Thursday, November 21, 2013

MAKALAH MORAL DALAM FIKSI


BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Unsur Moral dalam Fiksi
2.1.1        Pengertian dan Hakikat Moral
Moral merupakan unsur inti karya sastra. Moral adalah sesuatu yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca, merupakan makna yang terkandung dalam sebuah karya, makna yang disarankan lewat cerita. Moral, kadang-kadang diidentikkan pengertiannya dengan tema, walaupun sebenarnya tidak selalu menyarankan pada bentuk yang sama. Moral dan tema, keduanya merupakan sesuatu yang terkandung, dapat ditafsirkan, dan diambil dari cerita. Namun, tema bersifat lebih kompleks daripada moral, disamping tidak memiliki nilai langsung sebagai saran yang ditunjukkan kepada pembaca. Moral, dengan demikian, dapat dipandang sebagai salah satu wujud tema dalam bentuk yang sederhana, namun tidak semua tema merupakan moral (Kenny, 1966: 89)
Secara umum moral menyaran pada pengertian (ajaran tentang) baik buruk yang diterima mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; akhlak, budi pekerti, susila (KBBI, 1994).
Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal itulah yang ingin disampaikan kepada pembaca. Moral dalam cerita (Kenny (1966: 89), biasanya dimaksudkan sebagai saran yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis, yang dapat diambil dan ditafsirkan lewat cerita oleh pembaca. Ia merupakan “petunjuk” yang sengaja diberikan oleh pengarang tentang berbagai hal yang berhubungan dengan masalah kehidupan, seperti sikap, tingkah laku, dan sopan santun pergaulan.
Melalui cerita, sikap, dan tingkah laku tokoh-tokoh itulah pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah dari pesan-pesan moral yang disampikan, yang diamanatkan. Moral dalam karya satra dipandang sebagai amanat, pesan, massage. Bahkan, unsur amanat itu sebenarnya merupakan gagasan yang mendasari diciptakannya karya sastra sebagai pendukung pesan.
Moral dalam karya sastra, atau hikmah yang diperoleh pembaca lewat karya sastra, selalu dalam pengertian yang baik. Jika dalam sebuah karya ditampilkan sifat atau tingkah laku tokoh yang kurang terpuji atau buruk, maupun protagonis, bukan berarti pengarang menyarankan kepada pembaca untuk bersikap dan bertindak secara demikian. Sikap dan tingkah laku tersebut hanyalah model, yang sengaja ditampilkan justru agar tidak diikuti, atau minimal tidak dicenderungi oleh pembaca. Pembaca diharapkan mengambil hikmah sendiri dari tokoh antagonis itu.

2.1.2        Jenis dan Wujud Pesan Moral
Dalam karya fiksi banyak sekali jenis dan wujud ajaran moral yang dipesankan. Jenis dan wujud pesan moral yang terdapat dalam karya sastra akan bergantung pada keyakinan, keinginan, dan interes pengarang yang bersangkutan. Jenis ajaran moral boleh dikatakan bersifat tidak terbatas. Ia dapat mencakup seluruh persoalan hidup dan kehidupan, seluruh persoalan yang menyangkut harkat dan martabat manusia.
Sebuah novel tentu saja dapat mengandung dan menawarkan pesan moral itu salah satu, dua, atau ketiganya sekaligus, masing-masing dengan wujud detil khususnya. Secara garis besar persoalan hidup dan kehidupan manusia mencakup tiga hal, (1) hubungan manusia dengan diri sendiri, (2) hubungan manusia dengan manusia lain, termasuk hubungan dengan lingkungan alam, dan (3) hubungan manusia dengan Tuhan-Nya.
Persoalan manusia dengan dirinya sendiri dapat bermacam-macam jenis dan intensitasnya. Hal itu tentu saja juga tidak lepas dengan persoalan hubungan antarsesama dengan Tuhan. Misalnya: masalah-masalah seperti eksensi diri, harga diri, percaya diri, takut, maut, rindu, dendam, kesepian, dan lain-lain yang bersifat melibatkan ke dalam diri dan kejiwaan seorang individu.
Masalah-masalah yang berupa hubungan antarmanusia itu antara lain dapat berwujud: persahabatan, kesetiaan, penghianatan, kekeluargaan: hubungan suami-istri, orang tua-anak, hubungan buruh-majikan, cinta tanah air, dan lain-lain yang melibatkan interaksi antarmanusia.
Sedangkan masalah-masalah yang berupa hubungan manusia dengan Tuhannya, misalnya tentang keimanan, ibadah, dosa, dan lain sebagainya.

2.2    Pesan Religius dan Kritik Sosial
Pesan moral yang berwujud religius, termasuk di dalamnya yang bersifat keagamaan, dan kritik sosial banyak ditemukan dalam karya fiksi. Kedua hal tersebut merupakan “lahan” inspirasi bagi para penulis. Hal itu disebabkan karena banyaknya masalah kehidupan yang tidak sesuai dengan yang diharapkan, kemudian mereka mencoba menawarkan sesuatu yang diidealkan.
2.2.1        Pesan Religius dan Keagamaan
Kehadiran unsur relegius dan keagamaan dalam sastra adalah suatu keberadaan sastra itu sendiri. Bahkan sastra tumbuh dari suatu yang bersifat relegius. Pada awal mula segala sastra adalah relegious (Mangunwijaya, 1982: 11). Istilah “relegius” berarti membawa konotasi pada makna agama. Relegius dan agama memang erat dan berkaitan, berdampingan, bahkan dapat melebur dalam kesatuan, namun sebenarnya keduanya menyaran pada makna yang berbeda.
Agama lebih menunjukkan pada kelambagaan kebaktian pada Tuhan dengan hukum-hukum yang resmi. Sedangkan Religiositas, melihat aspek dari lubuk hati, riak getaran nurani pribadi, totalitas kedalaman pribadi manusia. Dengan demikian, religius bersifat mengatasi, lebih dalam, dan lebih luas dari agama yang tampak dormal dan resmi (Mangunwijaya, 1982: 11-12).
Seorang religius adalah orang yang mencoba memahami dan menghayati hidup dan kehidupan ini lebih dari sekedar yang lahiriah saja. Dia tidak terikat pada agama tertentu yang ada di dunia ini. Seorang penganut agama tertentu, Islam misalnya, idealnya sekaligus religius, namun tidak demikian kenyataannya. Banyak penganut agama tertentu, misalnya seperti yang terlihat dalam KTP, namun sikap dan tingkah lakunya tidak religius. Moral religius menjunjung tinggi sifat-sifat manusiawi, hati nurani yang dalam, harkat, dan martabat serta kebebasan pribadi yang dimiliki manusia.
Masalah religius dan keagamaan misalnya dalam cerpen Robohnya Surau Kami, menceritakan kehidupan seseorang penunggu surau yang hanya beribadah melulu dan melupakan urusan dunia, yang akhirnya bunuh diri. Cerpen tersebut ingin menyampaikan pesan keagamaan, bahwa kehidupan dunia-akhirat harus dijalani secara seimbang. Orang boleh saja, dan mesti demikian, beribadah secara sungguh-sungguh dan selalu ingat kepada Tuhan, namun selama masih di dunia, ia tidak akan dapat menghindar dari kebutuhan duniawi.

2.2.2        Pesan Kritik Sosial
Hampir semua novel Indonesia sejak awal pertumbuhannya hingga sekarang ini, boleh dikatakan mengandung unsur pesan kritik sosial walau dengan tingkat intensitas yang berbeda. Wujud kehidupan sosial yang dikritik bermacam-macam seluas lingkup kehidupan sosial itu sendiri. Banyak karya sastra yang bernilai tinggi yang didalamnya menampilkan pesan-pesan kritik sosial.
Namun, perlu ditegaskan bahwa karya-karya tersebut menjadi bernilai bukan lantaran pesan itu, melainkan lebih ditentukan oleh kohereni semua unsur intrinsiknya. Pesan moral hanya merupakan salah satu unsur pembangaun karya fiksi saja. Selain itu, pesan moral, khususnya kritik sosial, dapat mempengaruhi aktualisasi karya yang bersangkutan.
Sastra yang mengandung kritik sosial, juga dapat disebut sastra kritik. Biasanya akan lahir di tengah masyarakat jika terjadi hal-hal yang kurang beres dalam kehidupan sosial dan masyarakat. Paling tidak, hal itu ada dalam penglihatan dan dapat dirasakan oleh pengarang yang berperasaan peka. Pengarang umumnya tampil sebagai pembela kebenaran dan keadilan, ataupun sifat-sifat luhur kemanusiaan yang lain. Ia tidak akan diam, dan lewat karangannya itu akan memperjuangkan hal-hal yang diyakini kebenarannya.
Banyak karya sastra, jadi tidak hanya fiksi saja, yang memperjuangkan nasib rakyat kecil yang memang perlu dibela, rakyat kecil yang seperti dipermainkan oleh tangan-tangan kekuasaan, kekuasaan yang kini lebih berupa kekuatan ekonomi. Berbagai penderitaan rakyat itu antara lain berupa menjadi korban kesewenangan, penggusuran, penipuan, atau yang selalu dipandang, diperlakukan, dan diputuskan sebagai pihak yang selalu di bawah, kalah, dan dikalahkan.

2.3    Bentuk Penyampaian Moral
Karya sastra yang merupakan salah satu wujud karya seni yang notabene mengemban tujuan estetik, tentunya mempunyai kekhususan sendiri dalam hal menyempaikan pesan-pesan moralnya.
Secara umum dapat dikatakan bahwa bentuk penyampaian moral dalam karya fiksi mungkin bersifat langsung, atau tak langsung. Namun, sebenarnya pemilahan itu hanya demi praktisnya saja sebab mungkin saja ada pesan yang bersifat agak langsung. Dalam sebuah novel sendiri, mungkin sekali ditemukan adanya pesan yang benar-benar tersembunyi sehingga tak banyak orang yang banyak merasakannya, namun mungkin pula ada yang agak langsung dan seperti ditonjolkan.

2.3.1        Bentuk Penyampaian Langsung
Bentuk penyampaian pesan moral yang bersifat langsung, boleh dikatakan, identik dengan cara pelukisan watak tokoh yang bersifat uraian, telling, penjelasan, atau ekspository. Jika dalam teknik uraian pengarang secara langsung mendeskripsikan perwatakan tokoh cerita yang bersifat “memberi tahu” atau memudahkan pembaca untuk memahaminya, hal yang demikian juga terjadi dalam penyampian moral. Artinya, moral yang disampaikan, atau diajarkan, kepada pembaca itu dilakukan secara langsung dan eksplisit. Pengarang, dalam hal ini, tampak bersifat menggurui pembaca, secara langsung memberi nasihat dan petuahnya.
Dilihat dari segi kebutuhan pengarang yang ingin menyampaikan kepada pembaca, teknik penyampaian langsung dinamakan komunikatif. Artinya, pembaca memang secara mudah dapat memahami apa yang dimaksud. Pembaca tidak sulit-sulit menafsirkan sendiri dengan jaminan belum tentu pas.
Karya sastra adalah karya estetis yang memiliki fungsi untuk menghibur, memberi kenikmatan emosional dan intelektual. Pesan moral yang bersifat langsung biasanya terasa dipaksakan dan kurang koherensif dengn unsur-unsur yang lain. Hal itu justru merendahkan nilai literer karya yang bersangkutan. Hubungan komunikasi yang terjadi antara pengarang (addresser) dengan pembaca (addresse) pada penyampaian pesan dengan cara ini adalah hubungan langsung.
Pengarang  è  Amanat  è  Pembaca
      (Adresser)      (Message)     (Addresse)
Gambar yang ditunjukkan diatas mengandaikan pesan yang ingin disampaikan itu kurang ada hubungannya dengan cerita, ia lebih merupakan sesuatu yang diomprengkan dalam cerita. Jadi, ia merupakan sesuau yang sebenarnya berada di luar unsur cerita itu sendiri. Pesan langsung dapat juga terlibat dan atau dilibatkan dalam cerita, tokoh-tokoh cerita, dan pengaluran cerita. Artinya, yang kita hadapi memang cerita, namun isi ceritanya sendiri sangat terasa tendenius, dan pembaca pembaca dengan mudah memahami pesan itu. Jika kedua bentuk pesan langsung tersebut digambarkan, dan hal itu mungkin saja dapat ditemui dalam sebuah karya, hubungan komunikasi pengarang dan pembaca itu akan terjadi dalam dua jalur seperti terlihat dalam gambar berikut.
Amanat
Pengarang                                                        Pembaca
                                                                                    Ditafsirkan
                                                                                                                oleh

            Amanat                                               Amanat

Dituangkan
ke dalam
TEKS
2.3.2        Bentuk Penyampaian Tidak Langsung
Bentuk penyampaian moral yang bersifat tidak langsung, pesan itu hanya tersirat dalam cerita, berpadu secara koherensif dengan unsur-unsur cerita yang lain. Walau betul pengarang ingin menawarkan dan menyampaikan sesutu, ia tidak melakukannya secara serta-merta dan vulgar karena ia sadar telah memilih jalur cerita.
Jika dibandingkan dengan teknik pelukisan watak tokoh, cara ini sejalan dengan teknik ragaan, showing. Yang ditampilkan dengan cerita adalah peristiwa, peristiwa, konflik, sikap, dan tingkah laku para tokoh dalam menghadapi peristiwa dan konflik itu, baik yang terlihat dalam tingkah laku verbal, fisik, maupun yang hanya terjadi dalam pikiran dan perasaannya. Melalui berbagai hal tersebut, pesan moral disampaikan. Sebaliknya, dilihat dari pembaca, jika ingin memahami dan menafirkan pesan itu, harusnya ia melakukannya berdasarkan cerita, sikap, dan tingkah laku para tokoh.
Dilihat dari kebutuhan pengarang yang ingin menyampaikan pesan dan pandangan itu, cara ini munkin kurang komunikatif. Artinya, pembaca belum tentu dapat menangkap apa sesungguhnya yang dimaksudkan pengarang, paling tidak memungkinkan terjadinya kesalahan tafsir berpeluang besar. Namun, hal yang demikian adalah amat wajar, bahkan merupakan hal yang esensial dalam karya sastra. Berangkat dari sifat esensial inilah sastra dipandang sebagai kelebihan karya sastra. Hal ini pula yang menyebabkan karya sastra tidak sering ketinggalan, sanggup melewati batas waktu dan kebangsaan.
Hubungan yang terjadi antara pengarang dan pembaca adalah hubungan yang tidak langsung dan tersirat. Kurang ada pretensi pengarang untuk langsung menggurui pembaca sebab yang demikian justru tidak efektif disamping juga merendahkan kadar literer karya yang bersangkutan. Pengarang tidak menganggap pembaca bodoh, dan sebaliknya pembacapun tidak mau dibodohi pengarang.
Kadar ketersembunyian dan atau kemencolokan unsur pesan yang ada, dalam banyak hal, dipakai untuk mempertimbangkan keberhasilan sebuah karya sebagai karya seni. Dengan demikian, disatu pihak, pengarang berusaha “menyembunyikan” pesan dalam teks, dalam kepaduannya dengan keseluruhan cerita, dipihal lain, pembaca berusaha menemukannya lewat teks cerita itu. Keadaan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut (dimodifikasi dari Leech & Short, 1981: 210, dengan sedikit perubahan maksud.
Amanat
Pengarang                                                        Pembaca
                                                                                    Ditafsirkan
                                                                                                                oleh
                              
            Amanat                                               Amanat

Dituangkan
ke dalam
TEKS

KAJIAN FIKSI


Makalah

KAJIAN PROSA FIKSI

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Apresiasi Prosa Fiksi
                                                                            
                                                          







Disusun Oleh:
Rizka Wulandari
                                                                                              



PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS ISLAM MAJAPAHIT
MOJOKERTO
2013





      

2.1  Hakikat Kajian Fiksi
Istilah kajian, atau pengkajian itu mengandung pengertian sebuah proses penelaahan, atau penyelidikan. Ia merupakan pembedaan dari perbuatan mengkaji, yang dalam KBBI itu dapat diartikan sebagai sebuah proses belajar, mempelajari, memeriksa, menyelidiki, meneliti, memikirkan, mempertimbangkan, menguji, menelaah baik buruknya suatu perkara yang dalam bab ini adalah pengkajian terhadap sebuah karya fiksi, dimana kita dituntut untuk mampu menyelidiki dan meneliti apa yang ada dalam sastra fiksi, baik itu unsur intrinsik maupun unsur ekstrinsik, ataupun mengkaji makna tersurat ataupun tersirat yang tarkandung dalam sastra tersebut.
Selain menggunakan kata kajian dalam materi ini, penggunaan kata analisis itu sendiri sering ditafsirkan dalam konotasi yang cukup negatif. Kesan yang jarang ditimbulkan dari kata tersebut adalah kegiatan mencincang-cincang karya satra atau memisah-misahkan bagian-bagian dari keseluruhan. Karena konteks pemakaiannya pun sudah berbeda, terutama kata “ mencincang “ itu mempunyai arti mencencang ( memotong ) halus. ( KBBI, edisi ketiga 20007, hal. 214 ). Berarti kata ini lebih khususnya digunakan dalam hal pemotongan / memcincang sebuah bahan pangan, bukan dalam karya sastra.
Kegiatan analisis kesastraan mencoba memisahkan bagian-bagian dari keseluruhan, yang dianggap sebagai kerja sia-sia. Anggapan tidak semuanya dianggap sebagai suatu hal yang salah ataupun patut disalahkan, dan juga belum tentu patut dibenarkan, karena semua itu membutuhkan penjelasan yang lebih lanjut bagaimana hakekatnya kegiatan analisis karya sastra itu sesungguhnya. Mengenai makna analisis itu sesungguhnya mengandung pengertian hampir sama dengan makna kajian, yaitu : penyelidikan terhadap suatu peristiwa ( karangan, perbuatan, dsb. ) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya ( sebab-musabab, duduk perkaranya ). ( KBBI, edisi ketiga 20007, hal. 42 ).
Dari penjelasan di atas sudah dapat ditangkap bahwa sesungguhnya kegiatan analisis itu pada hakekatnya tidaklah kegiatan memisahkan dari seluruhnya tetapi melakukan suatu kegitan penyelidikan apa saja yang ada didalam karya sastra tersebut secara keseluruhan bagian-bagian dari karya sastra itu sendiri. Tetapi semua itu tergantung dari cara sudut pandang mereka, para-para peneliti sastra mengartikan sejatinya kegiatan analilis karya sastra itu seperti apa. Karena dari sekian pendapat yang dikemukakan pastinya mempunyai alasan tersendiri yang menguatkan argumennya masing-masing.
Selain kata analisis dan kajian, dikenal juga kata “ apresiasi “. Banyak pengertian mengenai makna dari mengapresiasikan sebuah karya sastra. Istilah apresiasi berasal dari bahasa Latinapreciatio “ yang berarti “ mengindahkan”  atau “ menghargai “. Menurut Gove, apresiasi itu mengandung pengertian :
1.    pengenalan melalui perasaan atau kepekaan batin, dan
2.     pemahaman dan pengakuan terhadap nilai-nilai keindahan yang diungkapkan pengarang.
Kajian terhadap karya sastra, termasuk fiksi, mencakup berbagai aspek. Aspek-aspek tersebut, yaitu :
1.    Aspek penghayatan
               Berkaitan dengan keterlibatan emosi pembaca dalam upaya menikmati dan menghayati unsur-unsur keindahan karya satranya itu.
2.    Aspek penafsiran
               Berkaitan dengan keterlibatan intelektual ( kecerdasan ) pembaca dalam memahami unsur-unsur kesastraan selaku pembangun karya sastra, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstinsik.
3.    Aspek penilaian
               Berkaitan dengan kegiatan memberikan penilaian terhadap keberhasilan atau kegagalan, baik-buruk, indah-tidak indah, sesuai-tidak sesuai sebuah karya sastra yang dikaji berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Kemampuan memberikan penilaian atau pertimbangan terhadap karya sastra bisa dimiliki oleh seorang karena faktor bakat atau faktor latihan secara terus menerus.
Pernyataan itu selaras dengan pendapat Squire dan Taba, keduanya berkesimpulan bahwa apresiasi itu suatu proses yang melibatkan tiga unsur yaitu : 
1.    aspek kognitif, yang berkaitan dengan keterlibatan intelek pembaca dalam upaya memahami unsur - unsur kesastraan yang bersifat obyektif.
2.     aspek emotif, yang berkaitan dengan keterlibatan unsure emosi pembaca dalam upaya menghayati unsur – unsur keindahan dalam teks sastra yang dibaca dan berperan dalam upaya memahami unsur – unsur yang bersifat subyektif.
3.     aspek evaluatif, yang berhubungan dengan kegiatan memberikan penilaian terhadap baik-buruk, indah-tidak indah, sesuai-tidak sesuai serta sejumlah ragam penilaian lain yang tidak harus hadir dalam sebuah karya kritik, tetapi secara personal cukup dimiliki oleh pembaca.
 ( Aminuddin, Pengantar Apresiasi Karya Sastra 1987, 34 – 35 ).
Manfaat yang terkesan dari menganalisis, mengkaji, mengapresiasi sebuah karya sastra fiksi itu diantaranya itu, kita dapat menambah pengetahuan tentang kosakata dalam suatu bahasa, tentang pola kehidupan suatu masyarakat. Selain itu secara umum kegiatan ini bermanfaat, diantaranya : 
1.      mendapatkan hiburan, 
2.      mengisi waktu luang.
Tetapi secara khusus dapat mengandung manfaat yang mendetail, yaitu : 
1.    memberikan informasi yang berhubungan dengan perolehan nilai – nilai kehidupan,
2.    memperkaya pandangan atau wawasan kehidupan sebagai salah satu unsur yang berhubungan dengan pemberian arti maupun peningkatan nilai kehidupan manusia itu sendiri, dan
3.    memberikan katarsis (kemampuan karya sastra menjernihkan batin pembaca dari segala kompleksitas batin setelah pembaca melaksanakan kegiatan apresiasi secara akrab dan sungguh – sungguh sehingga terjadi peleburan antara pembaca dengan dunia-dunia yang diciptakan pengarangnya ) dan sublimasi ( sastra itu dapat memberikn kepuasan dan kesegaran baru, tersendiri bagi pengarangnya akibat realitas yang ditimbulkannya secara individual ).
Jadi dapat ditarik sutu kesimpulan secara keseluruhan bahwa manfaat dari kita mengkaji sebuah karya satra, diantaranya :
1.    dapat dijadikan pengisi waktu luang,pemberian atau pemerolehan hiburan, 
2.    untuk mendapatkan sebuah informasi, 
3.    media pengembang dan pemerkaya pandangan kehidupan, dan
4.    memberikan pengetahuan nilai sosio-kultural dari zaman atau masa karya sastra itu dilahirkan.
Kerja analisis kesastraan itu dimaksudkan untuk memahami secara lebih baik sebuah karya, merebut, menafsirkan, makna berdasarkan berbagai kemungkinannya, cara kerja tersebut dilandasi suatu asumsi bahwa karya fiksi yang merupakan sebuah totalitas dan kebulatan makna itu dibangun secara koherensif ( tersusunnya uraian atau pandangan sehingga bagian-bagiannya berkaitan satu dengan yang lain ) oleh banyak unsur intrinsik.
Memahami dan mengungkapkan “ sesuatu “ yang terdapat dalam karya sastra, dikenal dengan istilah heuristik ( heuristik ) dan hermeneutik ( hermeneutik ). Kedua istilah itu secara lengkap disebut sebagai pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik. Kerja heuristik merupakan pembacaan karya sastra pada sistem semiotik tingkat pertama, yang menghasilkan pemahaman makna secara harfiah, makna tersurat ( actual meaning ). Sedang kerja hermeneuitik yaitu pemahaman karya pada tataran semiotik tingkat kedua, yang mencoba menafsirkan makna tersirat, dan inilah yang disebut sebagai makna intensional.
Sealain itu pembacaan heuristik dan pembacaan retroaktif  atau pembacaan hermeneutik. Riffaterre, ( 1978:5-6 ), pertama kali, sajak dibaca secara heuristik, yaitu dibaca berdasarkan tata bahasa normatif ( berpegang teguh ada norma / peraturan yang berlaku ), morfologi, semantik, dan sintaksis. Pembacaan heuristik ini menghasilkan arti (meaning) sajak secara keseluruhan menurut tata bahasa normatif sesuai dengan sistem semiotik tingkat pertama ( first order semiotics ). Pembacaan heuristik ini belum memberikan makna sajak atau makna sastra  (significance). Oleh karena itu. karya sastra (sajak, fiksi ) harus dibaca ulang ( retroaktif) dengan memberikan tafsiran ( hermeneutik ) (Riffaterre, 1978:5-6 )
Pembacaan retroaktif dan hermeneutik itu berdasarkan konvensi sastra yaitu puisi itu merupakan ekspresi tidak langsung.
Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan menurut system tingkat dua ( second order semiotic ). Pembacaan heuristik menurut Riffaterre (1978:5) merupakan pembacaan tingkat pertama, untuk memahami makna secara linguistik, sedangkan pembacaan hermeneutik merupakan pembacaan tingkat kedua untuk menginterpretasi makna secara utuh. Dalam pembacaan ini, pembaca lebih memahami apa yang sudah dia baca untuk kemudian memodifikasi pemahamannya tentang hal itu.
.Menurut Santosa (2004:231) bahwa pembacaan heuristik adalah pembacaan yang didasarkan pada konvensi bahasa yang bersifat mimetik (tiruan alam) dan membangun serangkaian arti yang heterogen, berserak-serakan atau tak gramatikal. Hal ini dapat terjadi karena kajian didasarkan pada pemahaman arti kebahasaan yang bersifat lugas atau berdasarkan arti denotatif dari suatu bahasa.
Sedangkan Pradopo (2010:135) memberi definisi pembacaan heuristik yaitu pembacaan berdasarkan struktur bahasanya atau secara semiotik adalah berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat pertama.Hermeneutik adalah teori tentang bekerjanya pemahaman dalam menafsirkan teks (Ricoerur dalm Ikhwan, dkk 2010 151). Cakupan teori ini  meliputi:
1) peristiwa pemahaman terhadap teks,
2) Persoalan yang lebih mengarah mengenai pemahaman dan interpretasi,
Sedangkan menurut Santosa (2004:234), pembacaan hermeneutik adalah pembacaan yang bermuara pada ditemukannya satuan makna puisi secara utuh dan terpadu. Sementara itu, Pradopo (2010:137) mengartikan pembacaan hermeneutik sebagai pembacaan berdasarkan konvensi ( kesepakatan )sistem semiotik tingkat kedua (makna konotasi). Pada tahap ini, pembaca harus meninjau kembali dan membandingkan hal-hal yang telah dibacanya pada tahap pembacaan heuristik. Dengan cara demikian, pembaca dapat memodifikasi ( pengubahan / perubahan ) pemahamannya dengan pemahaman yang terjadi dalam pembacaan hermeneutik.Puisi harus dipahami sebagai sebuah satuan yang bersifat struktural atau bangunan yang tersusun dari berbagai unsur kebahasaan.
Oleh karena itu, pembacaan hermeneutik pun dilakukan secara struktural atau bangunan yang tersusun dari berbagai unsur kebahasaan. Artinya, pembacaan itu bergerak secara bolak-balik dari suatu bagian ke keseluruhan dan kembali ke bagian yang lain dan seterusnya. Pembacaan ini dilakukan pada interpretasi hipogram potensial, hipogram aktual, model, dan matriks (Riffaterre,1978:5). Proses pembacaan yang dimaksudkan oleh Riffaterre ( Selden, 1993:126) dapat diringkas sebagai berikut :
1)      Membaca untuk arti biasa.
2)      Menyoroti unsur-unsur yang tampak tidak gramatikal dan yang merintangi penafsiran mimetik yang biasa.
3)       Menemukan hipogram, yaitu mendapat ekspresi yang tidak biasa dalam teks.
4)      Menurunkan matriks dari hipogram, yaitu menemukan sebuah pernyataan tunggal atau sebuah kata yang dapat menghasilkan hipogram dalam teks.
Pembacaan heuristik ini adalah pembacaan menurut sistem bahasa, menurut sistem tata bahasa normatif. Karya sastra, lebih-lebih puisi, ditulis secara sugestif, hubungan antar baris dan baitnya bersifat implisit. Hal ini disebabkan oleh puisi itu hanya mengekspresikan inti gagasan atau pikirann.Oleh karena itu, hal-hal yang perlu tidak usah  di nyatakan. Ada awalan dan akhiran yang dihilangkan hingga tinggal inti katanya. Ada susunan kalimat yang dibalik. Oleh karena itu, pembacaan sastra harus mewajarkan hal-hal yang tidak wajar. Bahasa sastra harus dinaturalisasikan menjadi bahasa biasa, bahasa normtif. Dalam penaturalisasikan ini kata-kata yang tidak berawalan dan berakhiran diberi awalan dan akhiran. Dapat penaturalisasian ini kata-kata atau kalimat untuk memperjelas hubungan antar kalimat dan antar baitnya. Susunan diubah menjadi susunan kata bahasa normatif. Baik kata maupun kalimatnya dapat diganti dengan sinonimnya atau yang searti.
Dalam pembacaan hermeneutik ini sajak dibaca berdasarkan konvensi-konvensi satra menurut sistem semiotik tingkat kedua. Konvensi sastra yang memberikan makna itu diantaranya konvensi ketaklangsungan ucapan (ekspresi) sajak (puisi) (Riffaterre, 1978:1). Dikemukakan Riffaterre (1978:2), ketaklangsungan ekspresi sajak itu disebabkan oleh :
a)      penggantian arti (displacing of meaning),
b)     pemencongan atau penyimpangan arti (distorsing of meaning), dan
c)      penciptaan arti (creating of meaning).
            Dalam kajian kesastraan, secara umum dikenal adanya analisis struktural, yang pertama menekankan pada fungsi dan hubungan antar unsur ( intrinsik ) dalam karya satra, dan semiotik, yang menekankan pada pemaknaan karya itu dipandang sebagai sebuah sistem tanda. Kajian semiotik merupakan usaha pendekatan yang muncul lebih kemudian, pendekatan struktural ini dianggap memiliki kelemahan-kelemahan. Maka dari itu materi ini akan dibahas selanjutnya secara mendetail pada keterangan selanjutnya.
2.2Kajian Struktural
          Strukturalisme itu tidak dapat dipisahkan dengan semiotik. Alasannya adalah karya sastra itu merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna. Tanpa memperhatikan sistem tanda,dan maknanya, dan konvensi tanda, struktur karya sastra (karya sastra) tidak dapat mengerti maknanya secara optimal. Tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Dalam lapangan kritik sastra semiotik meliputi analisis sastra sebagai sebuah penggunaan bahasa yang bergantung pada sifat-sifat yang menyebabkan bermacam-macam cara (modus) wacana mempunyai makna (Preminger,dkk,1974:980).
Pendekatan struktural dipelopori oleh kaum formalis Rusia dan strukturalisme Praha. Menurut kaum strukturalisme sebuah karya satra, fiksi, atau puisi adalah sebuah totalitas yang dibangun secara koherensif ( keselarasan yang mendalam antara bentuk dan karya sastra)  oleh berbagai unsur ( pembangun ) –nya.
Selain istilah struktural diatas, dunia kesastraan ( termasuk linguistik ) mengenal istilah strukturalisme, yang dapat dipandang sebagai salah satu pendekatan kesastraan yang menekankan pada kajian hubungan antar-unsur pembangun karya yang bersangkutan.
Analisis struktural karya sastra, yang dalam hal ini dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji, mendeskripsikan fungsi dan hubungan antara unsur intrinsik fiksi yang bersangkuatan. Mula-mula dideskripsikan kan diidentifikasikan, misalnya bagaimana keadaan peristiwa, plot, tokoh, dan penokohan, latar, sudut pandang, dan lain-lain, kemudian diujicobakan bagaimana fungsi-fungsi masing-masing unsur dalam menunjang makna keseluruhan, dan bagaimana hubungan antar-unsur itu sehingga secara bersamaan membentuk sebuah totalitas kemaknaan yang terpadu.
Dengan demikian pada dasarnya analisis struktural bertujuan memaparkan secermat mungkin dan keterkaitan antarberbagai unsur karya sastra yang secara keseluruhan. Analisis struktural tidak cukup dengan mendata unsur tertentu dari karya fiksi, namun yang lebih penting adalah menunjukkan bagaimana hubungan antar-unsur itu.
Analisis struktural juga berupa kajian yang menyangkut relasi unsur-unsur dalam mikroteks, satu keseluruhan wacana, relasi mikroteks itu, misalnya berupa kata-kata dalam kalimat, kalimat-kalimat dalam alenia atau konteks wacana yang lebih besar.
Salah satu cara untuk menganalisis dalam suatu sastra adalah dengan cara  malakukan suatu pendekatan, karena pendekatan itu sebagai suatu  prinsip dasar atau landasan yang dapat digunakan oleh seseorang sewaktu mengapresiasi karya sastra dapat bermacam-macam. Keanekaragaman pendekatan itu ditentukan dari :
·         Tujuan dan apa yang akan diapresiasi lewat teks sastra yang di bacanya,
·         Kelangsungan apresiasi itu terproses lewat kegiatan bagaimana, dan
·         Landasan teori yang digunakan dalam kegiatan apresiasi.
Banyak sekali pendekatan yang muncul, diantaranya :
1.      Pendekatan paraframatis, berhubungan dengan strategi pemahaman kandungan makna dalam suatu cipta sastra dengan jalan mengungkapkan kembali gagasan  yang disampaikan pengarang dengan menggunakan kata-kata dan kalimat yang digunakan pengarangnya, dengan tujuan menyerderhanakan pemakaian kata atau kalimat seorang pengarang sehingga pembaca alebihmudah memahami kandungan makna yang terdapat dalam suatu cipta sastra.
2.      Pendekatan emotif, yang berusaha menemukan unsur-unsur yang mangajuk emosi atau perasaan pembaca, berprinsip bahwa pandangan cipta sastra bagian dari karya seni yang hadir dihadapan masyarakat pembaca untuk dinikmati sehingga dapat memberikan hiburan serta kesenangan.
3.      Pendekatan analitis, merupakan suatu pendekatan yang berusaha memahami gagasan atau mengimajinasi ide-idenya, sikap pengarang dalam menampilkan gagasannya, elemen intrinsik dan mekanisme hubungan dari setiap elemen intinsik itu sehingga mampu membangun adanya keselarasan dan kesatuan dalam rangka membangun totalitas bentuk maupun totalitas maknanya.
4.      Pendekatan historis, lebih menekankan pada pemahaman tentang biografi pengarang, latar belakang peristiwa kesejarahan yang melatar belakangi masa-masa terwujudnya cipta sastra yang dibaca, dan perkembangan kehidupan penciptaan maupun kehidupan sastra itu sendiri pada umumnya dari zaman ke zaman.
5.      Pendekatan sosiopsikologis, yang berusaha memahami latar belakang kehidupan sosial-budaya, kehidupan masyarakat, maupun tanggapan kejiwaan atau sikap pengarang terhadap lingkungan kehidupannya atupun zamannya pada saat cipta sastra itu diwujudkan
6.      Pendekatan didaktif, yang berusaha menemukan dan memahami gagasan, tanggapan evaluatif maupun sikap pengarang terhadap kehidupan.
Tetapi yang akan disinggung dalam bab ini hanya ada pendekatan struktural dan pendekatan semiotik yang hampir sama dengan pendapat Olsen yang membagi pendekatan menjadi beberapa macam, ( yaitu emotif, ekspresif, kognitif, semantis, struktural ).

2.3 Kajian Semiotik
 Dalam melihat karya sastra yang memiliki sistem sendiri, semiotik tidak terbatas pada sosok karya tersebut tetapi juga menghubungkannya dengan sistem yang berada diluarnya. Sistem yang berada diluar karya sastra adalah semua dimensi, data, fenomena yang mereaksi bagi kelahiran karya sastra tersebut (Pradopo, 1995). Berarti, semiotik tidak dapat melihat karya sastra hanya sebagai objek materi seni tetapi juga melihatnya dalam perspektif ( yang lebih luas, yaitu kehidupan manusia, tata nilai, lembaga kemasyarakatan, dan adat istiadat. Di pihak lain tanda-tanda atau kode-kode sekecil apapun yang terdapat dalam karya sastra penting diperhatikan karena ikut membentuk sistem dan keseluruhan karya tersebut.
Semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Sudah lahir pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Akan tetapi, ilmu ini baru berkembang mulai pada pertengahan abad ke-20. Meskipun pada akhir abad ke-20 dalam bidang penelitian sastra, sudah ada teori-teori sastra yang baru seperti sosiologi sastra, teori dan kritik feminis, dekontruksi( dan estetika resepsi, tetapi semiotika menduduki posisi dominan dalam penelitian sastra. Semiotika itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan. Penelitian sastra dengan pendekatan semiotika itu sesungguhnya merupakan lanjutan dari pendekatan strukturalisme. Dikemukakan oleh Junus (1981:17).
Istilah “Semiotik” berasal dari bahasa Yunani, yaitu “semion” yang berarti tanda, (sistem-sistem lambang dan proses-proses perlambangan). Semiotik itu sendiri bukanlah suatu aliran baru dalam pengkajian bahasa atau kesusastraan, melainkan suatu pengembangan yang lebih lanjut dari aliran yang pernah ada. Studi sastra bersifat semiotik adalah usaha untuk menganalisis sastra sebagai suatu sistem tanda-tanda dan menentukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan karya sastra mempunyai arti.
Semiotika juga diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang segala sesuatu yang berposisi sebagaia wakil dari sesuatu yang lain, baik itu penanda ( tanda ), yang berarti sesuatu yang mewakili atupun petanda ( makna ), berarti sesuatu yang diwakili. Sedangkan tanda itu merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan antara penanda dengan petanda.
Aart van Zoest ( 1996; 5) mendefinisikan semiotik sebagai suatu studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya, cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya. Semiotika, ilmu tentang tanda-tanda ,mempelajari fenomenal sosial-budaya, termasuk sastra sebagai sistem tanda ( Preminger 1974 : 980).
Dalam semiotik, mempelajari tentang tanda. Tanda itu mempunyai dua aspek,yaitu penanda (signifier,signifiant) dan petanda (signified,signifie) (preminger,1974:981-1982). Penanda adalah bentuk formal tanda itu,dalam bahasa berupa satuan bunyi,atau huruf dalam sastra tulis ,sedangkan petanda (signified) adalah artinya,yaitu apa yang ditandai oleh penandanya itu.
Banyak sekali para pakar yang menyebutkan beberapa pendapatnya tentang semiotika, tetapi secara singkat bahwa, sejarah semiotika itu berawal dari periode Yunani-Romawi kuno, sekitar tahun 427 SM, tepatnya filsafat Plato yang menemukan pergaulatan akan tanda-tanda, yang menghasilkan tiga pemikiran, yaitu
1)      Tanda-tanda verbal, entah alamiah maupun konvensional, hanyalah representasi yang tidak sempurna dari kodrat sejati benda-benda,
2)      Studi kata-kata tidak menyingkapkan apa pun selain kodrat sejati benda-benda itu karena dunia ide bebasa dari represetasinya dalam bentuk kata-kata,
3)      Pengetahuan yang dimediasi oleh tanda-tanda bersifat tidak langsung dari inferior dihadapan pengetahuan langsung, dan kebenaran mengenai benda-benda melalui kata-kata, betapa pun undahnya inferior dihadapan pengetahuan akan kebenaran itu sendiri.
( Noth, 1990 : 15 )
Pemikiran Aristoteles ( 384-322 SM ), mengemukakan :
1.      Penanda–penanda itu tertulis dipahami sebagai simbol dari kata-kata yang diucapkan,
2.      Kata-kata yang diucapkan merupakan tanda-tanda dan simbol-simbol dari kesan-kesan mental,
3.      Kesan-kesan mental menyerupai benda-benda aktual,
4.      Bila benda-benda dan peristiwa mental sama bagi seluruh manusia, tuturan mengenainya tidak sama.
Di masa Yunani-Romawi kuno, pemikiran tentang tanda itu berasal dari filsafat Stoika ( 300-200 SM ), Epicureans, Aurelius Agustine ( 354-430 ), yang diantaranya Stoika menyebutkan tanda itu terbentuk dari tiga komponen, yaitu :
a.      Penanda material,
b.      Petanda atau makna, dan
c.       Obyaek eksternal. ( Noth, 1990 : 15-17 )
Jadi dari keseluruahan tersebut, Noth ( 1990 : 17-20 ) menganggap penting tentang pemikiran semiotik Abad Pertengahan, tetapi ada pertentangan dari beberapa pemikiran, diantara:
*      pemikiran realisme dengan nomonalisme, yang keduanya berhubungan dengan persoalan hubungan antara tanda atau semestaan dengan benda-benda, sejauh mana semesta mempunyai keberadaan diluar tanda-tanda atau benda-benda yang menandainya. Plato dianggap mempunyai pandangan yang tergolong “ universalia sunt ante res    ( semesta ada sebelum benda-benda ), kaum realis mempunyai prinsip “ universalia sunt in rebus “ ( semastaan ada dalam benda-benda ), sedangakan kaum normalis menganut pandangan “universalia sunt post res“ ( semestaan muncul sesudah benda-benda ). Benda-benda dianggap partikular, sedangkan tanda-tanda, penamaan yang diberikan atasnya, bersifat unversal, menyangkut gagasan umum mengenai benda-benda yang partikular itu.
*      teori suposisi, merupakan teori tentang makna atau referen yang bersifat kontekstual.
*      semiotika modist, menganggap adanya hubungan dan ketergantungan ikonik antara struktur bahasa dengan benda-benda.
Menurut Noth ( 1990 : 32-33 ), pemikiran semiotik kaum Romantik seperti Fichte, (menganggap kognisi nausia bersifat ikonik karena semua pengetahuan hanyalah representasi dan memerlukan korespondensi dengan citra), Novalis, Hegel, dan Humboldt yang merupakan pemikiran tradisional menuju semiotika modern di abad XX. Hegel membedakan tanda ( yang tidak ada hubungan penanda dan petanda ), dan simbol ( masih terdapat hubungan antara penanda dan petanda ). Noth mencatat adanya lima pemikiran semiotika Humboldt, yaitu :
a)      bahasa sebagai aktivitas yang dinamik, ( b-c ) perbedaan antara bentuk-dalam bahasa dengan bahasa sebagai organ formatif pikiran,
b)      teori tentang perbedaan antara bentuk dengan bahan, dan
c)      keutamaan genetik teks dalam hubungan antarelemennya yang mengeluarkan faktor manusia dari teks itu.
Pada abad XX pemikiran mengenai tanda yang menonjol antara lain berasal dari Husserl dan  Cassirer ( Noth 1990 : 35-36 ). Bagi Husserl, perbedaan kesadaran ( persepsi ) langsung mengenai fenomena dengan kesadaran akan “ sesuatu yang lain “ yang diacuh oleh objek yang dipersepsi yang mengimplikasikan perbedaan antara penanda dengan petanda. Cassirer mengangkat epistimologi pan-semiotik dengan menempatkan manusia sebagai makhluk yang pada hakikatnya bersifat simbolik. Menurut Cassirer, tak ada kognisi mengenai realitas yang melampaui simbol. Simbol setidaknya berfungsi untuk menstabilkan pengertian manusia mengenai dunia. Bahasa , mitos, seni, agama, ilmu, dan sejarah, merupakan serangkaian sistem simbol yang melaksanakan fungsi tersebut.
Memang banyak sekali teori tentang semiotik, diantaranya : semiotik eksplisit, semiotika Pierce, semiotika Saussure, semiotika Hjelmslev,dan semiotika Jakobson. Tetapi dalam hal ini, Peletak dasar teori ini adalah Ferdinand de Saussure dan Charles Sander Pierce, Saussure dikenal sebagai bapak ilmu bahasa modern, yang mempergunakan istilah semiologi, sedangkan Pierce dikaenal seorang filsafat yang memakai istilah semiotik, maka dari itu itulah melihat begitu besarnya pengaruh dari kedua pakar itu, selanjutnya akan dibahas secara mendetail pada penjelasan dibawah ini. 
2.3.1 Teori Semiotik Pierce
Menurut Pierce ( Noth 1990 : 41 ), semesta dapat dibagi  menjadi tiga kategori, yaitu :
v  Kepertamaan ( firstness ), berkaitan dengan sesuatau yang tidak mengacu kepada sesuatu yang lain, yang merupakan kategori perasaan yang tidak mengacu kepada sesuatu yang sesuatu lain, dan kategori perasaan yang tidak reflektif, suatu kelangsungan, kualitas atau independensi yang tidak terbedakan.Gagasan mengenai Tuhan sebagai sesuatu yang Esa, tunggal, tak terbandingkan, tak tersamai, mungkin sangat tepat untuk pernyataan diatas.
v  Kekeduaan ( secondness ), melibatkan hubungan yang pertama dengan yang kedua, kategori ini merupakan kategori perbandingan, faktisitas ( sesuatu yang mempunyai dua komlemen/ memiliki dua kata yang menunjukkan makna yang sama, dalam arti lain memiliki dua sinonim ), tindakan, realitas, pengalaman dalam ruang dan waktu. Ketika Tuhan keluar dari diri-Nya, memasuki dunia pengalaman dan pemahaman manusiawi, ia memasuki kategori kekeduaan, sesuatu yang terbandingkan, misalnya dalam gagasan mengenai “ Maha Mendengar “, “ Maha Melihat “, dan sejenisnya.
v  Keketigaan ( thirdness ), membawa yangkedua pada yang ketiga. Kategori ini termasuk kategori mediasi ( proses pengikutsertaan pihak ketiga/penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasehat ), kebiasaan, kenangan, komunikasi, representasi ( perwakilan ), dan sejenisnya.
Noth ( 1990 : 41 ), menyebut teori Pierce sebagai teori pan-seiotik. Artinya, bahwa keseluruhan semesta sebenarnya terbangun dari tanda. Menurutnya, seluruh kognisi (kegiatan atau proses memeroleh pengetahuan [ termasuk kesadaran, perasaan, dsb ] atau usaha mengenali sesuatu melalui pengalaman sendiri/ suatu proses pengenalan dan penafsiran ), pikiran, dan manusia itu sendiri bersifat semiotik. Pikiran bersifat semiotik karena mengacu pada pikiran-pikiran lain dan objek-objek dunia. Karena mempunyai masa lalu sebagai acuan dan masa depan sebagai interpretan ( pengalihan pola pikir atau pandangan/pemberian pendapat, kesan, atau pandangan terhadap sesuatu/tafsiran ) -nya, manusia pun sebenarnya sebuah tanda dalam pengertian tokoh tersebut.
Tanda termasuk kategori keketigaan, tanda ini, pada gilirannya, berpartisipasi pula dalam tiga kategori yang ekuivalen ( mempunyai nilai/ukuran  yang sama, sebanding, sepadan ) dengan kategori semesta diatas. Yang termasuk dalam kategori kekepertamaan, merupakan representamen atau penanda yang berada dalam hubungan triadik ( )dengan suatu yang kaedua, yaitu objek, agar dapat menentukan yang ketiga yang disebut dengan sebagai interpretan. ( Noth 1990 : 42 )
Ø  Representamen adalah objek yang dapat dipersepsi ( tanggapan/penerimaan langsung dari sesuatu ) menjadi wahana yang mengangkut ke dalam pikiran seseorang suatu yang berasal dari luar.
Ø  Objek adalah suatu entitas material maupun mental yang direpresentasikan (perwakilan) oleh representamen ( orang yang mewakili ) di atas.
Ø  Interpretan merupakan efek dari representamen pada pikiran manusia yang menjadi penafsirnya yang dapat berupa suatu tanda lain yang muncul pada proses semiotika tanpa ujung.
  Teori Pairce juga mengatakan bahwa sesuatu itu dapat di sebut sebagai tanda jika ia mewakili sesuatu yang lain. Sebuah tanda yang disebutnya sebagai representamen haruslah mengacu ( mewakili ) sesuatu yang di sebutnya sebagai objek ( acuan ia jaga menyebutnya dengan istilah refaren). Agar  tanda dapat berfungsi maka harus di bantu seatu kode. Kode adalah seatu sistem peraturan, dan bersifat rasa individual.
   Proses perwakilan di sebut simiosis. Semiosis adalah suatu proses dimana suatu tanda berfungsi sebagai tanda, yaitu mewakili sesuatu yang di tandainya ( Hoedt, 1992 : 3 ). Sesuatu tidak pernah menjadi tanda jika tidak ditafsirkan menjadi tanda. Proses semiotik menuntut kehadiran bersama antara tanda, objek, dan interpretan oleh Pierce disebut triadik.
Konsisten dengan kategors diatas, Pierce ( Noth 1990 : 44 – 45 ) membangun klasifikasi ( penggolongan ) tanda menjadi tiga trikotomi ( pemisahan atas pembagian atas tiga golongan/kelompok ) atas dasar kemungkinan kombinasi/gabungan antara represenramen dengan objek dan dengan interpretan diatas, diantara :
1.      Trikotomi pertama, dibangun pada dataran representamen. Dalam hal ini tanda itu dibedakan menjai tiga jenis, yaitu :
v  Qualisigns, termasuk kategori kepertamaan, yang merupakan suatu keadaan atau kualitas yang tidak menandai apapun kecuali dirinya sendiri.
v  Sinsigns atau token, termasuk dalam kategori keketigaan, yang menandai sesuatu yang lain.
v  Legisigns atau tipe-tipe, termasuk dalam kategori keketigaan, yang merupakan suatu tipe general ( ketrampilan atau minatnya mrncakupi beberapa bidang yang berbeda ) yang mempunyai makna atas dasar kesepakatan atau konvensi tertentu.
Kata dalam kamus adalah tipe, sedangkan kata yang di-aktualisasi-kan dalam tutur tertentu yang unik adalah token. Token seperti kata dalam tutur itu isebut juga replika dari itu.
1.      Trikotomi kedua, menyangkut hubungan antara representamen dengan objeknya. Dalam hal ini tanda dibedakan menjadi tiga jenis pula, yaitu
Ø  Ikon ( sebagai kepertamaan ), jika ia berupa hubungan kemiripan. Ikon tersebut merupakan representamen yang menyerupai objeknya. Secara terperinci Ikon itu mempunyai pengertian tanda yang penanda dan petandanya menunjukkan ada hubungan yang bersifat alamiah, yaitu penanda sama dengan petandanya, misalnya gambar, potret, atau patung. Gambar rumah ( penanda ) sama dengan rumah yang ditandai ( petanda ) atau  gambar rumah menandai rumah yang sesungguhnya.
Pierce membedakan ikon kedalam tiga macam, yaitu
1.    ikon topologis,
2.    diagramatis,dan
3.    metafolis (Van Zoes,1992:10-11).
Ketiga ikon itu dapat muncul bersama-sama. Untuk  pembedaan ketiganya harus dilakukan dengan membuat deskripsi ( gambaran ) terdapat dalam istilah-istilah yang tergolong dalam makna spalatis ( tepat sasaran ) terdapat ikon topologis, jika dalam makna relasional ( berhubungan ), berarti dapat ikon diagramatik ( dapat pula disebut ikon relasional atau struktual). Iika ia menggunakan mertafora sebagai istilah disebut ikon metafora.
Ø  Indeks adalah tanda yang penanda dan petandanya menunjukkan adanya hubungan alamiah yang bersifat kausalitas ( perihal sebab akibat ), misalnya : asap menandai api, mendung menandai hujan. Kalau di langit ada mendung penanda kalau akan ada hujan. Indeks, jika ia berupa hubungan kedekatan eksitensi.
Ø  Simbol adalah tanda yang penanda dan petandanya tidak menunjukkan adanya hubungan alamiah, hubungannya arbiter (semau-maunya) berdasarkan konvensi. Misalnya, kata ”ibu” (penanda) menandai, ” orang yang melahirkan kita ”, dalam bahasa inggris: mother, dalam bahasa prancis: la mere, dan sebagainya. Sebagian besar tanda bahasa berupa simbol. Hubungan antara penanda dan petanda bersifat konvensional, yaitu artinya ditentukan oleh konvensi. Simbol, jika ia berupa hubungan yang sudah terbentuk secara konvensi. Ada berupa ikon misalnya foto, peta geografis, penyebutan atau penempatan di bagian awal atau depan ( sebagai tanda sesuatu yang dipentingkan ). Tanda berupa indeks misalnya, asap hitam tebal membumbung menandai kebakaran, wajah terlihat muram menandai hati yang sedih. Antara tanda dengan objek tidak memiliki hubungan kemiripan ataupun kedekatan, melainkan terbentuk karena kesepakatan. Misalnya warna putih, merah, hitam, kuning melambangkan sesuatu tertentu pula.
Ø  Trikotomi ketiga, merupakan kategorisasi atas asar interpretan.
·         Jenis tanda pertama dalam hal ini disebut rheme, yaitu tanda yang interpretannya tidak menuntut penilaian mengenai salah atau benar. Tanda ini merupakan proposisi (rancangan usulan) yang amat sederhana seperti semua kata tunggal yang merepresentasikan ( dapat/cakap/tepat mewakili/sesuai dengan fungsinya sebagai wakil ) hanya potensi dan kemungkinan-kemungkinan tertentu.
·         Jenis tanda yang kedua adalah dicent, yaitu tanda yang interpretannya mempunyai eksistensi ( keberadaan ) yang aktual, sehingga mengandung kemungkinan evaluasi ( penilaian ) mengenai benar atau salah.
·         Argument, merupakan jenis tanda yang ketiga. Tanda ini sudah membentuk suatu proposisi yang kompleks yang tidak hanya menyatakan kehadiran sesuatu, melainkan juga membuktikan kebenaran keberadaan sesuatu itu.
  Dalam teks kesastraan ketiga jenis tanda tersebut sering hadir bersama dan sulit dipisahkan. Simbol merupakan tanda yang paling canggih karena berfungsi untuk penalaran, pemikiran, dan pemerasaan. Namun, indeks pun yang dapat dipakai untuk memahami perwatakan tokoh dalam teks fiksi mempunyai jangkauan eksistensial ( keberadaan ) yang dapat melibihi simbol. Ikon memiliki kekuatan perayu melebihi tanda yang lain. Itulah sebabnya kesastraan juga teks-teks persuatif ( sifatnya mengajak ) yang lain seperti iklan dan teks politik banyak memanfaatkan tanda-tanda ikon ( Van Zoes, 1992 : 10 – 11 ).

2.3.2 Teori Semiotik Saussure
Saussure sebenarnya tidak menyusun teori semiotika, melainkan linguistik. Meskipun demikian, atas dasar penemuannya di bidang linguistik, ia membayangkan adanya suatu ilmu mengenai tanda yang lebih luas yang disebutnya sebagai semiologi. Semiologi itu, menurutnya (Noth 1990: 57), adalah ilmu yang mempelajari tanda-tanda di dalam masyarakat. Ilmu tersebut akan mempertunjukkan apa saja yang membentuk tanda, kaidah-kaidah apa saja yang mengaturnya. Sistem tanda kebahasaan hanyalah salah satu cabang dari semiologi itu. Namun, dalam hubungannya dengan berbagai kemungkinan sistem tanda yang lain, sistem tanda kebahasaan itu merupakan yang terpenting, yang dapat menjadi model bagi sistem tanda pada umumnya. Oleh karena itu, untuk memahami semiotika Saussure konsep-konsep dasar linguistikmenjadi penting untuk dikemukakan (Noth 1990: 58-59).
Bagi Saussure ( Noth 1990 : 59-60 ), tanda merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan antara penanda dengan petanda. Penanda adalah aspek yang menandai dari tanda dan berupa citra bunyi, sedangkan petanda adalah aspek yang ditandai yang berupa konsep. Sebagai citra bunyi dan konsep, baik penanda maupun petanda merupakan entitas mental manusia yang terlepas dari objek eksternal dan bersifat fisik-material. Hubungan antara penanda dan petanda itu tidak bersifat alamiah, natural, melainkan arbitrer, atas dasar konvensi atau kesepakatan sosial ( Noth 1990 : 61 ). Itulah sebabnya, di dalam bahasa, objek eksternal yang sama, misalnya pohon, dapat dinyatakan dengan cara yang berbeda dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain.
Sistem bahasa adalah seperangkat kaidah yang berlaku dalam ruang dan waktu tertentu dan bersifat tertutup dalam dirinya. Analisis kaidah bahasa dalam satuan ruang dan waktu tertentu ini disebut sebagai analisis sinkronik. Halnya berbeda dengan analisis diakronik. Yang kemudian ini mempelajari perkembangan dan perubahan dari satu sistem bahasa ke sistem bahasa yang lain. Aspek sinkronik bahasa adalah aspeek statisnya, sedangkan aspek diakronik bahasa adalah aspek dinamiknya. Pemahaman mengenai bahasa sebagai sistem tanda tertentu hanya dapat dilakukan melalui analisis sinkronik, yaitu dengan  menempatkannya dalam satuan ruang dan waktu tertentu.
Di dalam  dirinya sendiri, sistem bahasa itu dapat dibedakan menjadi dua cara relasi yang berbeda antarelemen pembentuknya. Cara relasi pertama disebut relasi sintagmatik, sedangkan yang kedua paradigmatik. Relasi sentagmatik adalah relasi antara elemen bahasa yang satu dengan elemen bahasa lain yang sama-sama hadir dalam tuturan. Relasi paradigmatik adalah relasi antara  yang ada dalam tutur dengan elemen lain yang tidak terdapat di dalamnya. Relasi sintagmatik disebut juga sebagai relasi kombinasional, sedangkan relasi paradigmatik disebut sebagai relasi asosiatif. 
Teori Saussure sebenarnya berkaitan dengan pengembangan teori linguistik secara umum, maka istilah-istilah yang dipakai oleh para penganutnya pun untuk bidang kajian semiotik meminjam dari istilah-istilah dan model linguistik. Bahasa sebagai sebuah tanda,  menurut Saussure yang memiliki dua unsur yang tidak dapat dipisahkan, yaitu signified dan signifier. Signifian berupa bunyi-bunyi ujaran atau huruf tulisan, sedang signifier (petanda) adalah konseptual, gagasan atau makna yang terkandung dalam penanda tersebut (Abrams, 1981 : 171).
  Kenyataan bahwa bahasa merupakan sebuah sistem, mengandung arti bahwa ia terdiri dari sejumlah unsur, dan tiap unsur itu saling berhubungan secara teratur dan berfungsi sesuai dengan kaidah sehingga ia dapat dipakai untuk berkomunikasi. Teori tersebut melandasi teori modern, ( yaitu teori struktualisme ), kemudian teori ini dijadikan landasan dalam kajian kesastraan ( Zaimar, 1991 : 11 ). Dalan studi linguistik, misalnya, dikenal dengan adanya tatanan fonenik, morfologi, sintaksis, semantik, dan prakmatik. Sedangkan dalam kajian sastra jugadi kenal adanya kajian dari aspek sintaksis, semantik, dan pragmatik ( berkenaan dengan syarat-syarat yang mengakibatkan serasi/tidaknya pemakaian bahasa dalam komunikasi/pertuturan ). Menurut Tadoro ( 1985 : 12 ) kajian dikelompokkan berdasarkan aspek verbal, sintaksis, dan semantik ( hubungan makna kalimat ). Sedang menurut Formalis Rusia dibedakan kajian stilistika, komposisi, dan temantik.
  Hubungan sintagmatik dan paradigmatik. Salah satunya teori Saussure yang dipergunakan secara luas di bidang kajian kesastraan adalah konsep sintagmatik dan paragdikmatik. Hal ini jaga dilakukan oleh Ronal Barthers dan Tzvetan Todooov yang mengelompokkan kedua konsep itu ke dalam aspek sintaksis dan semantik, sedang hubungan asosiatif itu disebut hubungan sintagmatik. Hubungan sintagmantik dan paradigmatik dapat diterapkan pada kajian fiksi ataupun puisi.
   Berhadapan dengan sebuah karya sastra fiksi, kita akan melihat adanya hubungan antara penanda dengan petanda yang jumlahnya amat banyak. Dalam sebuah sastra kita melihat adanya kata, kalimat, alenia, dan seterusnya akhirnya membentuk sebuah teks yang utuh. Hubungan tersebut adalah hubungan petanda dan penanda. Hubungan petanda dan penanda sering disebut hubungan in praesentia.
   Tiap aspek formal, kata, dan kalimat, tersebut pasti berhubungan sengan aspek makna sebab tidak mungkin kehadirat aspek formal ( bahasa ) itu tanpa didahului oleh kehadiran konsep makna. Hubungan antara aspek formal san aspek makna disebut hubungan asosiatif, hubungan antara unsur yang hadir dengan unsur yang tidak hadir. Kata dan kalimat dapat dilihat kehadirannya dalam teks itu, sedang makna hanya dapat  diasosiasikan, maka hubungan ini disebut sebagai hubungan in absentia ( Todofof, 1985 : 11).
  Hubungan sintagmatik dipergunakan untuk menelah struktur karya dengan menekan urutan satuan-satuan makna karya yang di analisis. Hubungan sintagmatik adalah hubungan yang bersifat linier, hubungan konfigurasi, hubungan konstruksi, ( Todorov, 1985 : 12 ), bentuk atau susunan. Dalam karya fiksi wujud hubungan itu berupa dapat berupa hubungan kata, peristiwa, atau tokoh. Jadi, bagaimana peristiwa-peristiwa yang bersebab akibat, kata-kata saling berhubungan dengan makna penuh, dan tokoh-tokoh membentuk  antitesi dan gradasi.
  Tiap satuan cerita, juga di sebut sekuen, dapat terdiri dari sejumlah motif ( satuan makna, biasanya berisi satu peristiwa ) dalam kajian karya fiksi tiap satuan cerita dan motif diberi sImbol–simbol atau intonasi–intonasi tertentu. Menurut ( Zaimar, 19991 : 16 ) satuan cerita mempunyai dua fungsi-fungsi utama dan fungsi katalisator. Fungsi utama berfungsi menentukan jalan cerita ( plot ), sedang fungsi katalisator berfungsi menghubungkan fungsi-fungsi utama itu.
     Aritoteles mengemukakan bahwa urutan lebih penting dari kronologis. Dan berkat kausalitas peristiwa-peristiwa saling berkaitan dan bergerak. Dalam sebuah teks fiksi, keduanya dapat di temui manurut Foster urutan kuasalitas membentuk plot. Sedangkan temporal membentuk cerita. Contoh yang berisi urutan kronologis murni adalah kronik atau catatan harian, sedangkan kausalitas murni adalah wacana aksionmatis data argumentatif. Jadi kajian sintagmatik dalam suatu karya fiksi dipergunakan untuk mendiskripsikan urutan motif-motif ( peristiwa-peristwa ) dan urutan –urutan cerita, satuan cerita mana yang berfungsi utama dan mana yang sebagai katalisator, serta bagaimana hubunagan antar satuan ceriita itu, apakah berifat kronologis, kausal.
  Hubungan paragdimatik, merupakan hubungan makna dan perlambanngan, hubungan asosiatif, pertautan makna antara unsur yang hadir yang tidak hadir. Ia di pakai untuk mengkaji, misalnya, signifiant tertentu mengkacu pada siknifier tertentu, baris-baris kata dan kalimat tertentu mengungkapkan makna tertentu, peristiwa tertentu, mengingatkan peristiwa yang lain, melambangkan gagasan tertentu, atau menggambarkan suasana kejiwaan tokoh (Todorov, 1985:11-12). Dengan demikian, kajian paradigmatik dalam sebuah karya fiksi berupa kajian tentang tokoh, perwatakan tokoh, hubungan antar tokoh, suasana, gagasan, hubunganya dengan latar, dan lain-lain.
  Peristiwa-peristiwa yang berhubungan dengan makna melambangkan suasa kejiwaan tokoh, hubunagan yang demikian tersebut hubungan in absentia (paradigmatik). Misalnya, sejumlah peristiwa ( atau satuan cerita ) tempatnya dalam teks ada dibagian awal, namun ia berhubungan dengan logis (atau paling tidak dapat di asosiasikan) dengan peristwa-peristiwa dibagian belakang. Misalnya, bab pertama dalam novel Athies tidak mempunyai hubungan langsung dengan bab-bab berikutnya yang terdekat melainkan berkaitan langsung secara logika ( kausalitas ) justru dangan bab berikutnya.
    Dengan demikain, hubungan sintagmatik dan paradigmatic dapat di kaitkan dengan kajian dari aspek waktu yang menurut Todorov masalah waktu menjadi bagian aspek verbal yang berupa kata. Ada dua tataran waktu dalam teks fiksi, waktu dari dunia yang digambarkan, tataran peristiwa ( bersifat logis, asosiasi ) dan waktu dari wacana yang menggambarkan, tataran penceritaan bersifat linier.
     Dalam karya fiksi, hubungan antra dua tataran waktu tersebut jarang untuk tidak dikatakana tidak pena terjadi adanya kesejajaran. Adanya manipulasi waktu penceritaan hal yang wajar dan biasa terjadi. Justru, adanya manipulasi waktu yang bervariasi dalam karya fiksi akan lebih menarik, lebih baru dari yang lainnya.
      Kajian sintagmatik dan paradigmatik dapat juga di terapkan dalam kajian teks puisi, terutama berhubungan dengan bentuk–bantuk kebahasaanya. Kajian ini tersebut dengan teori dengan teori fungsi fungsi puitik. Jakobson ( 1968 : lewat Teeuw, 1984 : 73-6 ), menjelaskan fungsi puitik adalah berikut: “ fungsi puitik memproyeksikan prinsip ekuivelansi dari poros seleksi parataksis ( boleh disebut paragmatik) ke poros kombinasi ( sintaksis ) ”. Menurut jakopsonos )  penilaian apakah bahasa sebuah puisi mengandung sifat ( unsur ) puitik atau tidaknya, ditentukan berdasarkan prinsip konsitutif yang berupa bentuk-bentuk kesejajaran. Miasalnya dalam bahasa Indonesia adakah diantara kata-kata yang mengandung unsur kesinoniman ( berhubungan paradigmatik ) maupun kesejajaran sintaksis hubungan linier, berhubungan dengan sintagmatik.
    Pilihan bahasa yang berunsur puitik berupa kata-kata ( paragdimatik ), biasanya berkaitan dengan ketepatan unsur-unsur bunyi ( sebagai pembangkit asosiasi tertentu ), aliterasi, asonansi, rima, ketetapan bentuk ( morfologis ), dan juga makna. Pilihan sintaksis dapat berkaitan dengan “ penemuan ” konstruksi baru-orisinal, disamping adanya penekanan gagasan, pada umumnya ditempatkan pada bagian awal larik. Misalnya, sebuah lirik puisi yang berbunyi, “ Bukan kematian benar yang menusuk kalbu “ ( “ Nisan ”, Chairul anwar ),  baik kata-kata maupun konstruksi sintaksis yang dipilih dalam lirik ini diperimbangkan sebagai yang paling tepat jika di banding dengan kemungkinan bentuk-bentuk lain yang berarti.
    Akhirnya perlu di kemukakan bahwa kajian semiotik pada decade terakhir ini tampak sedang mendapat “pasaran”. Kajian struktual di pihak lain menjadi seolah-olah menjadi ketinggalan zaman. Perbedaan antara strukturalisme dengan semiotik kabur. Yang jelas, semiotik merupakan perkembangan yang lebih kemudian ( juga–reaksi ) dari struktualisme. Selain dalam praktik kajian teks kesastraan, pendekatan tersebut akan sama-sama muncul, dari yang membedakanya barang kali “ hanya ” masalah penekanan atau niat puisi.

2.4 Kajian Intertekstual
 Dalam menganalisis karya sastra, kritikus secara aktif memberi makna kepada unsur-unsur karya sastra, pemberian makna ini berdasarkan sistem tanda dalam karya sastra yang khusus ( Preminger, d.k.k., 1974 : 981 ). Kajian Intekstual dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks ( lengkapnya : teks kesastraan), yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu, misalnya untuk menemukan adanya penokohan, ( gaya ) bahasa, dan lain-lain. Secara lebih khuus dapat dikatakana bahwa kajian interteks berusaha menemukan aspek-aspek tertentu ( baik itu unsur intrinsik maupun ekstrinsik ) yang telah ada pada karya-karya sebelumnya pada karya yang muncul lebih kemudian. Penulisan atau pemunculan sebuaah karya sering ada kaitanya dengan unsur kesejarahannya sehingga pemberian makna itu akan lebih lengkap jika dikaitkan dengan unsur kesejarahan itu. (Teeuw, 1983 : 62-5 )
Selain itu, secara garis besar mengenai hubngan intertekstual hanya dapat dipahami dengan baik sesudah diketahui begaimana wujud kritik sastra dan perdebatannya seoanjang sejarah kritik sastra. Dalam hal hubungan sejarah antarteks itu, perlu doperhatiakn prinsip intertekstualitas, yang ditunjukkan oleh Riffaterre dalam bukunya Semiotics of Poetry (1978) bahawa  sajak baru bermakna penuh dalam hubungannya dengan sajak lain “. Dan juga, “ sajak ( teks sastra ) yang menjadi latar penciptaan karya sastra sesudahnya (hipogram ) “. ( Riffaterre, 1978, 11-23 ). Karena tak ada karya sastra yang lahir itu mencontoh atau meniru karya sebelumnya yang diserap dan ditransformasikan dalam karya itu. Julia Kristeva ( Culler, 1997 : 139 ), mengemukakan bahwa “ setiap teks sastra itu merupakan mosaik kutipan-kutipan, penyerapan dan transformasi teks-teks lain “
Masalah ada-tidaknya hubungan antarteks ada kaitanya dengan niatan pengarang dan tafsiran pembaca. Dalam kaitan ini, Luxemburg, d.k.k. ( 1989 : 10 ), mengartikan intertestualitas sebagai menulis dan membaca dalam suatu interteks. Suatu tradisi budaya, sosial, dan sastra, yang tertuang dalam teks-teks. Setiap teks sebagian bertumpu pada konvensi sastra dan bahasa dan dipengaruhi oleh teks-teks sebelunya.
    Karya sastra itu, baik itu puisi atu prosa itu mempunyai hubungan sejarah antara karya sezaman, yang mendahuluinya atau yang kemudian, yang mempunyai persamaan ataupun pertentangan, dan lebih baiknya dalam membicarakan sastra itu dengan karya yang sevaman, sebelum, atau sesudahnya. Kajian intertestual berangkat dari asumsi bahwa kapan pun karya ditulis, ia tidak mungkin lahir dari situasi kekosongan budaya. Unsur budaya, termasuk semua konvensi dan tradisi di masyarakat dalam wujudnya yang khusus berupa teks-teks kesastraan yang ditulis sebelunya. Misalnya nama pengarang Balai Pustaka menulis novel, di masyarakat telah ada hikayat dan berbagai cerita lisannya seperti pelipur lara. Sebelun para penyair Pujangga Baru menulis puisi-puisi modernnya, di masyarakat telah ada berbagai bentuk puisi lama, seperti pantun dan syair, di samping mereka juga berkenalan dengan puisi- puisi angkatan 80-an di negeri Belanda yang telah mentradisi. Kemudian sebelum Chairil Anwar dan angkatan kawan- kawan seangkatannya menulis puisi (dan prosa) di masyarakat juga telah ada puisi-puisi modern ala Pujangga Baru, berbagai puisi dunia (artinnya, tidak hanya dari Belanda saja),di samping puisi lama.
     Karya sastra yang di tulis lebih kemudian, biasanya, mendasarkan diri pada karya- karya lain yang telah ada sebelumnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, baik dengan cara meneruskan maupun menyimpangi ( menolak, memutarbalikkan essensi) konvensi.
    Karya sastra yang dijadikan dasar penulisan bagi sastra yang kemudian disebut hipogram, “ hypogram “ ( Rifattere, 1980 : 23). Istilah hipogram, barangkali dapat diindonesiakan menjadi latar, yaitu dasar, walau mungkin tidak tampak secara emplisit, bagi penulis yang lain. Wujud hipogram mungkin berupa penelusuran konvensi, sesuatu yang telah bereksistensi, penyimpangan dan pemberontakan konvensi, pemutarbalikan esensi dan amanat teks-teks sebelumnya. ( Teeuw, 1983 : 65 ). Dalam istilah lain, penelusuran tradisi dapat juga disebut dari mitos pengukuhan ( myth of conceren), sedangkan penolakan tradisi sebagai mitos pemberontakan ( myth of freedom). Kedua hal tersebut boleh dikatakan sesuatu yang “ wajib ” hadir dalam penulisan teks kesastraan, sesuai dengan hakikat kesastraan itu yang selalu berada dalam keregangan antara konvensi dan invensi, mitos pengukuhan dan mitos pembeontakan (Nugiiyantoro, 1991:51).
    Adanya karya-karya yang ditransformasikan dalam penulisan karya sesudahnya ini menjadi perhatian utama kajian intertekstual, misalnya lewat pengontrasan antara sebuah karya dengan karya-karya  lain yang  di duga menjadi hipogramnya. Chairil Anwar menolak wawasan estetika sajak-sajak Amir Hamzah yang dianggap mewakili zamannya dan menawarkan  estetika baru yang ternyata mendapat sebutan secara luas.Hal ini terlihat, banyak penyair sesudahnya yang “beguru” pada puisi–puisinya ssehingga hal pun akhirnya menjadi konvensi pula.
     Kemudian pada tahun 70-an, muncul Sutarji Calzourn Bahri menolak mereaksi puisi-puisi Chairil Anwar beserta pengikutnya, dan menolak estetikanya serta membebaskan kata dari belenggu makna dan tata bahasa.
      Dalam masalah hipogram tesebut, Julia Kristiva (1969, lewat Culler, 1977:139), mengemukakan bahwa tiap teks merupan sebuah moaik kutipan –kutipan, tiap teks merupakan penyerapan sebuah penyerapan dan trasformasi dari teks –teks lain.
     Pengarang dengan kekuatan imajinasi, wawasan estetika, dan horizon harapannya sendiri, telah mengelolah dan mentransformasikan karya-karya lain tersebut, yang mungkin berupa konvensi–konvensi, bentuk-bentuk formal tertentu, gagasan, tentulah masih dapat di kenali ( Pradopo, 1987 : 228 ).
      Hipogram tidak akan komplit, melainkan hanya bersifat parsial, yang berwujud tanda–tanda teks atau penguaktualisasian unsur–unsur tertentu kedalam bentuk–bentuk teks yang ditransformasikan itu, dapat hanya berupa varian leksikal, denotasi dan konotasi, pilihan paradigmatis kata–kata, atau pemakaian bentuk sinonim.
Levin (1950, lewat teeuw, (1984 : 101) mengatakan bahwa pengakuan konvensi dalam sejarah pertepatan dengan penolakannya. Penulisan sebuah teks kesastraan tidak mungkin tuntuk seratus persen pada konversi. Pengarang notabene memiliki daya kreativitas tinggi selalu memberontak pada segala sesuatu yang telah mentradisi dan ingin menciptakan yang baru. 
Prinsip interkstual yang utama adalah prinsip memahami dan memberikan makna karya yang bersangkutan. Karya itu diprediksikan sebagai reaksi, penyerapan, atau transformasi dari karya-karya yang lain. Masalah interstekstual lebih dari sekedar pengaruh ambilan, atau jiplakan, melainkan bagaiman kita memperoleh makna sebuah karya secara penuh dalam kontrasnya dengan karya yang lain yang menjadi hipogramnya baik berupa teks fiksi maupun puisi. Misalnya, hal itu dilakukan oleh Teeuw ( 1983 : 66-69 ) dengan memperbandingkan antara sajak “ Berdiri aku “ karya Amir Hamzah dengan “ Senja di Pelabuhan Kecil “ karya Chairil Anwar dengan sajak Toto Sudarto Bhatiar dan Ayip Rosidi, juga Nurgiyantoro (1989:11-20) mencoba meneliti hubungan interteks antara puisi Pujangga Baru dengan puisi lama pantun.

2.5 Dekontruksi
 Dewasa ini dunia intelektual diguncang oleh munculnya arus pemikiran, paham, gerakan, atau bahkan mungkin era baru yang dikenal dengan sebutan postmodernisme atau pascamodernisme. Hal ini terkait dengan masalah filsafatdan biasa disingkat postmo. Hasil pemikiran postmodernisme melalui berbagai aspek kehidupan manusia dan bidang-bidang keilmuan, khususnya dalm bidang humaniora.
Postmodernisme menunjukkan suatu rasa yang meluas tentang merosotnya wewenang modernisme dan munculnya epistimologi bary, yang dalam jangkauan khasanah kesenian sdan intelektual memutuskan hubungan dan berlawanan dengan paradigma moderenisme.
Postmodernisme menolak universalitas, totalitas, keutuhan organis, pensisteman, dan segala macam legitimasi, termasuk dalam keilmuan. Ia menolak kemapanan atau kebekuan kebakuan teori-teori modernisme, untuk linguistik, misalnya teori struktitu memiliki ;strukturalisme disebut sebagai grand theory.
Model pendekatan dekontruksi ini dalam bidang kesastraan khususnya fiksi, dewasa ini terlihat banyak diminati orang sebagai salah satu model atau alternatif dalam kegiatan pengkajian kesastraan. Dekontruksi pada hakikatnya merupakan suatu cara membaca sebuah teks yang menumbangkan anggapan ( walau hal ini hanya secara implisit ) bahwa sebuah teks itu memiliki landasan, dalam sistem bahasa yang berlaku, untuk menegaskan struktur, keutuhan, dan makna yang telah menentukan ( Abrams, 1981 : 38 ).
Teori dekontruksi menolak pandangan bahwa bahasa memiliki makna yang pasti, tertentu, dan konsisten, sebagaimana halnya pandangan strukturalisme klasik. Jika struktural dipandang sebagai suatu yang sistematik, proyek keilmuan, atau secara umum diartikan sebagai Science of sign, postrukturalisme justru mengkritik hal itu sebagai sesuatu yang mungkin. Atau, jika stukturalisme mengambil linguistik sebagai suatu model dan berusaha mengembangkan “ gramma “ untuk mengkaji bentuk dan makna karya sastra, poststrukturalisme justru menumbangkannya lewat karya-karya itu sendiri ( Culler, 1983 : 22)
Mendekonstruksi sebuah wacana (kesastraan), dengan demikian, adalah menunjukkan bagaimana meruntuhkan filsofi yang melandasinya, atau beroposisi secara hierarkhis terhadap sesuatu yang menjadi landasannya.
Pendekatan dekonstruksi dapat diterapkan dalam pembacaan karya sastra dan karya filsafat. Menurut Derrida, teori Saussure yang memandang adanya keterkaitan yang padu antara ujaran dan elemen tulisan (signifiant) dan makna yang diacu (signified, signifie) sebenarnya tidak ada. Kita tidak pernah memiliki makna yang tertentu dari bentuk-bentuk ungkapan kebahasan, melainkan hanya (memiliki) efek makna yang kelihatan, makna yang semu.
Pembacaan karya sastra, menurut paham dekonstruksi, tidak dimaksudkan untuk menegaskan makna sebagaimana halnya yang lazim dilakukan, sebab sekali lagi, tidak ada makna yang dihadirkan oleh suatu yang sudah menentu-melainkan justru untuk menemukan makna kontradiktifnya, makna ironisnya. Pendekatan dekonstruksi bermaksud untuk melacak unsur-unsur aporia, yaitu yang berupa makna paradoksal, makna kontradiktif, makna ironi, dalam karya(sastra) yang dibaaca.unsur dan bentuk bentuk dalam karya itu dicari dan dipahami justru dalam arti kebalikan-nya. Unsur-unsur yang tidak penting dilacak dan kemudian dipentingkannya.
Contoh penerapan dekontruksi, paham ini berusaha melacak makna-makna kontradiktif ( bersifat kintradiksi yaitu pertentangan antara dua hal yang sangat berlawanan atau bertentangan), makna ironi ( situasi yang bertentangan dengan yang diharapkan atau yang seharusnya terjadi ), dalam karya (sastra) yang dibaca. Unsur dan bentuk-bentuk dalam karya itu dicari dan dipahami justru dalam arti kebalikan-nya. Unsur-unsur yang yang tidak penting dilacak dan kemudian dipentingkannya.
Contoh penerapan dekontruksi, paham dekontruksi berusaha melacak makna-makna kontradiktif, makna ironi, memberikan makna dan peran kepada tokoh-tokoh pinggiran sehingga menjadi yang berfungsi dalam keseluruhan teks yang bersangkutan.
Contoh pembicaraan yang intertekstual tokoh Tini (baca : tokoh yang adalah wanita) merupakan tokoh yang dikalahkan perjuangannya okeh Tono (tokoh yang pria), barangkali karena penafsir novel itu kaum pria sehingga cenderung memenangkan kaumnya sendiri. Karena kesibukan dengan konflik kehidupan pasangan Tono–Tini, kita cenderung melupakan prestasi Tini sebagai pejuang emansipasi wanita. Seperti kita akui, sebagai penerima estafert perjuangan emansipasi wanita dari Tuti. Tokoh Tini dalam pandangan fenisme jika dipandang sebagai mewakili kaumnya, telah memenangkan perjuangan kaum wanita dari dominsi kaum pria, masa Balai Pustaka dan oleh Tuti. Tuti yang sebelumnya begitu ekstrim memperjuangkan kemandirian-nya itu, akhirnya menyerah ditangan Yusuf calon suaminya, dan bagaimana nasib perjuangannya itu tidak diketahui. Sebaliknya Tini, demi perjuangan dan kemenangan kaumnya, ia mau mengorbankan kepentingannya sendiri.
Ketegasan sikap Tini tersebut, di samping dipengaruhi oleh sikap Tuti sebelumnya, juga secara nyata dipengaruhi oleh tokoh lain dalam novel Belenggu itu sendiri. Tati hanya merupakan tokoh pinggiran, tokoh perifer, tokoh yang tidak dipentingkan. Tati merupakan wanita tegas dan kuat daripada Tini sendiri. Demi perjuangan kaumnya, Tati memilih tidak kawin, dengan sabar dan bekerja keras tidak mengantungkan orang lain. Dengan kata lain setelah didekonstruksi, Tati dalam novel Belenggu tersebut merupakan tokoh penting. Jika diintertekskan dengan tokoh Tuti, dalam hal pemerjuangkan emansipasi wanita, tokoh Tini justru lebih berhsil karena berani melepaskan diri dari dominasi pria dan bertekad hidup mandiri sebagai realisasi prinsipnya.
Cara pembacaan yang sama dapat juga dilakukan terhadap novel-novel lain, misalnya Siti Nurbaya. Pada umumnya pembaca beranggapan bahwa Syamsul Bahri merupakan tokoh protagonis yang hero, tokoh putih, sedang Datuk Maringgih, merupakan tokoh antagonis yang serba jahat, tokoh hitam. Melalui cara dekonstruksi, keadaan itu justru akan terbalik.
Syamsul Bahri bukanlah pemuda hero, melainkan pemuda cengeng dan berperasaan nasionalisme sempit. Hanya kegagalan cintanya terhadap seorang gadis (yang kemudian ternyata sudah janda), ia lupa akan dirinya, putus asa dan bunuh diri. Hal itu menunjukkan secara mental, ia bukanlah seorang pemuda yang kuat. Setelah ternyata usaha bunuh dirinya gagal juga, ia memutuskan masuk serdadu kompeni. Belakangan, ketika di daerah Sumatra barat, yang merupakan tanah kelahirannya, terjadi pemberontakan karena masalah blasting, ia ditugaskan untuk menumpas pemberontakan itu. Dengan bersemangat, ia berangkat ke medan tempur karena sekaligus bermaksud membalas dendam terhadap Datuk Maringgih yang menjadi biang keladi kegagalan cintanya. Apa pun hal itu berarti ia memerangi bangsanya sendiri dan justru berdiri di pihak sana membela penjajah.
Dilihat dari dekonstruksi Jausz, yaitu yang mempertimbangkan aspek historis yang berwujud sejarah tanggapan pembaca dari masa ke masa, pembuatan Syamsul Bahri tersebut dewasa ini, sesuai dengan konteks sosial yang ada, justru dapat ditanggapi sebagai perbuatan pengkhianat bangsa. Terhadap bangsa sendiri ia sampai hati untuk memeranginya, semata-mata didorong oleh motivasi pribadi.
Datuk Maringgih, walau ia diakui banyak orang sebagai tokoh jahat bandot tua yang doyan perempuan, namun hal ini pun mungkin ada yang menganggapnya baik, misalnya ia justru dipandang sebagai pahlawan cinta seperti dalam nyanyian kelompok Bimbo, justru dapat dipandang sebagai tokoh yang kuat dan berdemensi baik. Dialah yang menjadi salah seorang tokoh yang menggerakkan pemberontakan terhadap penjajah Belanda itu, walau hal itu dilakukan terutama juga karena motivasi pribadi, dia yang paling banyak kena pajak. Apa pun motivasinya, dia menjadi tokoh pemberontak. Artinya dia adalah tokoh pejuang bangsa, yang seberapa pun kecil andilnya, bermaksud mengenyahkan penjajah dari bumi indonesia. Dengan demikian justru dialah yang berhak disebut pahlawan dan bukannya Syamsul Bahri.