Makalah
KAJIAN PROSA FIKSI
Disusun untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Apresiasi Prosa Fiksi
Disusun Oleh:
Rizka Wulandari
PROGRAM STUDI BAHASA DAN
SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
UNIVERSITAS ISLAM
MAJAPAHIT
MOJOKERTO
2013
2.1 Hakikat Kajian Fiksi
Istilah kajian,
atau pengkajian itu mengandung pengertian sebuah proses penelaahan, atau
penyelidikan. Ia merupakan pembedaan dari perbuatan mengkaji,
yang dalam KBBI itu dapat diartikan sebagai sebuah proses belajar, mempelajari,
memeriksa, menyelidiki, meneliti, memikirkan, mempertimbangkan, menguji,
menelaah baik buruknya suatu perkara yang dalam bab ini adalah pengkajian
terhadap sebuah karya fiksi, dimana kita dituntut untuk mampu menyelidiki dan
meneliti apa yang ada dalam sastra fiksi, baik itu unsur intrinsik maupun unsur
ekstrinsik, ataupun mengkaji makna tersurat ataupun tersirat yang tarkandung
dalam sastra tersebut.
Selain
menggunakan kata kajian dalam materi ini, penggunaan kata analisis itu sendiri
sering ditafsirkan dalam konotasi yang
cukup negatif. Kesan yang jarang ditimbulkan dari kata tersebut adalah kegiatan mencincang-cincang karya satra
atau memisah-misahkan bagian-bagian dari keseluruhan. Karena konteks
pemakaiannya pun sudah berbeda, terutama kata “ mencincang “ itu mempunyai arti
mencencang ( memotong ) halus. ( KBBI, edisi ketiga 20007, hal. 214 ). Berarti
kata ini lebih khususnya digunakan dalam hal pemotongan / memcincang sebuah
bahan pangan, bukan dalam karya sastra.
Kegiatan analisis kesastraan mencoba memisahkan
bagian-bagian dari keseluruhan, yang dianggap sebagai kerja sia-sia. Anggapan tidak semuanya
dianggap sebagai suatu hal yang salah ataupun patut disalahkan, dan juga belum
tentu patut dibenarkan, karena semua itu membutuhkan penjelasan yang lebih lanjut
bagaimana hakekatnya kegiatan analisis karya sastra itu sesungguhnya. Mengenai
makna analisis itu sesungguhnya mengandung
pengertian hampir sama dengan makna kajian, yaitu : penyelidikan terhadap suatu
peristiwa ( karangan, perbuatan, dsb. ) untuk mengetahui keadaan yang
sebenarnya ( sebab-musabab, duduk perkaranya ). ( KBBI, edisi ketiga
20007, hal. 42 ).
Dari
penjelasan di atas sudah dapat ditangkap bahwa sesungguhnya kegiatan analisis
itu pada hakekatnya tidaklah kegiatan memisahkan dari seluruhnya tetapi
melakukan suatu kegitan penyelidikan apa saja yang ada didalam karya sastra
tersebut secara keseluruhan bagian-bagian dari karya sastra itu sendiri. Tetapi
semua itu tergantung dari cara sudut pandang mereka, para-para peneliti sastra
mengartikan sejatinya kegiatan analilis karya sastra itu seperti apa. Karena
dari sekian pendapat yang dikemukakan pastinya mempunyai alasan tersendiri yang
menguatkan argumennya masing-masing.
Selain kata
analisis dan kajian, dikenal juga kata “ apresiasi
“. Banyak pengertian mengenai makna dari mengapresiasikan sebuah karya
sastra. Istilah apresiasi berasal dari bahasa Latin “ apreciatio “ yang
berarti “ mengindahkan” atau “
menghargai “. Menurut Gove,
apresiasi itu mengandung pengertian :
1. pengenalan melalui
perasaan atau kepekaan batin, dan
2. pemahaman dan pengakuan terhadap nilai-nilai
keindahan yang diungkapkan pengarang.
Kajian terhadap karya sastra, termasuk fiksi,
mencakup berbagai aspek. Aspek-aspek tersebut, yaitu :
1. Aspek penghayatan
Berkaitan
dengan keterlibatan emosi pembaca dalam upaya menikmati dan menghayati
unsur-unsur keindahan karya satranya itu.
2.
Aspek
penafsiran
Berkaitan
dengan keterlibatan intelektual ( kecerdasan ) pembaca dalam memahami
unsur-unsur kesastraan selaku pembangun karya sastra, yaitu unsur intrinsik dan
unsur ekstinsik.
3.
Aspek
penilaian
Berkaitan
dengan kegiatan memberikan penilaian terhadap keberhasilan atau kegagalan,
baik-buruk, indah-tidak indah, sesuai-tidak sesuai sebuah karya sastra yang
dikaji berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Kemampuan memberikan
penilaian atau pertimbangan terhadap karya sastra bisa dimiliki oleh seorang
karena faktor bakat atau faktor latihan secara terus menerus.
Pernyataan itu selaras dengan pendapat Squire dan Taba, keduanya berkesimpulan bahwa apresiasi itu suatu proses yang
melibatkan tiga unsur yaitu :
1.
aspek kognitif, yang berkaitan dengan
keterlibatan intelek pembaca dalam upaya memahami unsur - unsur kesastraan yang
bersifat obyektif.
2. aspek emotif, yang berkaitan dengan
keterlibatan unsure emosi pembaca dalam upaya menghayati unsur – unsur
keindahan dalam teks sastra yang dibaca dan berperan dalam upaya memahami unsur
– unsur yang bersifat subyektif.
3. aspek
evaluatif, yang berhubungan dengan kegiatan memberikan penilaian terhadap
baik-buruk, indah-tidak indah, sesuai-tidak sesuai serta sejumlah ragam
penilaian lain yang tidak harus hadir dalam sebuah karya kritik, tetapi secara
personal cukup dimiliki oleh pembaca.
(
Aminuddin, Pengantar Apresiasi Karya Sastra 1987, 34 – 35 ).
Manfaat yang
terkesan dari menganalisis, mengkaji, mengapresiasi sebuah karya sastra fiksi
itu diantaranya itu, kita dapat menambah pengetahuan tentang kosakata dalam
suatu bahasa, tentang pola kehidupan suatu masyarakat. Selain itu secara umum kegiatan ini bermanfaat, diantaranya :
1.
mendapatkan hiburan,
2.
mengisi waktu luang.
Tetapi secara khusus dapat mengandung manfaat yang
mendetail, yaitu :
1. memberikan informasi yang
berhubungan dengan perolehan nilai – nilai kehidupan,
2. memperkaya pandangan atau
wawasan kehidupan sebagai salah satu unsur yang berhubungan dengan pemberian
arti maupun peningkatan nilai kehidupan manusia itu sendiri, dan
3. memberikan
katarsis (kemampuan karya sastra menjernihkan batin pembaca dari segala
kompleksitas batin setelah pembaca melaksanakan kegiatan apresiasi secara akrab
dan sungguh – sungguh sehingga terjadi peleburan antara pembaca dengan
dunia-dunia yang diciptakan pengarangnya ) dan sublimasi ( sastra itu
dapat memberikn kepuasan dan kesegaran baru, tersendiri bagi pengarangnya
akibat realitas yang ditimbulkannya secara individual ).
Jadi dapat
ditarik sutu kesimpulan secara
keseluruhan bahwa manfaat dari kita mengkaji sebuah karya satra,
diantaranya :
1. dapat dijadikan pengisi
waktu luang,pemberian atau pemerolehan hiburan,
2. untuk mendapatkan sebuah
informasi,
3. media pengembang dan
pemerkaya pandangan kehidupan, dan
4. memberikan pengetahuan
nilai sosio-kultural dari zaman atau masa karya sastra itu dilahirkan.
Kerja analisis
kesastraan itu dimaksudkan untuk memahami secara lebih baik sebuah karya,
merebut, menafsirkan, makna berdasarkan berbagai kemungkinannya, cara kerja
tersebut dilandasi suatu asumsi bahwa karya fiksi yang merupakan sebuah
totalitas dan kebulatan makna itu dibangun secara koherensif ( tersusunnya uraian atau pandangan sehingga
bagian-bagiannya berkaitan satu dengan yang lain ) oleh banyak unsur intrinsik.
Memahami dan
mengungkapkan “ sesuatu “ yang terdapat dalam karya sastra, dikenal dengan
istilah heuristik ( heuristik ) dan hermeneutik ( hermeneutik ). Kedua istilah itu secara lengkap
disebut sebagai pembacaan heuristik dan
pembacaan hermeneutik. Kerja heuristik merupakan pembacaan karya sastra
pada sistem semiotik tingkat pertama, yang menghasilkan pemahaman makna
secara harfiah, makna tersurat ( actual
meaning ). Sedang kerja hermeneuitik
yaitu pemahaman karya pada tataran semiotik tingkat kedua, yang mencoba
menafsirkan makna tersirat, dan inilah yang disebut sebagai makna intensional.
Sealain itu pembacaan heuristik dan pembacaan retroaktif atau pembacaan hermeneutik. Riffaterre, ( 1978:5-6 ), pertama kali,
sajak dibaca secara heuristik, yaitu dibaca berdasarkan tata bahasa normatif (
berpegang teguh ada norma / peraturan yang berlaku ), morfologi, semantik, dan
sintaksis. Pembacaan heuristik ini menghasilkan arti (meaning) sajak secara
keseluruhan menurut tata bahasa normatif sesuai dengan sistem semiotik tingkat pertama ( first order
semiotics ). Pembacaan heuristik ini belum memberikan makna sajak atau makna sastra
(significance). Oleh karena itu. karya sastra (sajak, fiksi ) harus
dibaca ulang ( retroaktif) dengan memberikan tafsiran ( hermeneutik ) (Riffaterre, 1978:5-6 )
Pembacaan retroaktif dan
hermeneutik itu berdasarkan konvensi sastra yaitu puisi itu merupakan ekspresi
tidak langsung.
Pembacaan
hermeneutik adalah pembacaan menurut system tingkat dua (
second order semiotic ). Pembacaan
heuristik menurut Riffaterre
(1978:5) merupakan pembacaan tingkat
pertama, untuk memahami
makna secara linguistik, sedangkan pembacaan hermeneutik merupakan pembacaan tingkat kedua untuk
menginterpretasi makna secara utuh. Dalam pembacaan ini, pembaca lebih memahami
apa yang sudah dia baca untuk kemudian memodifikasi pemahamannya tentang hal
itu.
.Menurut
Santosa (2004:231) bahwa pembacaan
heuristik adalah pembacaan yang didasarkan pada konvensi bahasa yang
bersifat mimetik (tiruan alam) dan membangun serangkaian arti yang heterogen,
berserak-serakan atau tak gramatikal. Hal ini dapat terjadi karena kajian
didasarkan pada pemahaman arti kebahasaan yang bersifat lugas atau berdasarkan
arti denotatif dari suatu bahasa.
Sedangkan Pradopo (2010:135) memberi definisi
pembacaan heuristik yaitu pembacaan berdasarkan struktur bahasanya atau
secara semiotik adalah berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat pertama.Hermeneutik adalah teori tentang
bekerjanya pemahaman dalam menafsirkan teks (Ricoerur dalm Ikhwan, dkk 2010 151). Cakupan teori ini meliputi:
1) peristiwa pemahaman terhadap teks,
2) Persoalan yang lebih mengarah
mengenai pemahaman dan interpretasi,
Sedangkan menurut Santosa (2004:234), pembacaan hermeneutik adalah
pembacaan yang bermuara pada ditemukannya satuan makna puisi secara utuh dan
terpadu. Sementara itu, Pradopo
(2010:137) mengartikan pembacaan
hermeneutik sebagai pembacaan berdasarkan konvensi ( kesepakatan )sistem
semiotik tingkat kedua (makna konotasi). Pada tahap ini, pembaca harus meninjau
kembali dan membandingkan hal-hal yang telah dibacanya pada tahap pembacaan
heuristik. Dengan cara demikian, pembaca dapat memodifikasi ( pengubahan / perubahan
) pemahamannya dengan pemahaman yang terjadi dalam pembacaan
hermeneutik.Puisi harus dipahami sebagai sebuah satuan yang bersifat struktural
atau bangunan yang tersusun dari berbagai unsur kebahasaan.
Oleh karena itu, pembacaan hermeneutik
pun dilakukan secara struktural atau bangunan yang tersusun dari berbagai unsur
kebahasaan. Artinya, pembacaan itu bergerak secara bolak-balik dari suatu
bagian ke keseluruhan dan kembali ke bagian yang lain dan seterusnya. Pembacaan
ini dilakukan pada interpretasi hipogram potensial, hipogram aktual, model, dan
matriks (Riffaterre,1978:5). Proses
pembacaan yang dimaksudkan oleh Riffaterre
( Selden, 1993:126) dapat diringkas sebagai berikut :
1)
Membaca
untuk arti biasa.
2)
Menyoroti
unsur-unsur yang tampak tidak gramatikal dan yang merintangi penafsiran mimetik
yang biasa.
3)
Menemukan hipogram, yaitu mendapat ekspresi
yang tidak biasa dalam teks.
4)
Menurunkan
matriks dari hipogram, yaitu menemukan sebuah pernyataan tunggal atau sebuah
kata yang dapat menghasilkan hipogram dalam teks.
Pembacaan
heuristik ini adalah pembacaan menurut sistem bahasa, menurut sistem tata bahasa normatif. Karya sastra, lebih-lebih puisi,
ditulis secara sugestif, hubungan antar baris dan baitnya bersifat implisit.
Hal ini disebabkan oleh puisi itu hanya mengekspresikan inti gagasan atau
pikirann.Oleh karena itu, hal-hal yang perlu tidak usah di nyatakan. Ada awalan dan akhiran yang
dihilangkan hingga tinggal inti katanya. Ada susunan kalimat yang dibalik. Oleh
karena itu, pembacaan sastra harus mewajarkan hal-hal yang tidak wajar. Bahasa
sastra harus dinaturalisasikan menjadi bahasa biasa, bahasa normtif. Dalam
penaturalisasikan ini kata-kata yang tidak berawalan dan berakhiran diberi
awalan dan akhiran. Dapat penaturalisasian ini kata-kata atau kalimat untuk
memperjelas hubungan antar kalimat dan antar baitnya. Susunan diubah menjadi
susunan kata bahasa normatif. Baik kata maupun kalimatnya dapat diganti dengan
sinonimnya atau yang searti.
Dalam pembacaan hermeneutik ini sajak dibaca
berdasarkan konvensi-konvensi satra menurut sistem semiotik tingkat kedua.
Konvensi sastra yang memberikan makna itu diantaranya konvensi ketaklangsungan
ucapan (ekspresi) sajak (puisi) (Riffaterre,
1978:1). Dikemukakan Riffaterre
(1978:2), ketaklangsungan
ekspresi sajak itu disebabkan oleh :
a)
penggantian arti (displacing
of meaning),
b)
pemencongan atau penyimpangan arti (distorsing
of meaning), dan
c)
penciptaan arti (creating of meaning).
Dalam kajian kesastraan, secara umum
dikenal adanya analisis struktural, yang pertama menekankan pada fungsi dan
hubungan antar unsur ( intrinsik ) dalam karya satra, dan semiotik, yang
menekankan pada pemaknaan karya itu dipandang sebagai sebuah sistem tanda.
Kajian semiotik merupakan usaha pendekatan yang muncul lebih kemudian, pendekatan
struktural ini dianggap memiliki kelemahan-kelemahan. Maka dari itu materi ini
akan dibahas selanjutnya secara mendetail pada keterangan selanjutnya.
2.2Kajian Struktural
Strukturalisme itu tidak dapat
dipisahkan dengan semiotik. Alasannya adalah karya sastra itu merupakan
struktur tanda-tanda yang bermakna. Tanpa memperhatikan sistem tanda,dan
maknanya, dan konvensi tanda, struktur karya sastra (karya sastra) tidak dapat
mengerti maknanya secara optimal. Tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Dalam
lapangan kritik sastra semiotik meliputi analisis sastra sebagai sebuah
penggunaan bahasa yang bergantung pada sifat-sifat yang menyebabkan
bermacam-macam cara (modus) wacana mempunyai makna (Preminger,dkk,1974:980).
Pendekatan struktural dipelopori oleh kaum formalis Rusia dan
strukturalisme Praha. Menurut kaum strukturalisme sebuah karya satra, fiksi,
atau puisi adalah sebuah totalitas yang dibangun secara koherensif (
keselarasan yang mendalam antara bentuk dan karya sastra) oleh berbagai unsur ( pembangun ) –nya.
Selain istilah struktural diatas, dunia kesastraan ( termasuk
linguistik ) mengenal istilah strukturalisme, yang dapat dipandang sebagai
salah satu pendekatan kesastraan yang menekankan pada kajian hubungan
antar-unsur pembangun karya yang bersangkutan.
Analisis struktural karya sastra, yang dalam hal ini dapat dilakukan
dengan mengidentifikasi, mengkaji, mendeskripsikan fungsi dan hubungan antara
unsur intrinsik fiksi yang bersangkuatan. Mula-mula dideskripsikan kan
diidentifikasikan, misalnya bagaimana keadaan peristiwa, plot, tokoh, dan
penokohan, latar, sudut pandang, dan lain-lain, kemudian diujicobakan bagaimana
fungsi-fungsi masing-masing unsur dalam menunjang makna keseluruhan, dan
bagaimana hubungan antar-unsur itu sehingga secara bersamaan membentuk sebuah
totalitas kemaknaan yang terpadu.
Dengan demikian pada dasarnya analisis struktural bertujuan memaparkan
secermat mungkin dan keterkaitan antarberbagai unsur karya sastra yang secara
keseluruhan. Analisis struktural tidak cukup dengan mendata unsur tertentu dari
karya fiksi, namun yang lebih penting adalah menunjukkan bagaimana hubungan
antar-unsur itu.
Analisis struktural juga berupa kajian yang menyangkut relasi
unsur-unsur dalam mikroteks, satu keseluruhan wacana, relasi mikroteks itu,
misalnya berupa kata-kata dalam kalimat, kalimat-kalimat dalam alenia atau
konteks wacana yang lebih besar.
Salah satu cara untuk menganalisis dalam suatu sastra adalah dengan
cara malakukan suatu pendekatan, karena
pendekatan itu sebagai suatu prinsip
dasar atau landasan yang dapat digunakan oleh seseorang sewaktu mengapresiasi
karya sastra dapat bermacam-macam. Keanekaragaman pendekatan itu ditentukan
dari :
·
Tujuan dan
apa yang akan diapresiasi lewat teks sastra yang di bacanya,
·
Kelangsungan
apresiasi itu terproses lewat kegiatan bagaimana, dan
·
Landasan
teori yang digunakan dalam kegiatan apresiasi.
Banyak sekali pendekatan yang muncul, diantaranya :
1. Pendekatan paraframatis,
berhubungan dengan strategi pemahaman kandungan makna dalam suatu cipta sastra
dengan jalan mengungkapkan kembali gagasan
yang disampaikan pengarang dengan menggunakan kata-kata dan kalimat yang
digunakan pengarangnya, dengan tujuan
menyerderhanakan pemakaian kata atau kalimat seorang pengarang sehingga pembaca
alebihmudah memahami kandungan makna yang terdapat dalam suatu cipta sastra.
2. Pendekatan emotif, yang
berusaha menemukan unsur-unsur yang mangajuk emosi atau perasaan pembaca,
berprinsip bahwa pandangan cipta sastra bagian dari karya seni yang hadir
dihadapan masyarakat pembaca untuk dinikmati sehingga dapat memberikan hiburan
serta kesenangan.
3. Pendekatan analitis, merupakan
suatu pendekatan yang berusaha memahami gagasan atau mengimajinasi ide-idenya,
sikap pengarang dalam menampilkan gagasannya, elemen intrinsik dan mekanisme
hubungan dari setiap elemen intinsik itu sehingga mampu membangun adanya
keselarasan dan kesatuan dalam rangka membangun totalitas bentuk maupun
totalitas maknanya.
4. Pendekatan historis, lebih
menekankan pada pemahaman tentang biografi pengarang, latar belakang peristiwa
kesejarahan yang melatar belakangi masa-masa terwujudnya cipta sastra yang
dibaca, dan perkembangan kehidupan penciptaan maupun kehidupan sastra itu
sendiri pada umumnya dari zaman ke zaman.
5. Pendekatan sosiopsikologis, yang
berusaha memahami latar belakang kehidupan sosial-budaya, kehidupan masyarakat,
maupun tanggapan kejiwaan atau sikap pengarang terhadap lingkungan kehidupannya
atupun zamannya pada saat cipta sastra itu diwujudkan
6. Pendekatan didaktif, yang
berusaha menemukan dan memahami gagasan, tanggapan evaluatif maupun sikap
pengarang terhadap kehidupan.
Tetapi yang akan disinggung dalam bab ini hanya ada pendekatan struktural dan pendekatan
semiotik yang hampir sama dengan pendapat Olsen yang membagi pendekatan menjadi beberapa macam, ( yaitu
emotif, ekspresif, kognitif, semantis, struktural ).
2.3 Kajian Semiotik
Dalam melihat karya sastra yang memiliki
sistem sendiri, semiotik tidak terbatas pada sosok karya tersebut tetapi juga
menghubungkannya dengan sistem yang berada diluarnya. Sistem yang berada diluar
karya sastra adalah semua dimensi, data, fenomena yang mereaksi bagi kelahiran
karya sastra tersebut (Pradopo, 1995).
Berarti, semiotik tidak dapat melihat karya sastra hanya sebagai objek materi
seni tetapi juga melihatnya dalam perspektif ( yang lebih luas, yaitu
kehidupan manusia, tata nilai, lembaga kemasyarakatan, dan adat istiadat. Di
pihak lain tanda-tanda atau kode-kode sekecil apapun yang terdapat dalam karya
sastra penting diperhatikan karena ikut membentuk sistem dan keseluruhan karya
tersebut.
Semiotika adalah ilmu
tentang tanda-tanda.
Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial masyarakat dan kebudayaan itu
merupakan tanda-tanda. Sudah lahir pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Akan tetapi, ilmu ini baru berkembang mulai pada pertengahan abad ke-20.
Meskipun pada akhir abad ke-20 dalam bidang penelitian sastra, sudah ada
teori-teori sastra yang baru seperti sosiologi sastra, teori dan kritik
feminis, dekontruksi( dan estetika resepsi, tetapi semiotika
menduduki posisi dominan dalam penelitian sastra. Semiotika itu mempelajari
sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan. Penelitian
sastra dengan pendekatan semiotika itu sesungguhnya merupakan lanjutan dari
pendekatan strukturalisme. Dikemukakan oleh Junus (1981:17).
Istilah “Semiotik” berasal dari bahasa Yunani,
yaitu “semion” yang berarti tanda,
(sistem-sistem lambang dan proses-proses perlambangan). Semiotik itu sendiri
bukanlah suatu aliran baru dalam pengkajian bahasa atau kesusastraan, melainkan
suatu pengembangan yang lebih lanjut dari aliran yang pernah ada. Studi sastra
bersifat semiotik adalah usaha untuk menganalisis sastra sebagai suatu sistem
tanda-tanda dan menentukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan karya sastra
mempunyai arti.
Semiotika juga
diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang segala sesuatu yang berposisi
sebagaia wakil dari sesuatu yang lain, baik itu penanda ( tanda ), yang berarti sesuatu yang mewakili atupun petanda ( makna ), berarti sesuatu yang
diwakili. Sedangkan tanda itu merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan
antara penanda dengan petanda.
Aart van Zoest ( 1996; 5) mendefinisikan semiotik sebagai suatu studi tentang tanda dan segala yang
berhubungan dengannya, cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain,
pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya. Semiotika,
ilmu tentang tanda-tanda ,mempelajari fenomenal sosial-budaya, termasuk sastra
sebagai sistem tanda ( Preminger 1974 : 980).
Dalam semiotik, mempelajari tentang tanda.
Tanda itu mempunyai dua aspek,yaitu penanda (signifier,signifiant) dan petanda
(signified,signifie) (preminger,1974:981-1982). Penanda adalah bentuk formal tanda itu,dalam bahasa berupa satuan
bunyi,atau huruf dalam sastra tulis ,sedangkan petanda (signified) adalah artinya,yaitu apa yang ditandai oleh
penandanya itu.
Banyak sekali para pakar yang menyebutkan beberapa
pendapatnya tentang semiotika, tetapi secara singkat bahwa, sejarah
semiotika itu berawal dari periode
Yunani-Romawi kuno, sekitar tahun 427 SM, tepatnya filsafat Plato yang
menemukan pergaulatan akan tanda-tanda, yang menghasilkan tiga pemikiran, yaitu
1) Tanda-tanda
verbal, entah alamiah maupun konvensional, hanyalah representasi yang tidak
sempurna dari kodrat sejati benda-benda,
2) Studi
kata-kata tidak menyingkapkan apa pun selain kodrat sejati benda-benda itu
karena dunia ide bebasa dari represetasinya dalam bentuk kata-kata,
3) Pengetahuan
yang dimediasi oleh tanda-tanda bersifat tidak langsung dari inferior dihadapan
pengetahuan langsung, dan kebenaran mengenai benda-benda melalui kata-kata,
betapa pun undahnya inferior dihadapan pengetahuan akan kebenaran itu sendiri.
( Noth, 1990 : 15 )
Pemikiran Aristoteles (
384-322 SM ), mengemukakan :
1.
Penanda–penanda itu tertulis dipahami
sebagai simbol dari kata-kata yang diucapkan,
2.
Kata-kata yang diucapkan merupakan tanda-tanda dan
simbol-simbol dari kesan-kesan mental,
3.
Kesan-kesan mental menyerupai benda-benda aktual,
4.
Bila benda-benda dan peristiwa mental sama bagi seluruh
manusia, tuturan mengenainya tidak sama.
Di masa Yunani-Romawi kuno, pemikiran tentang tanda itu
berasal dari filsafat Stoika ( 300-200
SM ), Epicureans, Aurelius Agustine ( 354-430 ), yang diantaranya Stoika
menyebutkan tanda itu terbentuk dari tiga komponen, yaitu :
a. Penanda material,
b. Petanda atau makna, dan
c. Obyaek eksternal. ( Noth, 1990 : 15-17 )
Jadi dari keseluruahan tersebut, Noth ( 1990 : 17-20 ) menganggap penting
tentang pemikiran semiotik Abad Pertengahan, tetapi ada pertentangan dari
beberapa pemikiran, diantara:
pemikiran
realisme dengan nomonalisme, yang keduanya berhubungan dengan
persoalan hubungan antara tanda atau semestaan dengan benda-benda, sejauh mana
semesta mempunyai keberadaan diluar tanda-tanda atau benda-benda yang
menandainya. Plato dianggap mempunyai
pandangan yang tergolong “ universalia
sunt ante res “ ( semesta ada sebelum benda-benda ), kaum realis mempunyai prinsip “ universalia sunt in rebus “ (
semastaan ada dalam benda-benda ), sedangakan kaum normalis menganut pandangan “universalia sunt post res“ ( semestaan muncul sesudah benda-benda
). Benda-benda dianggap partikular,
sedangkan tanda-tanda, penamaan yang diberikan atasnya, bersifat unversal,
menyangkut gagasan umum mengenai benda-benda yang partikular itu.
teori
suposisi, merupakan teori tentang makna atau referen yang
bersifat kontekstual.
semiotika
modist, menganggap adanya hubungan dan ketergantungan ikonik
antara struktur bahasa dengan benda-benda.
Menurut
Noth ( 1990 : 32-33 ), pemikiran semiotik kaum Romantik seperti Fichte, (menganggap kognisi nausia
bersifat ikonik karena semua pengetahuan hanyalah representasi dan memerlukan
korespondensi dengan citra), Novalis,
Hegel, dan Humboldt yang merupakan pemikiran tradisional menuju semiotika
modern di abad XX. Hegel membedakan tanda ( yang tidak ada hubungan penanda
dan petanda ), dan simbol ( masih
terdapat hubungan antara penanda dan petanda ). Noth mencatat adanya lima
pemikiran semiotika Humboldt, yaitu :
a)
bahasa sebagai aktivitas yang dinamik, ( b-c ) perbedaan antara bentuk-dalam
bahasa dengan bahasa sebagai organ formatif pikiran,
b)
teori tentang perbedaan antara bentuk
dengan bahan, dan
c)
keutamaan genetik teks dalam hubungan
antarelemennya yang mengeluarkan faktor manusia dari teks itu.
Pada
abad XX pemikiran mengenai tanda yang menonjol antara lain berasal dari Husserl
dan Cassirer ( Noth 1990 : 35-36 ). Bagi
Husserl, perbedaan kesadaran ( persepsi ) langsung mengenai fenomena dengan
kesadaran akan “ sesuatu yang lain “ yang diacuh oleh objek yang dipersepsi
yang mengimplikasikan perbedaan antara penanda dengan petanda. Cassirer
mengangkat epistimologi pan-semiotik dengan menempatkan manusia sebagai makhluk
yang pada hakikatnya bersifat simbolik. Menurut Cassirer, tak ada kognisi
mengenai realitas yang melampaui simbol. Simbol setidaknya berfungsi untuk
menstabilkan pengertian manusia mengenai dunia. Bahasa , mitos, seni, agama,
ilmu, dan sejarah, merupakan serangkaian sistem simbol yang melaksanakan fungsi
tersebut.
Memang banyak sekali teori tentang semiotik, diantaranya
: semiotik
eksplisit, semiotika Pierce, semiotika Saussure, semiotika Hjelmslev,dan
semiotika Jakobson. Tetapi dalam hal ini, Peletak dasar teori ini
adalah Ferdinand de Saussure dan Charles
Sander Pierce, Saussure dikenal sebagai bapak ilmu bahasa modern, yang mempergunakan istilah semiologi, sedangkan Pierce dikaenal seorang filsafat yang
memakai istilah semiotik, maka dari
itu itulah melihat begitu besarnya pengaruh dari kedua pakar itu, selanjutnya
akan dibahas secara mendetail pada penjelasan dibawah ini.
2.3.1 Teori Semiotik Pierce
Menurut Pierce ( Noth 1990 : 41
), semesta dapat dibagi menjadi tiga
kategori, yaitu :
v
Kepertamaan ( firstness ),
berkaitan dengan sesuatau yang tidak mengacu kepada sesuatu yang lain, yang
merupakan kategori perasaan yang tidak mengacu kepada sesuatu yang sesuatu
lain, dan kategori perasaan yang tidak reflektif, suatu kelangsungan, kualitas
atau independensi yang tidak terbedakan.Gagasan mengenai Tuhan sebagai sesuatu
yang Esa, tunggal, tak terbandingkan, tak tersamai, mungkin sangat tepat untuk
pernyataan diatas.
v
Kekeduaan ( secondness ),
melibatkan hubungan yang pertama dengan yang kedua, kategori ini merupakan
kategori perbandingan, faktisitas ( sesuatu yang mempunyai dua komlemen/
memiliki dua kata yang menunjukkan makna yang sama, dalam arti lain memiliki
dua sinonim ), tindakan, realitas, pengalaman dalam ruang dan waktu. Ketika
Tuhan keluar dari diri-Nya, memasuki dunia pengalaman dan pemahaman manusiawi,
ia memasuki kategori kekeduaan, sesuatu yang terbandingkan, misalnya dalam
gagasan mengenai “ Maha Mendengar “, “ Maha Melihat “, dan sejenisnya.
v
Keketigaan ( thirdness ), membawa
yangkedua pada yang ketiga. Kategori ini termasuk kategori mediasi ( proses
pengikutsertaan pihak ketiga/penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasehat
), kebiasaan, kenangan, komunikasi, representasi ( perwakilan ), dan
sejenisnya.
Noth ( 1990 : 41 ),
menyebut teori Pierce sebagai teori pan-seiotik. Artinya, bahwa keseluruhan
semesta sebenarnya terbangun dari tanda. Menurutnya, seluruh kognisi (kegiatan
atau proses memeroleh pengetahuan [ termasuk kesadaran, perasaan, dsb ] atau
usaha mengenali sesuatu melalui pengalaman sendiri/ suatu proses pengenalan dan
penafsiran ), pikiran, dan manusia itu sendiri bersifat semiotik. Pikiran
bersifat semiotik karena mengacu pada pikiran-pikiran lain dan objek-objek dunia.
Karena mempunyai masa lalu sebagai acuan dan masa depan sebagai interpretan (
pengalihan pola pikir atau pandangan/pemberian pendapat, kesan, atau pandangan
terhadap sesuatu/tafsiran ) -nya, manusia pun sebenarnya sebuah tanda dalam
pengertian tokoh tersebut.
Tanda termasuk kategori
keketigaan, tanda ini, pada gilirannya, berpartisipasi pula
dalam tiga kategori yang ekuivalen ( mempunyai nilai/ukuran yang sama, sebanding, sepadan ) dengan
kategori semesta diatas. Yang termasuk dalam kategori kekepertamaan, merupakan representamen atau penanda yang berada dalam hubungan triadik (
)dengan suatu yang kaedua, yaitu objek, agar dapat menentukan yang ketiga yang
disebut dengan sebagai interpretan. (
Noth 1990 : 42 )
Ø Representamen adalah objek yang dapat dipersepsi (
tanggapan/penerimaan langsung dari sesuatu ) menjadi wahana yang mengangkut ke
dalam pikiran seseorang suatu yang berasal dari luar.
Ø Objek adalah suatu entitas material maupun mental yang
direpresentasikan (perwakilan) oleh representamen ( orang yang mewakili ) di
atas.
Ø Interpretan
merupakan efek dari representamen pada pikiran manusia yang menjadi penafsirnya
yang dapat berupa suatu tanda lain yang muncul pada proses semiotika tanpa
ujung.
Teori Pairce juga mengatakan bahwa sesuatu
itu dapat di sebut sebagai tanda jika ia mewakili sesuatu yang lain. Sebuah
tanda yang disebutnya sebagai representamen haruslah mengacu ( mewakili )
sesuatu yang di sebutnya sebagai objek ( acuan ia jaga menyebutnya dengan
istilah refaren). Agar tanda dapat berfungsi maka harus di bantu
seatu kode. Kode adalah seatu sistem
peraturan, dan bersifat rasa individual.
Proses perwakilan di sebut simiosis.
Semiosis adalah suatu proses dimana suatu tanda berfungsi sebagai tanda, yaitu
mewakili sesuatu yang di tandainya ( Hoedt, 1992 : 3 ). Sesuatu tidak pernah
menjadi tanda jika tidak ditafsirkan menjadi tanda. Proses semiotik menuntut
kehadiran bersama antara tanda, objek, dan interpretan oleh Pierce disebut triadik.
Konsisten
dengan kategors diatas, Pierce ( Noth 1990 : 44 – 45 ) membangun klasifikasi (
penggolongan ) tanda menjadi tiga trikotomi ( pemisahan atas pembagian atas
tiga golongan/kelompok ) atas dasar kemungkinan kombinasi/gabungan antara
represenramen dengan objek dan dengan interpretan diatas, diantara :
1. Trikotomi pertama,
dibangun pada dataran representamen. Dalam hal ini tanda itu dibedakan menjai
tiga jenis, yaitu :
v Qualisigns,
termasuk
kategori kepertamaan, yang merupakan suatu keadaan atau kualitas yang tidak
menandai apapun kecuali dirinya sendiri.
v Sinsigns
atau token, termasuk
dalam kategori keketigaan, yang menandai sesuatu yang lain.
v Legisigns
atau tipe-tipe, termasuk
dalam kategori keketigaan, yang merupakan suatu tipe general ( ketrampilan atau
minatnya mrncakupi beberapa bidang yang berbeda ) yang mempunyai makna atas
dasar kesepakatan atau konvensi tertentu.
Kata dalam
kamus adalah tipe, sedangkan kata yang di-aktualisasi-kan dalam tutur tertentu
yang unik adalah token. Token seperti kata dalam tutur itu isebut juga replika
dari itu.
1. Trikotomi kedua,
menyangkut hubungan antara representamen dengan objeknya. Dalam hal ini tanda
dibedakan menjadi tiga jenis pula, yaitu
Ø Ikon
( sebagai
kepertamaan ), jika ia berupa hubungan kemiripan. Ikon tersebut merupakan representamen yang
menyerupai objeknya.
Secara terperinci Ikon
itu mempunyai pengertian tanda yang penanda dan petandanya menunjukkan ada hubungan
yang bersifat alamiah, yaitu penanda sama dengan petandanya, misalnya gambar,
potret, atau patung. Gambar rumah (
penanda ) sama dengan rumah yang
ditandai ( petanda ) atau gambar
rumah menandai rumah yang sesungguhnya.
Pierce membedakan ikon kedalam tiga macam, yaitu
1. ikon topologis,
2. diagramatis,dan
3. metafolis (Van
Zoes,1992:10-11).
Ketiga ikon itu dapat muncul bersama-sama. Untuk pembedaan ketiganya harus dilakukan dengan
membuat deskripsi ( gambaran ) terdapat dalam istilah-istilah yang tergolong dalam
makna spalatis ( tepat sasaran ) terdapat ikon topologis, jika dalam makna
relasional ( berhubungan ), berarti dapat
ikon diagramatik ( dapat pula disebut ikon relasional atau struktual). Iika
ia menggunakan mertafora sebagai istilah disebut ikon metafora.
Ø Indeks
adalah tanda yang penanda dan petandanya menunjukkan adanya hubungan alamiah
yang bersifat kausalitas ( perihal sebab akibat ), misalnya : asap menandai
api, mendung menandai hujan. Kalau di langit ada mendung penanda kalau akan ada
hujan. Indeks, jika ia berupa hubungan kedekatan
eksitensi.
Ø
Simbol adalah tanda yang penanda dan petandanya tidak
menunjukkan adanya hubungan alamiah, hubungannya arbiter (semau-maunya)
berdasarkan konvensi. Misalnya, kata ”ibu” (penanda) menandai, ” orang yang
melahirkan kita ”, dalam bahasa inggris: mother, dalam bahasa prancis:
la mere, dan sebagainya. Sebagian besar tanda bahasa berupa simbol.
Hubungan antara penanda dan petanda bersifat konvensional, yaitu artinya
ditentukan oleh konvensi. Simbol, jika ia berupa hubungan yang sudah
terbentuk secara konvensi. Ada
berupa ikon misalnya foto, peta geografis, penyebutan atau penempatan di
bagian awal atau depan ( sebagai tanda sesuatu yang
dipentingkan ). Tanda berupa indeks misalnya, asap hitam tebal membumbung
menandai kebakaran, wajah
terlihat muram menandai hati yang sedih.
Antara
tanda dengan objek tidak memiliki hubungan kemiripan ataupun kedekatan, melainkan terbentuk karena
kesepakatan. Misalnya
warna putih, merah, hitam, kuning melambangkan sesuatu
tertentu pula.
Ø
Trikotomi
ketiga, merupakan
kategorisasi atas asar interpretan.
·
Jenis
tanda pertama dalam hal ini disebut rheme,
yaitu tanda yang interpretannya tidak menuntut penilaian mengenai salah
atau benar. Tanda ini merupakan proposisi (rancangan usulan) yang amat
sederhana seperti semua kata tunggal yang merepresentasikan ( dapat/cakap/tepat
mewakili/sesuai dengan fungsinya sebagai wakil ) hanya potensi dan
kemungkinan-kemungkinan tertentu.
·
Jenis
tanda yang kedua adalah dicent,
yaitu tanda yang interpretannya mempunyai eksistensi ( keberadaan ) yang
aktual, sehingga mengandung kemungkinan evaluasi ( penilaian ) mengenai benar
atau salah.
·
Argument, merupakan
jenis tanda yang ketiga. Tanda ini sudah membentuk suatu proposisi yang
kompleks yang tidak hanya menyatakan kehadiran sesuatu, melainkan juga
membuktikan kebenaran keberadaan sesuatu itu.
Dalam teks kesastraan ketiga jenis tanda
tersebut sering hadir bersama dan sulit dipisahkan. Simbol merupakan tanda yang
paling canggih karena berfungsi untuk penalaran, pemikiran, dan pemerasaan.
Namun, indeks pun yang dapat dipakai untuk memahami perwatakan tokoh dalam teks
fiksi mempunyai jangkauan eksistensial ( keberadaan ) yang dapat melibihi
simbol. Ikon memiliki kekuatan perayu melebihi tanda yang lain. Itulah sebabnya
kesastraan juga teks-teks persuatif ( sifatnya mengajak ) yang lain seperti
iklan dan teks politik banyak memanfaatkan tanda-tanda ikon ( Van Zoes, 1992 :
10 – 11 ).
2.3.2
Teori Semiotik Saussure
Saussure
sebenarnya tidak menyusun teori semiotika, melainkan linguistik. Meskipun
demikian, atas dasar penemuannya di bidang linguistik, ia membayangkan adanya
suatu ilmu mengenai tanda yang lebih luas yang disebutnya sebagai semiologi.
Semiologi itu, menurutnya (Noth 1990:
57), adalah ilmu yang mempelajari tanda-tanda di dalam masyarakat. Ilmu
tersebut akan mempertunjukkan apa saja yang membentuk tanda, kaidah-kaidah apa
saja yang mengaturnya. Sistem tanda kebahasaan hanyalah salah satu cabang dari
semiologi itu. Namun, dalam hubungannya dengan berbagai kemungkinan sistem
tanda yang lain, sistem tanda kebahasaan itu merupakan yang terpenting, yang
dapat menjadi model bagi sistem tanda pada umumnya. Oleh karena itu, untuk
memahami semiotika Saussure konsep-konsep dasar linguistikmenjadi penting untuk
dikemukakan (Noth 1990: 58-59).
Bagi Saussure
( Noth 1990 : 59-60 ), tanda merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan antara
penanda dengan petanda. Penanda adalah aspek yang menandai dari tanda dan
berupa citra bunyi, sedangkan petanda adalah aspek yang ditandai yang berupa
konsep. Sebagai citra bunyi dan konsep, baik penanda maupun petanda merupakan entitas mental manusia yang terlepas
dari objek eksternal dan bersifat fisik-material. Hubungan antara penanda
dan petanda itu tidak bersifat alamiah, natural, melainkan arbitrer, atas dasar
konvensi atau kesepakatan sosial ( Noth
1990 : 61 ). Itulah sebabnya, di dalam bahasa, objek eksternal yang sama,
misalnya pohon, dapat dinyatakan dengan cara yang berbeda dari bahasa yang satu
ke bahasa yang lain.
Sistem bahasa
adalah seperangkat kaidah yang berlaku dalam ruang dan waktu tertentu dan
bersifat tertutup dalam dirinya. Analisis kaidah bahasa dalam satuan ruang dan
waktu tertentu ini disebut sebagai analisis sinkronik. Halnya berbeda dengan analisis
diakronik. Yang kemudian ini
mempelajari perkembangan dan perubahan dari satu sistem bahasa ke sistem bahasa
yang lain. Aspek sinkronik bahasa adalah
aspeek statisnya, sedangkan aspek
diakronik bahasa adalah aspek dinamiknya. Pemahaman mengenai bahasa sebagai
sistem tanda tertentu hanya dapat dilakukan melalui analisis sinkronik, yaitu
dengan menempatkannya dalam satuan ruang
dan waktu tertentu.
Di dalam dirinya sendiri, sistem bahasa itu dapat
dibedakan menjadi dua cara relasi yang berbeda antarelemen pembentuknya. Cara
relasi pertama disebut relasi sintagmatik, sedangkan yang kedua paradigmatik. Relasi sentagmatik adalah relasi antara
elemen bahasa yang satu dengan elemen bahasa lain yang sama-sama hadir dalam
tuturan. Relasi paradigmatik adalah
relasi antara yang ada dalam tutur
dengan elemen lain yang tidak terdapat di dalamnya. Relasi sintagmatik disebut juga
sebagai relasi kombinasional, sedangkan relasi paradigmatik disebut sebagai
relasi asosiatif.
Teori Saussure
sebenarnya berkaitan dengan pengembangan teori linguistik secara umum, maka
istilah-istilah yang dipakai oleh para penganutnya pun untuk bidang kajian
semiotik meminjam dari istilah-istilah dan model linguistik. Bahasa sebagai
sebuah tanda, menurut Saussure yang
memiliki dua unsur yang tidak dapat dipisahkan, yaitu signified dan signifier. Signifian
berupa bunyi-bunyi ujaran atau huruf tulisan, sedang signifier (petanda) adalah
konseptual, gagasan atau makna yang terkandung dalam penanda tersebut (Abrams, 1981 : 171).
Kenyataan bahwa bahasa merupakan sebuah
sistem, mengandung arti bahwa ia terdiri dari sejumlah unsur, dan tiap unsur
itu saling berhubungan secara teratur dan berfungsi sesuai dengan kaidah
sehingga ia dapat dipakai untuk berkomunikasi. Teori tersebut melandasi teori
modern, ( yaitu teori struktualisme ), kemudian teori ini dijadikan landasan
dalam kajian kesastraan ( Zaimar, 1991 :
11 ). Dalan studi linguistik, misalnya, dikenal dengan adanya tatanan
fonenik, morfologi, sintaksis, semantik, dan prakmatik. Sedangkan dalam kajian
sastra jugadi kenal adanya kajian dari aspek sintaksis, semantik, dan pragmatik
( berkenaan dengan syarat-syarat yang mengakibatkan serasi/tidaknya pemakaian
bahasa dalam komunikasi/pertuturan ). Menurut Tadoro ( 1985 : 12 ) kajian dikelompokkan berdasarkan aspek verbal,
sintaksis, dan semantik ( hubungan makna kalimat ). Sedang menurut Formalis
Rusia dibedakan kajian stilistika, komposisi, dan temantik.
Hubungan sintagmatik
dan paradigmatik. Salah satunya teori Saussure yang dipergunakan secara
luas di bidang kajian kesastraan adalah konsep sintagmatik dan paragdikmatik.
Hal ini jaga dilakukan oleh Ronal Barthers dan Tzvetan Todooov yang
mengelompokkan kedua konsep itu ke dalam aspek sintaksis dan semantik, sedang
hubungan asosiatif itu disebut hubungan sintagmatik. Hubungan sintagmantik dan
paradigmatik dapat diterapkan pada kajian fiksi ataupun puisi.
Berhadapan dengan sebuah karya sastra fiksi,
kita akan melihat adanya hubungan antara penanda dengan petanda yang jumlahnya
amat banyak. Dalam sebuah sastra kita melihat adanya kata, kalimat, alenia, dan
seterusnya akhirnya membentuk sebuah teks yang utuh. Hubungan tersebut adalah
hubungan petanda dan penanda. Hubungan petanda dan penanda sering disebut
hubungan in praesentia.
Tiap aspek formal, kata, dan kalimat,
tersebut pasti berhubungan sengan aspek makna sebab tidak mungkin kehadirat
aspek formal ( bahasa ) itu tanpa didahului oleh kehadiran konsep makna.
Hubungan antara aspek formal san aspek makna disebut hubungan asosiatif,
hubungan antara unsur yang hadir dengan unsur yang tidak hadir. Kata dan
kalimat dapat dilihat kehadirannya dalam teks itu, sedang makna hanya
dapat diasosiasikan, maka hubungan ini
disebut sebagai hubungan in absentia (
Todofof, 1985 : 11).
Hubungan sintagmatik dipergunakan untuk
menelah struktur karya dengan menekan urutan satuan-satuan makna karya yang di
analisis. Hubungan sintagmatik adalah hubungan yang bersifat linier, hubungan
konfigurasi, hubungan konstruksi, ( Todorov, 1985 : 12 ), bentuk atau
susunan. Dalam karya fiksi wujud hubungan itu berupa dapat berupa hubungan
kata, peristiwa, atau tokoh. Jadi, bagaimana peristiwa-peristiwa yang bersebab
akibat, kata-kata saling berhubungan dengan makna penuh, dan tokoh-tokoh
membentuk antitesi dan gradasi.
Tiap satuan cerita, juga di sebut sekuen,
dapat terdiri dari sejumlah motif ( satuan makna, biasanya berisi satu
peristiwa ) dalam kajian karya fiksi tiap satuan cerita dan motif diberi
sImbol–simbol atau intonasi–intonasi tertentu. Menurut ( Zaimar, 19991 : 16 ) satuan
cerita mempunyai dua fungsi-fungsi utama dan fungsi katalisator. Fungsi utama
berfungsi menentukan jalan cerita ( plot ), sedang fungsi katalisator berfungsi
menghubungkan fungsi-fungsi utama itu.
Aritoteles mengemukakan bahwa urutan lebih
penting dari kronologis. Dan berkat kausalitas peristiwa-peristiwa saling
berkaitan dan bergerak. Dalam sebuah teks fiksi, keduanya dapat di temui
manurut Foster urutan kuasalitas membentuk plot. Sedangkan temporal membentuk
cerita. Contoh yang berisi urutan kronologis murni adalah kronik atau catatan
harian, sedangkan kausalitas murni adalah wacana aksionmatis data argumentatif.
Jadi kajian sintagmatik dalam suatu karya fiksi dipergunakan untuk
mendiskripsikan urutan motif-motif ( peristiwa-peristwa ) dan urutan –urutan
cerita, satuan cerita mana yang berfungsi utama dan mana yang sebagai
katalisator, serta bagaimana hubunagan antar satuan ceriita itu, apakah berifat
kronologis, kausal.
Hubungan paragdimatik, merupakan hubungan
makna dan perlambanngan, hubungan asosiatif, pertautan makna antara unsur yang
hadir yang tidak hadir. Ia di pakai untuk mengkaji, misalnya, signifiant
tertentu mengkacu pada siknifier tertentu, baris-baris kata dan kalimat
tertentu mengungkapkan makna tertentu, peristiwa tertentu, mengingatkan
peristiwa yang lain, melambangkan gagasan tertentu, atau menggambarkan suasana
kejiwaan tokoh (Todorov, 1985:11-12). Dengan demikian, kajian paradigmatik
dalam sebuah karya fiksi berupa kajian tentang tokoh, perwatakan tokoh, hubungan
antar tokoh, suasana, gagasan, hubunganya dengan latar, dan lain-lain.
Peristiwa-peristiwa yang berhubungan dengan
makna melambangkan suasa kejiwaan tokoh, hubunagan yang demikian tersebut
hubungan in absentia (paradigmatik). Misalnya, sejumlah peristiwa ( atau satuan
cerita ) tempatnya dalam teks ada dibagian awal, namun ia berhubungan dengan
logis (atau paling tidak dapat di asosiasikan) dengan peristwa-peristiwa
dibagian belakang. Misalnya, bab pertama dalam novel Athies tidak mempunyai
hubungan langsung dengan bab-bab berikutnya yang terdekat melainkan berkaitan
langsung secara logika ( kausalitas ) justru dangan bab berikutnya.
Dengan demikain, hubungan sintagmatik dan
paradigmatic dapat di kaitkan dengan kajian dari aspek waktu yang menurut
Todorov masalah waktu menjadi bagian aspek verbal yang berupa kata. Ada dua
tataran waktu dalam teks fiksi, waktu dari dunia yang digambarkan, tataran
peristiwa ( bersifat logis, asosiasi ) dan waktu dari wacana yang
menggambarkan, tataran penceritaan bersifat linier.
Dalam karya fiksi, hubungan antra dua
tataran waktu tersebut jarang untuk tidak dikatakana tidak pena terjadi adanya
kesejajaran. Adanya manipulasi waktu penceritaan hal yang wajar dan biasa
terjadi. Justru, adanya manipulasi waktu yang bervariasi dalam karya fiksi akan
lebih menarik, lebih baru dari yang lainnya.
Kajian sintagmatik dan paradigmatik dapat
juga di terapkan dalam kajian teks puisi, terutama berhubungan dengan
bentuk–bantuk kebahasaanya. Kajian ini tersebut dengan teori dengan teori
fungsi fungsi puitik. Jakobson ( 1968 : lewat Teeuw, 1984 : 73-6 ), menjelaskan
fungsi puitik adalah berikut: “ fungsi puitik memproyeksikan prinsip
ekuivelansi dari poros seleksi parataksis ( boleh disebut paragmatik) ke poros
kombinasi ( sintaksis ) ”. Menurut jakopsonos )
penilaian apakah bahasa sebuah puisi mengandung sifat ( unsur ) puitik
atau tidaknya, ditentukan berdasarkan prinsip konsitutif yang berupa
bentuk-bentuk kesejajaran. Miasalnya dalam bahasa Indonesia adakah diantara kata-kata
yang mengandung unsur kesinoniman ( berhubungan paradigmatik ) maupun
kesejajaran sintaksis hubungan linier, berhubungan dengan sintagmatik.
Pilihan bahasa yang berunsur puitik berupa
kata-kata ( paragdimatik ), biasanya berkaitan dengan ketepatan unsur-unsur
bunyi ( sebagai pembangkit asosiasi tertentu ), aliterasi, asonansi, rima,
ketetapan bentuk ( morfologis ), dan juga makna. Pilihan sintaksis dapat
berkaitan dengan “ penemuan ” konstruksi baru-orisinal, disamping adanya
penekanan gagasan, pada umumnya ditempatkan pada bagian awal larik. Misalnya,
sebuah lirik puisi yang berbunyi, “ Bukan kematian benar yang menusuk kalbu “ (
“ Nisan ”, Chairul anwar ), baik
kata-kata maupun konstruksi sintaksis yang dipilih dalam lirik ini
diperimbangkan sebagai yang paling tepat jika di banding dengan kemungkinan
bentuk-bentuk lain yang berarti.
Akhirnya perlu di kemukakan bahwa kajian
semiotik pada decade terakhir ini tampak sedang mendapat “pasaran”. Kajian
struktual di pihak lain menjadi seolah-olah menjadi ketinggalan zaman.
Perbedaan antara strukturalisme dengan semiotik kabur. Yang jelas, semiotik
merupakan perkembangan yang lebih kemudian ( juga–reaksi ) dari struktualisme.
Selain dalam praktik kajian teks kesastraan, pendekatan tersebut akan sama-sama
muncul, dari yang membedakanya barang kali “ hanya ” masalah penekanan atau
niat puisi.
2.4 Kajian Intertekstual
Dalam menganalisis karya sastra, kritikus
secara aktif memberi makna kepada unsur-unsur karya sastra, pemberian makna ini
berdasarkan sistem tanda dalam karya sastra yang khusus ( Preminger, d.k.k., 1974 : 981 ). Kajian Intekstual dimaksudkan
sebagai kajian terhadap sejumlah teks ( lengkapnya : teks kesastraan), yang
diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu, misalnya untuk menemukan
adanya penokohan, ( gaya ) bahasa, dan lain-lain. Secara lebih khuus dapat
dikatakana bahwa kajian interteks berusaha menemukan aspek-aspek tertentu ( baik itu unsur intrinsik maupun
ekstrinsik ) yang telah ada pada karya-karya sebelumnya pada karya yang
muncul lebih kemudian. Penulisan atau pemunculan sebuaah karya sering ada
kaitanya dengan unsur kesejarahannya sehingga pemberian makna itu akan lebih
lengkap jika dikaitkan dengan unsur kesejarahan itu. (Teeuw, 1983 : 62-5 )
Selain itu, secara garis besar mengenai hubngan
intertekstual hanya dapat dipahami dengan baik sesudah diketahui begaimana
wujud kritik sastra dan perdebatannya seoanjang sejarah kritik sastra. Dalam
hal hubungan sejarah antarteks itu, perlu doperhatiakn prinsip
intertekstualitas, yang ditunjukkan oleh Riffaterre
dalam bukunya Semiotics of Poetry (1978) bahawa
“ sajak baru bermakna penuh dalam hubungannya
dengan sajak lain “. Dan juga, “ sajak ( teks sastra ) yang menjadi latar
penciptaan karya sastra sesudahnya (hipogram ) “. ( Riffaterre, 1978, 11-23 ). Karena tak ada karya sastra yang
lahir itu mencontoh atau meniru karya sebelumnya yang diserap dan
ditransformasikan dalam karya itu. Julia
Kristeva ( Culler, 1997 : 139 ), mengemukakan bahwa “ setiap teks sastra itu
merupakan mosaik kutipan-kutipan, penyerapan dan transformasi teks-teks lain “
Masalah
ada-tidaknya hubungan antarteks ada kaitanya dengan niatan pengarang dan
tafsiran pembaca. Dalam kaitan ini, Luxemburg,
d.k.k. ( 1989 : 10 ), mengartikan intertestualitas sebagai menulis dan
membaca dalam suatu interteks. Suatu tradisi budaya, sosial, dan sastra, yang
tertuang dalam teks-teks. Setiap teks sebagian bertumpu pada konvensi sastra
dan bahasa dan dipengaruhi oleh teks-teks sebelunya.
Karya sastra itu, baik itu puisi atu prosa
itu mempunyai hubungan sejarah antara karya sezaman, yang mendahuluinya atau
yang kemudian, yang mempunyai persamaan ataupun pertentangan, dan lebih baiknya
dalam membicarakan sastra itu dengan karya yang sevaman, sebelum, atau
sesudahnya. Kajian intertestual berangkat dari asumsi bahwa kapan pun karya
ditulis, ia tidak mungkin lahir dari situasi kekosongan budaya. Unsur budaya,
termasuk semua konvensi dan tradisi di masyarakat dalam wujudnya yang khusus
berupa teks-teks kesastraan yang ditulis sebelunya. Misalnya nama pengarang
Balai Pustaka menulis novel, di masyarakat telah ada hikayat dan berbagai
cerita lisannya seperti pelipur lara. Sebelun para penyair Pujangga Baru
menulis puisi-puisi modernnya, di masyarakat telah ada berbagai bentuk puisi lama,
seperti pantun dan syair, di samping mereka juga berkenalan dengan puisi- puisi
angkatan 80-an di negeri Belanda yang telah mentradisi. Kemudian sebelum
Chairil Anwar dan angkatan kawan- kawan seangkatannya menulis puisi (dan prosa)
di masyarakat juga telah ada puisi-puisi modern ala Pujangga Baru, berbagai
puisi dunia (artinnya, tidak hanya dari Belanda saja),di samping puisi lama.
Karya sastra yang di tulis lebih kemudian,
biasanya, mendasarkan diri pada karya- karya lain yang telah ada sebelumnya,
baik secara langsung maupun tidak langsung, baik dengan cara meneruskan maupun
menyimpangi ( menolak, memutarbalikkan essensi) konvensi.
Karya sastra yang dijadikan dasar penulisan
bagi sastra yang kemudian disebut
hipogram, “ hypogram “ ( Rifattere, 1980 : 23). Istilah hipogram,
barangkali dapat diindonesiakan menjadi latar, yaitu dasar, walau mungkin tidak
tampak secara emplisit, bagi penulis yang lain. Wujud hipogram mungkin berupa
penelusuran konvensi, sesuatu yang telah bereksistensi, penyimpangan dan
pemberontakan konvensi, pemutarbalikan esensi dan amanat teks-teks sebelumnya. ( Teeuw, 1983 : 65 ). Dalam istilah
lain, penelusuran tradisi dapat juga disebut dari mitos pengukuhan ( myth of
conceren), sedangkan penolakan tradisi sebagai mitos pemberontakan ( myth of
freedom). Kedua hal tersebut boleh dikatakan sesuatu yang “ wajib ” hadir dalam
penulisan teks kesastraan, sesuai dengan hakikat kesastraan itu yang selalu
berada dalam keregangan antara konvensi dan invensi, mitos pengukuhan dan mitos
pembeontakan (Nugiiyantoro, 1991:51).
Adanya karya-karya yang ditransformasikan
dalam penulisan karya sesudahnya ini menjadi perhatian utama kajian
intertekstual, misalnya lewat pengontrasan antara sebuah karya dengan karya-karya lain yang
di duga menjadi hipogramnya. Chairil Anwar menolak wawasan estetika
sajak-sajak Amir Hamzah yang dianggap mewakili zamannya dan menawarkan estetika baru yang ternyata mendapat sebutan
secara luas.Hal ini terlihat, banyak penyair sesudahnya yang “beguru” pada
puisi–puisinya ssehingga hal pun akhirnya menjadi konvensi pula.
Kemudian pada tahun 70-an, muncul Sutarji
Calzourn Bahri menolak mereaksi puisi-puisi Chairil Anwar beserta pengikutnya,
dan menolak estetikanya serta membebaskan kata dari belenggu makna dan tata
bahasa.
Dalam masalah hipogram tesebut, Julia
Kristiva (1969, lewat Culler, 1977:139), mengemukakan bahwa tiap teks merupan
sebuah moaik kutipan –kutipan, tiap teks merupakan penyerapan sebuah penyerapan
dan trasformasi dari teks –teks lain.
Pengarang dengan kekuatan imajinasi,
wawasan estetika, dan horizon harapannya sendiri, telah mengelolah dan
mentransformasikan karya-karya lain tersebut, yang mungkin berupa
konvensi–konvensi, bentuk-bentuk formal tertentu, gagasan, tentulah masih dapat
di kenali ( Pradopo, 1987 : 228 ).
Hipogram tidak akan komplit, melainkan
hanya bersifat parsial, yang berwujud tanda–tanda teks atau penguaktualisasian
unsur–unsur tertentu kedalam bentuk–bentuk teks yang ditransformasikan itu,
dapat hanya berupa varian leksikal, denotasi dan konotasi, pilihan paradigmatis
kata–kata, atau pemakaian bentuk sinonim.
Levin (1950, lewat teeuw, (1984 : 101) mengatakan bahwa
pengakuan konvensi dalam sejarah pertepatan dengan penolakannya. Penulisan
sebuah teks kesastraan tidak mungkin tuntuk seratus persen pada konversi.
Pengarang notabene memiliki daya kreativitas tinggi selalu memberontak pada segala
sesuatu yang telah mentradisi dan ingin menciptakan yang baru.
Prinsip
interkstual yang utama adalah prinsip memahami dan memberikan makna karya yang
bersangkutan. Karya itu diprediksikan sebagai reaksi, penyerapan, atau
transformasi dari karya-karya yang lain. Masalah interstekstual lebih dari
sekedar pengaruh ambilan, atau jiplakan, melainkan bagaiman kita memperoleh
makna sebuah karya secara penuh dalam kontrasnya dengan karya yang lain yang
menjadi hipogramnya baik berupa teks fiksi maupun puisi. Misalnya, hal itu
dilakukan oleh Teeuw ( 1983 : 66-69 )
dengan memperbandingkan antara sajak “ Berdiri aku “ karya Amir Hamzah dengan “
Senja di Pelabuhan Kecil “ karya Chairil Anwar dengan sajak Toto Sudarto
Bhatiar dan Ayip Rosidi, juga Nurgiyantoro (1989:11-20) mencoba meneliti
hubungan interteks antara puisi Pujangga Baru dengan puisi lama pantun.
2.5 Dekontruksi
Dewasa ini dunia
intelektual diguncang oleh munculnya arus pemikiran, paham, gerakan, atau
bahkan mungkin era baru yang dikenal dengan sebutan postmodernisme atau pascamodernisme. Hal ini terkait dengan masalah
filsafatdan biasa disingkat postmo. Hasil
pemikiran postmodernisme melalui berbagai aspek kehidupan manusia dan
bidang-bidang keilmuan, khususnya dalm bidang humaniora.
Postmodernisme menunjukkan suatu rasa yang meluas tentang merosotnya
wewenang modernisme dan munculnya epistimologi bary, yang dalam jangkauan
khasanah kesenian sdan intelektual memutuskan hubungan dan berlawanan dengan
paradigma moderenisme.
Postmodernisme menolak universalitas, totalitas, keutuhan organis,
pensisteman, dan segala macam legitimasi, termasuk dalam keilmuan. Ia menolak
kemapanan atau kebekuan kebakuan teori-teori modernisme, untuk linguistik,
misalnya teori struktitu memiliki ;strukturalisme disebut sebagai grand theory.
Model pendekatan dekontruksi ini dalam bidang kesastraan khususnya
fiksi, dewasa ini terlihat banyak diminati orang sebagai salah satu model atau
alternatif dalam kegiatan pengkajian kesastraan. Dekontruksi pada hakikatnya
merupakan suatu cara membaca sebuah teks yang menumbangkan anggapan ( walau hal
ini hanya secara implisit ) bahwa sebuah teks itu memiliki landasan, dalam
sistem bahasa yang berlaku, untuk menegaskan struktur, keutuhan, dan makna yang
telah menentukan ( Abrams, 1981 : 38 ).
Teori dekontruksi menolak pandangan bahwa bahasa memiliki makna yang
pasti, tertentu, dan konsisten, sebagaimana halnya pandangan strukturalisme
klasik. Jika struktural dipandang sebagai suatu yang sistematik, proyek
keilmuan, atau secara umum diartikan sebagai Science of sign, postrukturalisme
justru mengkritik hal itu sebagai sesuatu yang mungkin. Atau, jika
stukturalisme mengambil linguistik sebagai suatu model dan berusaha
mengembangkan “ gramma “ untuk mengkaji bentuk dan makna karya sastra, poststrukturalisme
justru menumbangkannya lewat karya-karya itu sendiri ( Culler, 1983 : 22)
Mendekonstruksi sebuah wacana (kesastraan), dengan demikian, adalah
menunjukkan bagaimana meruntuhkan filsofi yang melandasinya, atau beroposisi
secara hierarkhis terhadap sesuatu yang menjadi landasannya.
Pendekatan dekonstruksi dapat diterapkan dalam pembacaan karya sastra
dan karya filsafat. Menurut Derrida, teori Saussure yang memandang adanya
keterkaitan yang padu antara ujaran dan elemen tulisan (signifiant) dan makna
yang diacu (signified, signifie) sebenarnya tidak ada. Kita tidak pernah
memiliki makna yang tertentu dari bentuk-bentuk ungkapan kebahasan, melainkan hanya
(memiliki) efek makna yang kelihatan, makna yang semu.
Pembacaan
karya sastra, menurut paham dekonstruksi, tidak dimaksudkan untuk menegaskan
makna sebagaimana halnya yang lazim dilakukan, sebab sekali lagi, tidak ada
makna yang dihadirkan oleh suatu yang sudah menentu-melainkan justru untuk
menemukan makna kontradiktifnya, makna ironisnya. Pendekatan dekonstruksi
bermaksud untuk melacak unsur-unsur aporia, yaitu yang berupa makna paradoksal,
makna kontradiktif, makna ironi, dalam karya(sastra) yang dibaaca.unsur dan
bentuk bentuk dalam karya itu dicari dan dipahami justru dalam arti
kebalikan-nya. Unsur-unsur yang tidak penting dilacak dan kemudian
dipentingkannya.
Contoh
penerapan dekontruksi, paham ini berusaha melacak makna-makna kontradiktif ( bersifat kintradiksi yaitu pertentangan
antara dua hal yang sangat berlawanan atau bertentangan), makna ironi ( situasi yang bertentangan dengan yang diharapkan
atau yang seharusnya terjadi ), dalam karya (sastra) yang dibaca. Unsur dan
bentuk-bentuk dalam karya itu dicari dan dipahami justru dalam arti
kebalikan-nya. Unsur-unsur yang yang tidak penting dilacak dan kemudian
dipentingkannya.
Contoh
penerapan dekontruksi, paham dekontruksi berusaha melacak makna-makna kontradiktif, makna
ironi, memberikan makna dan peran kepada tokoh-tokoh pinggiran sehingga menjadi
yang berfungsi dalam keseluruhan teks yang bersangkutan.
Contoh
pembicaraan yang intertekstual tokoh Tini (baca : tokoh yang adalah wanita)
merupakan tokoh yang dikalahkan perjuangannya okeh Tono (tokoh yang pria),
barangkali karena penafsir novel itu kaum pria sehingga cenderung memenangkan
kaumnya sendiri. Karena kesibukan dengan konflik kehidupan pasangan Tono–Tini,
kita cenderung melupakan prestasi Tini sebagai pejuang emansipasi wanita.
Seperti kita akui, sebagai penerima estafert perjuangan emansipasi wanita dari
Tuti. Tokoh Tini dalam pandangan fenisme jika dipandang sebagai mewakili
kaumnya, telah memenangkan perjuangan kaum wanita dari dominsi kaum pria, masa
Balai Pustaka dan oleh Tuti. Tuti yang sebelumnya begitu ekstrim memperjuangkan
kemandirian-nya itu, akhirnya menyerah ditangan Yusuf calon suaminya, dan
bagaimana nasib perjuangannya itu tidak diketahui. Sebaliknya Tini, demi
perjuangan dan kemenangan kaumnya, ia mau mengorbankan kepentingannya sendiri.
Ketegasan
sikap Tini tersebut, di samping dipengaruhi oleh sikap Tuti sebelumnya, juga
secara nyata dipengaruhi oleh tokoh lain dalam novel Belenggu itu sendiri. Tati
hanya merupakan tokoh pinggiran, tokoh perifer, tokoh yang tidak dipentingkan.
Tati merupakan wanita tegas dan kuat daripada Tini sendiri. Demi perjuangan
kaumnya, Tati memilih tidak kawin, dengan sabar dan bekerja keras tidak
mengantungkan orang lain. Dengan kata lain setelah didekonstruksi, Tati dalam
novel Belenggu tersebut merupakan tokoh penting. Jika diintertekskan dengan
tokoh Tuti, dalam hal pemerjuangkan emansipasi wanita, tokoh Tini justru lebih
berhsil karena berani melepaskan diri dari dominasi pria dan bertekad hidup
mandiri sebagai realisasi prinsipnya.
Cara pembacaan
yang sama dapat juga dilakukan terhadap novel-novel lain, misalnya Siti
Nurbaya. Pada umumnya pembaca beranggapan bahwa Syamsul Bahri merupakan tokoh
protagonis yang hero, tokoh putih, sedang Datuk Maringgih, merupakan tokoh
antagonis yang serba jahat, tokoh hitam. Melalui cara dekonstruksi, keadaan itu
justru akan terbalik.
Syamsul Bahri
bukanlah pemuda hero, melainkan pemuda cengeng dan berperasaan nasionalisme
sempit. Hanya kegagalan cintanya terhadap seorang gadis (yang kemudian ternyata
sudah janda), ia lupa akan dirinya, putus asa dan bunuh diri. Hal itu
menunjukkan secara mental, ia bukanlah seorang pemuda yang kuat. Setelah
ternyata usaha bunuh dirinya gagal juga, ia memutuskan masuk serdadu kompeni.
Belakangan, ketika di daerah Sumatra barat, yang merupakan tanah kelahirannya,
terjadi pemberontakan karena masalah blasting, ia ditugaskan untuk menumpas
pemberontakan itu. Dengan bersemangat, ia berangkat ke medan tempur karena
sekaligus bermaksud membalas dendam terhadap Datuk Maringgih yang menjadi biang
keladi kegagalan cintanya. Apa pun hal itu berarti ia memerangi bangsanya
sendiri dan justru berdiri di pihak sana membela penjajah.
Dilihat dari dekonstruksi Jausz, yaitu yang
mempertimbangkan aspek historis yang berwujud sejarah tanggapan pembaca dari
masa ke masa, pembuatan Syamsul Bahri tersebut dewasa ini, sesuai dengan
konteks sosial yang ada, justru dapat ditanggapi sebagai perbuatan pengkhianat
bangsa. Terhadap bangsa sendiri ia sampai hati untuk memeranginya, semata-mata
didorong oleh motivasi pribadi.
Datuk
Maringgih, walau ia diakui banyak orang sebagai tokoh jahat bandot tua yang
doyan perempuan, namun hal ini pun mungkin ada yang menganggapnya baik,
misalnya ia justru dipandang sebagai pahlawan cinta seperti dalam nyanyian
kelompok Bimbo, justru dapat dipandang sebagai tokoh yang kuat dan berdemensi
baik. Dialah yang menjadi salah seorang tokoh yang menggerakkan pemberontakan
terhadap penjajah Belanda itu, walau hal itu dilakukan terutama juga karena
motivasi pribadi, dia yang paling banyak kena pajak. Apa pun motivasinya, dia
menjadi tokoh pemberontak. Artinya dia adalah tokoh pejuang bangsa, yang
seberapa pun kecil andilnya, bermaksud mengenyahkan penjajah dari bumi
indonesia. Dengan demikian justru dialah yang berhak disebut pahlawan dan
bukannya Syamsul Bahri.