “Sebenarnya surat ini sudah lama aku tilis Qila. Namun, aku menunggu
momen yang tepat untuk menceritakannya kepadamu. Agar kamu mengerti maksudku.
Begitu!!! Tukas Heru kepada Aqila.
Setelah
dahaganya di rasa sudah cukup, mereka beranjak ke toko pakaian. Di sana, Heru
sibuk memilih kemeja dan baju koko yang cocock untuk dirinya. Setelah
mendapatkan sebuah kemeja motif garis-garis berwarna biru kalem dan sebuah baju
koko warna putih bersih bermotif ala Uje, ia langsung kekasir untuk membayar.
Rupanya hari sudah siang, jam menunjukkan pukul satu lebih lima belas. Dirasa
sudah cukup apa yang mereka cari, kemudian mereka langsung pulang bersama.
Sesampainya
di rumah. Heru melepas penat sambil berbaring di atas dipan yang terbuat dari
ayaman bambu. Di benaknya selalu terlintas wajah Afiza yang berseri-seri. “
Astagfirullahal Adzim... betapa sempurnanya makhluk ciptaan-Mu yang bernama
Afiza ini ya Allah!!!!” berdosakah aku membayangkannya” gumam Heru dalam hati.
Tak lama kemudian ia teringat shalat, lalu ia segera mengambil air wudhu dan
menunaikan shalat Dduhur.
Setelah
melepas lelah dan shalat Dhuhur, Aqila membuka-buka buku yang ia beli tadi. Ia
mengambil buku dan melanjutkan menulis cerpen. Ia tidak tau bahwa ia akan
menjadi satrawan hebat. Setelah ia mulai bosan, ia teringat amanah Heru
kepadanya. Ia bergegas kerumah Afiza dan menyampaikan surat titipan Heru. “
Assalamualikum..... Afiza!!” tak lama kemudian ada disuara laki-laki di balik
pintu. “Waalaikum salam..” balas ayah Afiza. “ee kamu ternyata Aqila... ayo
masuk” ayah Afiza membukakan pintu sambil mempersilahkan Aqila masuk. “terima
kasih Pak Hamzah” Afizanya ada Pak!!!” tanya Aqila sambil melenggang masuk
keruang tamu. Tak lama kemudian Afiza berseru kepada ayahnya dari dalam kamar “
Abi siapa yang datang??”. Ini Aqila mencarimu” kata Pak Hamzah kepada putrinya.
Dua
sahabat ini bertemu dan mengobrol kesana kemari dihalam depan rumah. Dirasa
sudah cukup basa basiny Aqila menyampaikan maksud kedatangannya kepada Afiza.
“Za ini ada titipan untuk mu” Aqila menyodorkan surat merah jambu kepada Afiza.
“Qila ini apa dan dari siapa” Afiza tidak mengerti pemberian sahabatnya ini.
“Sudahlah Za kamu akan tau apa dan siapa yang memberi ini kepadamu” Aqila
menggenggamkan surat tersebut sambil meyakinkan Afiza. “Za aku pamit dulu ya..!
nanti kita lanjutkan saat berangkat mengaji. “Qila..a.. aku tidak mau menerima
ini, aku takut Qila”. Afiza menarik tangan Qila agar dibawanya kembali surat
itu. Aqila berkata sambil meninggalkan halaman rumah Afiza. “sudahlah Za,
percayalah padaku. Itu bukan apa-apa kok...” .
Setelah
berfikir sejenak, Afiza masuk rumah dan terus ke kamarnya. Ia bingung apa yang
meski ia lakukan terhadap surat itu. Badannya gemetar, lemas dan lunglai.
Karena baru pertama kali ia mendapat surat yang penuh misterius. Ia
membolak-balikkan amplop di tangannya, dilihat dan ditrawang isi surat tersebut
tanpa berani membukanya. Setelah lama, ia beranjak mandi untuk siap-siap
berangkat mengaji di pesantren dekat rumahnya.
“Afiza...!!
terdengar sayup-sayup dari halaman rumah suara Aqila memanggil untuk berangkat
mengaji bersama. “Iya... tunggu”. Afiza terlihat murung, wajahnya penuh
kebingungan semenjak menerima surat dari sahabatnya tadi siang. “Za dari tadi
kok bengong sih...!! memikirkan isi surat tadi ya? Goda Aqila kepada
sahabatnya. “ iihh.. apaan sih Qila ini ada-ada aja!!!” Afiza tersipu malu,
hatinya di penuhi pertanyaan sipa yang mengirimkan surat tersebut. Ia tidak
berani bertanya kepada sahabatnya, karena tadi siang sudah sangat jelas kata-kata
Aqila. “cieh... cieh... ada yang sedang berbunga-bunga niye!!!” imbuh Aqila
menggodanya.
“Berbunga-bungan!!
Maksudnya apan Qila” tanyanya sejurus. “Lah emang belum di baca ya suratnya kok
masih bertanya kepadaku” timpal Qila yang seakan tidak perduli dengan sikap
sahabatnya. “Qila...! terus terang aku tidak berani membukanya bahkan sampai
membacanya” lirih Afiza. “O.. begitu critanya Za” ledek Aqila lagi. “ Qila
maukan kamu menemaniku membaca surat yang kamu berikan tadi? Please!!!” pinta
Afiza merengek kepada Aqila. “wani piro Za.. ha ha ha?” baiklah Za, ku temani
kamu membuka surat itu, tapi aku ndak mau membacanya. Karena surat itu adalah
khusus untuk kamu”. “Iya..iya Qila bawel!!”
Sepulang
dari mengaji, mereka langsung pulang. Kali ini Aqila di tarik Afiza untuk
shalat magrib berjamaah di rumahnya. Setelah selesai shalat, mereka duduk-duduk
di halaman rumah Afiza. Lalu mereka memulai membuka surat tersebut, dan Afiza deg
degan, tangannya gemetar saat membuka laipatan surat yang berbentuk hati.
Bibirnya kaku dan kelu, ia mulai membaca.
“Assalamualaikum...”
Apa kabar Afiza? Maaf aku telah lancang
mengirimkan surat untukmu. Ku harap setelah membaca surat ini, kamu memahami
dan mengerti isinya.
“Za!! Aku tak tahu memulainya dari
mana, pena ini menorehkan tintanya mengikuti kata hati ku... aku tak sanggup
untuk mengendalikannya. Seperti itulah perasaanku padamu selama ini. Rasa ini
sudah lama bersemayam dihatiku, namun aku tidak ada keberanian untuk
mengungkapkannya.
Mungkin inilah saatnya, rasa ini aku
sampaikan kepadamu. Aku mencintaimu karena Allah, aku menyayangimu karena
Allah. Maukah kamu menerima ku yang selema ini Za?? Aku tidak butuh jawabanmu dengan terburu-buru,
aku akan menunggu sampai kapanpun kamu siap.
Aku kira hanya itu maksud hati yang
akan ku sampaikan kepadamu.
Wassalam...
Ttd
Yang mencintaimu
Heru Prastyo
Setelah
membaca dan mengerti isi surat, Afiza menceritakan kepada Aqila. Ternyata
selama ini ia juga memendam rasa cinta kepada Heru.
Hari
pemberangkatan Heru telah tiba, ia berkemas untuk persiapan berangkat besok.
Sudah satu minggu Afiza belum juga membalas suratnya. “Yah... mungkin Afiza
tidak mau menerimaku” desah Heru dalam hati. Tak lama kemudian Aqila muncul
“Her sini..!!” Aqila melambaikan tangannya. “Qila.. akhirnya kamu muncul juga”
tukas Heru seraya menghampirinya. “Gini Her.. besok kan kamu mau berangkat,
sebelum berangkat Afiza ingin bertemu kamu! Kamu bisa kan Her....!!!” Heru
menngangguk.
Afiza
dan Heru bertemu di dekat danau. Kemudian Afiza mengatakan bahwa iya juga
mencintai Heru sudah lama. Merekapun jadian menjadi sepasang kekasih. Namun,
hari itu merupakan awal dan akhir pertemuan mereka. Betapa sedih hati Afiza,
tanpa terasa tetesan intan jatu di pipi putihnya. Kemudian Heru mengusapnya
dengan sapu tangan berwarna biru cerah bermotifkan batik. Mereka berpisah di
saksikan desahan angin dan gemercik ombak danau. Seakan alam merasakan
perpisahan mereka.