KONSEP
PENGETAHUAN BAHASA
A. Pengertian
Bahasa
Secara
etimologis bahasa berasal dari bahasa Sansekerta bhasa, bhas “hembusan
nafas”. Pengertian bahasa kemudian berkembang menjadi sesuatu sistem bunyi yang
keluar dari mulut manusia.
Sedang
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia terminology mengartikan bahasa sebagai
sistem lambang bunyi yang arbiter (mana suka) yang digunakan oleh
anggota suatu masyarakat untuk bekerjasama, berinteraksi, dan
mengidentifikasikan diri.
Beberapa
ahli menyimpulkan pengertian atau definisi bahasa diantaranya yang diungkapkan
oleh Tarigan (1989:4), Beliau memberikan dua definisi mengenai bahasa yaitu:
1.
Bahasa adalah alat yang sistematis untuk
menyampaikan gagasan atau perasaan dengan memakai tanda-tanda, bunyi, gesture,
atau tanda yang disepakati, yang mengandung makna yang dapat dipahami.
(Webster, 1961:1270)
2.
Bahasa adalah sistem lambang yang
arbiter yang dipergunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama,
berkomukasi, dan mengidentifikasi diri. (Kridalaksa, 1982:2).
Berdasarkan definisi di atas, bahwa bahasa adalah
sistem lambang bunyi yang digunakan oleh sekelompok manusia (masyarakat) secara
arbiter sebagai alat komunikasi. Perlu diketahui bahwa bunyi-bunyi yang
digunakan dalam bahasa itu bukan sembarang bunyi. Bunyi-bunyi yang dimaksud
adalah bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Dengan kata lain, bahasa
adalah sistem lambang bunyi yang arbiter, yang digunakan manusia untuk
berkomunikasi.
B. Hakekat
Bahasa
Secara
ontologis, hakekat bahasa merupakan alat komunikasi yang memiliki beberapa
sistem dan karakteristik diantaranya sebagai berikut:
1. Bahasa
adalah sistemik
Pada
umumnya, bahasa memiliki dua sistem besar, yaitu sistem bunyi dan sistem makna.
Dua aspek tersebut juga merupakan bagian inti dari sebuah bahasa.
Bahasa
terdiri atas rangkaian bunyi (bahasa) yang mempunyai makna atau arti tertentu.
Misalnya, rangkaian bunyi k m a n a adalah rangkaian bunyi bahasa
yang belum bermakna, sedangkan rangkaian bunyi m a k a n merupakan
rangkaian bunyi bahasa yang bermakana, yaitu bermakna memasukkan sesuatu ke
dalam mulut, mengunyah, dan menelannya.
Bahasa
bersifat sistemik karena penyusunan suatu bahasa harus mengikuti kaidah
tertentu. Misalnya, kaidah dalam bahasa Indonesia diatur dalam tata bahasa
Indonesia yang terdiri dari tatabunyi (fonologi), tatabentuk kata (morfologi),
tatakalimat (sistaksis), dan tatamakna (semantik). Kaidah lain, misalnya kaidah
penulisan yang diatur dalam tataejaan yang tertuang dalam buku Ejaan Yang
Disempurnakan (EYD).
2. Bahasa
itu Arbitrer
Arbitrer
(manasuka) artinya unsur suatu bahas dipilih secara acak tanpa dasar yang
pasti, hanya sudah menjadi kesepakan oleh masyarakat pemakai bahasa tersebut.
Maksud dari pernyataan tersebut adalah tidak adanya hubungan yang logis antara
bunyi bahasa dengan makna yang disimbulkan. Misalnya, kenapa bunyi k u r
s i mengarah pada makna tempat duduk, bukan mengarah pada makna lain
alat untuk memasak, menulis, dan
seterusnya. Hubungan antara bunyi bahasa dan maknanya tersebut terserah
atau tergantung pada masyarakat pemakai bahasa yang sudah disepakati bersama.
3. Bahasa
itu Vokal
Bahasa
berupa bunyi ujaran (vokal), artinya bahasa yang sebenarnya adalah bunyi yang
dihasilkan oleh artikulator (alat ucap), sehingga bahasa yang sebenarnya adalah
bahasa lisan.
4. Bahasa
itu simbol
Pada
hakekatnya bahasa adalah simbol atau lambang, artinya dapat digunakan untuk
komunikasi secara singkat dan efisien. Misalnya, sekolahan (ilmu pengetahuan)
dapat diberi simbol dengan gambar obor, simbol tersebut dapat dimaknai sebagai
penerang. Makna itu sama tujuannya dengan sekolahan atau ilmu pengetahuan,
yaitu sebagai penerang.
5. Bahasa
itu Mengacu pada Dirinya Sendiri (Bersifat Manusiawi)
Artinya
bahasa manusia dapat digunakan untuk menyebut, menjelaskan, mendeskripsikan
bahasa itu sendiri selama manusi yang memanfaatkannya, bukan makhluk lain. Ada
binatang tertentu yang dapat berbahasa seperti manusia, misalnya burung beo.
Namun binatang tersebut hanya dapat mengucapkan kosa kata tertentu dan kosa
kata yang tidak dapat berkembang.
6. Bahasa
Bersifat Komunikasi
Hakikat
dan fungsi utama bahasa adalah komunikasi. Manusia dapat saling berinteraksi
karena ada bahasa sebagai sarananya. Dengan bahasa manusia saling merespon dan
saling memahami apa saja yang dikomunikasikan satu dengan lainnya.
7. Bahasa
Bersifat Dinamis
Artinya
terus menerus mengalami perubahan, dan perkembangan. Bahasa sama sekali tidak diam.
Perubahan bahasa atau sifat dinamis bahasa perlu dilakukan (oleh bahasa itu
sendiri) agar senantiasa dapat menyesuaikan dengan kondisi, situasi dan zaman
yang juga terus beruba. Sifat dinamis bahasa sangat penting agar bahasa tidak
ditinggalkan zaman atau mati. Misalnya, bahasa Indonesia, Inggris, Jawa,
Jepang, atau abahasa lain, juga terus menerus mengalami perubahan dan
perkembangan untuk menyesuaikan diri dengan zamannay.
Jadi,
Pengetahuan bahasa adalah pengetahuan kebahasaan yang mencakup kaidah kebahasaan,
lafal, intonasi, kosa kata, jenis kata bentuk dan struktur kalimat, imbuhan
istilah, definisi konsep dan teori kebahasaan.
C. Sistem
Oposisi Bahasa
Istilah
oposisi < oposition bermakna “pasangan”. Sistem oposisi berarti pola
pasangan dalam bahasa. Pola ini antara lain berciri dan bertujuan sebagai
membeda arti dan memperoleh jenis fonem.
Macam-macam
sistem oposisi sebagai berikut:
1. Sistem
oposisi fonem
Fonem
adalah satuan bunyi bahasa terkecil yang fungsional dan distinctive “dapat
membedakan arti”. Kajian yang mendalam tentang bunyi-bunyi fungsional disebut
fonologi (ilmu fonem).
Daniel
Jones (1881-1967) seorang ahli fonetik, yang menulis buku berjudul The
Phoneme and Outline of English Phonetics, menyatakan “fonem baru memiliki
status fonem karena dioposisikan”. Misalnya, dua buah kata yang memiliki bentuk
sama, akan berbeda maknanya apabila salah satu fonemnya diganti dengan fonem
lain.
Mata ~ beroposisi dengan ~ mati (/a/ dan
/i/)
Aku ~ beroposisi dengan ~ alu (/k/ dan
/l/)
Arti
kata mata ~ mati, aku ~ alu, dan
solo ~ soto berbeda sama sekali karena adanya perbedaan fonem yang
beroposisi. Fonem yang dsaling beroposisi dapat digunakan sebagai salah satu
cara mencari dan menghitung jumlah fonem satu bahasa. Cara ini biasa disebut
sebagai “teknik pasangan minimal” (minimal pair).
2. Sistem
Oposisi Silabel
Silabel
adalah dua buah kata yang memiliki perbedaan pada salah satu silabel (suku
kata) akan mengakibatkan terjadinya perbedaan makna. Misalnya:
Batu ~ bata (tu dan ta)
Meja ~ kerja (me dan ker)
Membawa ~ terbawa (meN dan ter)
Masing-masing
kata yang beroposisi jelas memiliki perbedaan makna, perbedaan itu terjadi
karana salah satu suku katanya berbeda.
3. Sistem
Oposisi Kata
Kata
adalah unsur bahasa yang diucapkanatau dituliskan yang merupakan perwujudan
kesatuan perasaan dan pikiran yang dapat
digunakan dalam bahasa.
Dalam
sebuah kalimat, peranan kata sangat penting. Keberadaan dan bentuk kata dalam
konteks kalimat sangat menentukan arti yang dikandung oleh kalimat tersebut.
Contoh:
Saya
menulis surat ~ kamu menulis surat (saya dan kamu)
Awakku lara ~ awakku waras (lara ‘sakit’
dan waras ‘sehat’)
4. Sistem
oposisi kalimat
Pada
dasarnya makna sebuah kalimat ditentukan oleh empat hal, yaitu urutan kata,
bentuk kata, kata tugas, dan intonasi. Keempat aspek itu disebut sebagai Sintactical
Linkage Devices (alat-alat hubungan sintaksis).
a. Sistem
oposisi urutan kata
Penempatan
kata atau urutan kata (word order) dalam sebuah kalimat sangat berpengaruh
terhadap struktur dan makna kalimat tersebut. Artinya, kalimat yang memiliki
konstituen yang sama, bisa berbeda maknanya apabila urutan katanya tidak sama.
Contoh:
Kucing mengejar tikus / Tikus mengejar
kucing
Aku ngenteni bapak / Bapak ngenteni aku
Pada
kalimat pertama sisi kiri, yang mengejar adalah kucing. Sementara sisi kanan,
yang mengejar justru tikus. Demikian juga dengan kalimat di bawahnya, yang
menunggu adalah aku. Kalimat sebelah kanan, yang menunggu justru bapak.
b. Sistem
oposisi bentuk kata
Bentuk
kata dalam kalimat menjadi faktor penting penentuan makna. Perubahan bentuk
kata secara kontras mengakibatkan terjadinya perubahan makna secara oposisi.
Contoh:
Herman mengejar anjing / Herman dikejar
anjing
c. Sistem
oposisi intonasi
Intonasi
atau lagu kalimat yang diterapkan dalam pengucapan secara berbeda dapat
mengakibatkan munculnya perbedaan makna. Bahkan pengucapan sebuah kalimat
dengan cara dan lagu berbeda pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya jenis
kalimat yang berbeda. Contoh:
Adik pergi ke sekolah (kalimat berita)
Adik pergi ke sekolah? (kalimat tanya)
Adik, pergi ke sekolah! (kalimat
perintah)
d. Sistem
oposisi kata tugas
Kata
tugas (function word) adalah kata yang baru memiliki fungsi yang jelas
setelah menempel dalam konteks kalimat. Kata tugas berfungsi membantu membentuk
kalimat, memperjelas struktur, dan memperjelas maknanya. Beberapa kata tugas
(misalnya dari, ke di, akan, tidak, sudah, si, sang, dsb) yang dipakai secara
sembarangan juga berakibat terjadinya perubahan makna kalimat. Contoh:
Bapak baru dari Jakarta /
Bapak baru ke Jakarta.
Pemakaian
kata tugas dari (pada kalimat sisi kiri) bermakna ‘pulang’, sedangkan
kata tugas ke bermakna ‘pergi’.
D. Bahasa
sebagai Objek Linguistik: Beberap Problem
Sebagai
objek kajian linguistik, bahasa menyimpan sejumlah problem atau persoalan yang
harus dikaji dan dijawab oleh para ahli bahasa. Setiap problem kebahasaan pada
akhirnya melahirkan disiplin ilmu tersendiri. Disiplin ilmu itulah yang kelak
menjadi cabang-cabang linguistik. Berbagai persoalan kebahasaan yang perlu
ditelusuri antara lain adalah:
1. Apa
sebenarnya bahasa itu
2. Bagaimana
wujud bahasa
3. Apa
konteks menggunakan bahasa
4. Darimana
asal-usul bahasa
5. Apa
fungsi bahasa
6. Bagaimana
cara mempelajari bahasa
7. Bagaimana
cara melestarikan bahasa
Masih
ada sederajat permasalah kebahasaan yang menghadang di depan para ahli dan
peminat bahasa untuk dipecahkan. Apa yang diungkap di atas hanyalah beberapa
contoh problem yang akan diuraikan secara ringkas dalam makalah ini.
1.
Wujud Bahasa
Bahasa,
sebagaimana telah diuraikan di depan merupakan sistem lambang bunyi yang
dihasilkan oleh alat ucap manusia untuk berkomunikasi dengan sesamanya. Di
berbagai belahan dunia, bahasa memilki istilah dan makna yang berlainan satu
sama lain. Misalnya:
Jawa =
basa (tutur kata, etika, unggah-ungguh)
Indonesia = bahasa (identitas pribadi dan bangsa, alat interaksi)
Belanda =
taal (berbicara)
Inggris =
language (human speech, sistem tuturan manusia)
Jepang =
kokugo (ungkapan batin)
Arab =
lughatun (bertutur, ucapan)
Apa
yang menjadi pengertian dibelakang istilah tersebut menunjuk pada beberapa hal,
anatara lain: wujud, cara, fungsi, dan hakikat bahasa.
Pada
hakekatnya wujud bahasa dapat dipilah menjadi dua, yaitu bahasa lisan dan
bahasa tuli. Bahasa tulis, tentu saja hanyalah bahasa turunan dari bahasa
lisan. Jadi sifatnya sekunder. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini dikemukakan
kedua jenis wujud bahasa tersebut.
Tabel
Perbedaan Bahasa Lisan dan Bahasa Tulis
Bahasa
Lisan
|
Bahasa
Tulis
|
Asli
primer
ada
situasi efeksi
diucapkan
langsung
sistem
bunyi
intonasi
(lagu)
konteks
turunan
|
Turunan
sekunder
lambang
visual, non efeksi
disampaikan
dengan tulisan
sistem
tulisan
tanpa
intonasi
tanpa
konteks turunan
|
Bahasa
lisan pada umumnya dianggap lebih jelas dibanding bahasa tulis, karena didukung
oleh:
a. Konteks
situasi (konteks sosial/kultur dalam sebuah pembicaraan)
b. Mimik
(raut muka, biasanya raut muka seseorang akan menunjukkan perubahan ketika
orang sedang berbicara).
c. Gesture
(gerak-gerik badan, tangan, muka, ketika orang sedang berbicara).
d. Intonasi
(lagu kalimat, yaitu tinggi rendah, panjang pendek pengucapan kalimat-kalimat).
Sementara
itu bahasa tulis dianggap kehilangan aspek-aspek alamiah bahasa (seting dan
konteks tuturan), karena tidak memungkinkan aspek-aspek tersebut hadir dalam
bahasa tulis. Beberapa aspek itu hanya dapat di-representasikan atau
divisualkan dalam bentuk tulisan untuk sebagian kecil saja. Misalnya, intonasi
(lagu kalimat). Kalimat perintah, pada umumnya di-lambangkan dengan tanda (!),
kalimat berita dilambangkan dengan tanda titik (.), dan kalimat bernada lagu
pertanyaan diberi lambang tanda tanya (?).
Dalam
bahasa tulis, representasi sistem bunyi dilambangkan dengan huruf atau akasara.
Secara historis, sistem lambang huruf seluruh bahasa di dunia ini
setidak-tidaknya dapat dipilah menjadi lima jenis, yaitu:
a. Sistem
piktografis (piktogram=gambar, piktograf=tulisan)
Sistem
ini merepresentasikan satu kata (ide) menjadi satu gambar. Akibatnya gambar
menjadi sangat banyak. Jadi gambar (piktogram) dianggap sebagai saran
komunikasi. Misalnya, kata “berburu” dilambangkan dengan gambar “tombak”, dan
sebagainya. Sistem ini disebut-sebut sebagai sistem yang paling tua, paling
primitif. Contoh huruf sistem piktografis banyak ditemukan di gua-gua Altamira
Spanyol dan di beberapa tempat di lambangkan USA yang digunakan oleh suku
Indian primitif.
b. Sistem
idiografis (ide=gagasan)
Sistem ini dianggap sebagai bentuk
pengembangan sistem piktografis.
Sistem
idiografis menggambarkan satu ide (gagasan tentang sesuatu) menjadi satu
lambang/tanda. Jadi setiap ide harus dilambangkan amenjadi satu pola tulisan.
Dengan kata lain, satu kata satu lambang. Contoh: huruf Hileroglif Mesir (4000
SM), Babilonia, Kanji, China.
c. Sistem
silaberis (silabe=suku kata)
Representasi
sistem ini menggambarkan satu suku kata satu lambang. Kalau sebuah kata
memiliki dua suku kata, maka lambang huruf yang ditulis juga dua. Contoh sistem
ini antara lain adalah huruf Arab, Katagana dan Hirogana (Jepang), Bugis,
Pallawa, Jawa (aksara Jawa).
d. Sistem
fonetis (fon=bunyi)
Sistem
fonetis merepresentasikan satu bunyi satu lambang. Tujuannya agar setiap bunyi
sesuai dengan lambang visualnya. Ini sangat ideal, tetapi sangat sulit karena
membutuhkan lambang yang demikian banyak dan rumit. Untuk kepeluan ilmiah atau
kajian ilmu pengetahuan, sistem ini biasanya digunakan untuk memudahkan
penjelasan. Untuk tujuan itulah, disusun sistem huruf atau ejaan fonetis secara
internasional yang disebut sebagai IPA (International Phonetics Alphabet) yang
disusun oleh sebuah badan internasional yang juga bernama IPA (International
Phonetics Assosiation) pada tahun 1886 (Daftar sistem transkripsi fonetis
selengkapnya dapat dilihat dalam Kamus Linguistik karangan Harimurti
Kridalaksana, 1984).
e. Sistem
fonemis (fonem=huruf fungsional)
Setiap
fonem dipresentasikan dengan satu lambang. Fonem yang diberi lambang hanyalah
fonem yang beroposisi (fungsional). Jadi kalau ada bunyi-bunyi yang mirip
tetapi tidak fungsional, tidak diberi lambang. Cukup satu lambang saja.
Misalnya dalam bahasa Jawa, bunyi /i/ dan /I/ pada kata pitik atau
pitIk, tetapi hanya diberi satu lambang saja, yaitu /i/. Sistem fonemis
dianggap yang paling praktis, mudah dan cukup akomodatif. Sistem ini hingga
sekarang menjadi acuan berbagai bahasa di dunia.
2. Asal
Usul Bahasa
Teori
dan berbagai pendapat mengenai asal-usul bahasa pada umumnya dapat dipilah menjadi dua macam,
yaitu:
a. Mistic
phase
Mistic
phase (fase mistik) atau divine origin yaitu tahap pemikiran tentang asal-usul
bahasa yang masih dipengaruhi oleh alam pemikiran mistik-kedewaan. Segalan
sesuatu selalu dikembalikan kepada dunia dewa yang serba mistis dan keterangan-keterangan
dari kitab suci agama. Beberapa pemikiran tentang asal-usul bahasa pada masa
atau tahap ini antara lain adalah:
1) Raja
Mesir Psammetichus (abad 17 SM) mengadakan percobaan dengan seorang bayi yang
baru saja lahir. Bayi itu dibiarkan saja, tidak boleh seorangpun mengajak atau
mengajarinya berbicara. Hingga pada tahun kedua usia bayi itu, tiba-tiba ia
berujar “becos!” kepada orang tuanya. Dalam bahasa setempat kata becos
berarti ‘roti’. Sejak sat itu Bangsa Mesir kuno beranggapan bahasa pertama
kali adalah bahasa Mesir Kuno.
2) Beberapa
tokoh dan kepercayaan agama dunia seperti yang dikembangkan T’ien-tsu (kaisar
China), Dewa Nabu (Bangsa Babilonia), Dewa Amaterasu (bangsa Jepang), hampir
semua beranggapan bahasa pertama kali berasal dari kata-kata (firman) Tuhan.
3) Beberapa
pemeluk agama samawi juga berkeyakinan pada kitab sucinya masing-masing.
Pemeluk Islam berkeyakinan bahasa pertama yang ada di bumi ini adalah bahasa
Arab. Dasarnya Nabi Adam As diajari Tuhan menyebut nama-nama benda dalam bahasa
Arab. Bangsa Yahudi berkeyakinan bahasa Yahudi adalah bahasa pertama. Dalam
Kitab Kejadian disebutkan, Tuhan bicara dengan Adam dalam bahasa Yahudi.
4) Beberapa
tokoh seperti Adreas Kemke (seorang fiolog Swedia abad 17 M) mengatakan., Tuhan
bicara dalam bahasa Swedia. Goropius Becanus (Belanda) mengatakan Tuhan bicara
dalam bahasa Belanda.
b. Organic
phase
Masa
pemikiran yang diwarnai alam keyakinan kedewaan serba mistis-religius-takhayul
kemudian berangsur surut dan berkembanglah pemikiran yang dilandasi rasio dan
pengetahuan empiris. Pada masa ini disebut organic phase. Beberapa tokoh
yang mengemukakan pemikiran tentang asal-usul bahasa antara lain;
1) Johan
Gottfried von Herder (1744-1803) menulis buku dengan judul “Uber den
Ursprung der Sprache” atau “on the Origin of Language” (1772). Dalam
buku itu disebutkan bahwa bahasa bukan anugerah ilahi. Bahasa muncul dan
dikembangkan manusia karena dorongan atau insting untuk berpikir.
2) Charles
Darwin (1809-1882), dalam buku Descent of Man (1872) mengemukakan bahwa bahasa
terlahir karena dorongan emosi. Hampir sama dengan bunyi-bunyi atau keluhan,
jeritan yang dihasilkan oleh binatang. Misalnya keadaan yang membuat emosi
orang merasa jijik, lalu muncullah suara tertentu, “pooh!”. Pemikiran ini lalu
berkembang menjadi teori yang dinamakan “Pooh-pooh Theory” (teori
interjeksi/emosi).
3) Max
Muller, seorang fiolog Inggris kelahiran Jerman (1823-1900) mencetuskan teori
Ding Dong. Menurutnya bahasa adalah akibat adanya stimulus (rangsangan). Bahasa
adalah reaksi. Pada perembangannya, Muller akhirnya menyalahkan teorinya
sendiri.
4) Adam
Smith dalam buku The Theory of Moral Sentiments, mengemukakan teori
Tekanan Sosial (the social pressure theory/Yo-he-ho theory). Bahasa terlahir
karena adanya tekanan atau kegiatan sosial. Misalnya mengangkat, bekerja, dsb,
muncul kata heavel ‘angkat’.
5) JG.
Herder menyatakan bahwa bahasa pada awalnya adalah hasil tiruan. Bahasa adalah
imitasi alam (tiruan bunyi yang dihasilkan alam, binatang, benda). Teori ini
dikenal dengan sebutan onomatopoetic (tiruan), Bow-wow theory (imitasi),atau
echoic theory (tiruan bunyi). Bahasa Indonesia, Jawa sangat kaya
dengan kata-kata yang berasal dari bunyinya sendiri, misalnya cecak, kutilang,
derkuku, kendang, gong. Max Muller menolak teori ini dengan mengatakan “bahasa
bukan berasal dari kandang ternak!”.
6) Wilhelm
Wundt menggagas teori isyarat (gesture theory). Menurutnya pada awalnya bahasa
manusia adalah gerakan-gerakan isyarat tanpa tuturan. Pada pemikirannya,
binatang dan beberapa bangsa primitif (seperti Indian Kuno Amerika Utara)
berkomunikasi dengan isyarat. Lama-kelamaan muncul dorongan untuk mengucapkan
tuturan secara langsung. Inilah yang kemudian disebut bahasa lisan.
Beberapa
pemikiran, teori, keyakinan atau aliran mengenai asal-usul bahasa terus mengalami
perkembangan seiring dengan kemajuan pemikiran dan ilmu pengetahuan manusia.
Sampai pada akhirnya muncullah pemikiran atau pendekatan modern tentang
asal-usul lahirnya bahasa. Pemikiran itu
dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Manusia
adalah makhluk individu yang memiliki kemampuan bawaan secara pisik dan
psikologis. Kemampuan itu mampu menangkap dan mendorong munculnya kesan-kesan
psikologis terhadap sesuatu, dari sinilah meluncur kesan psikologis dalam
bentuk tuturan verbal.
2. Manusia
juga makhluk sosial. Bahasa dihasilkan dan terbentuk karena
kepentingan-kepentingan dan kesepakatan sosial antaranggota masyarakat
pemakainya.
Apabila
kedua pemikiran itu digabung, diperoleh pengetahuan bahwa bahasa dihasilkan
oleh manusia karena adanya kemampuan psikologis, yang dipicu oleh stimulus
tertentu yang ada di sekitarnya. Kedua pemikiran itu sebagian berkembang
sendiri-sendiri, sebagian berpadu secara komprehensif membentuk ilmu
pengetahuan interdispliner.
3. Konteks
Bahasa
Konteks
bahasa adalah situasi dan kondisi pada saat terjadinya sebuah tiruan. Situasi
dan kondisi yang dimaksud adalah latar belakang terjadinya komunikasi dan
interaksi antar pemakai bahasa. Konteks sangat penting dalam pemahaman bahasa.
Dalam kondisi tertentu, pemahaman bahasa tidak akan lengkap dan tepat jika
konteks tuturan tidak dipahami. Inilah yang me-nyebabkan konteks berpengaruh
besar dalam penentuan dan tujuan-tujuan berbahasa. Tuturan yang sama misalnya,
dapat berbeda maknanya jika diucapkan dalam konteks yang berbeda. Contohnya, “Kita
harus segera cari jalan kelur!”. Kalimat ini bisa bermakna:
a. Mencari
jalan keluar dari tempat yang membingungkan atau menyesatkan (misalnya di
lorong gua, terjebak di ruangan terkunci, dan sebagainya).
b. Mencari
pemecahan atau solusi dari sebuah permasalahan keluarga (misanya diucapkan oleh
suami kepada istrinya atau sebaliknya).
Menurut
Hymes (1972), konteks terdiri dari sejumlah aspek yang berada di balik tuturan.
Dalam terminologi Hymes, aspek-aspek konteks disimpelkan menjadi sebuah akronim
SPEAKING. Masing-masing huruf mengandung pengertian:
S ~ setting
and scene, meliputi latar fisik dan latar psikis
(suasana). Setting mengandung pengertian tempat dan waktu terjadinya
komunikasi. Scene mengacu pada suasana psikologis yang menyertai peristiwa
komunikasi. Perbedaan tempat, waktu, dan suasana tuturan menyebabkan timbulnya
variasi bahasa.
P ~ participant,
terdiri
atas penutur (sender), lawan tutur (addreser), dan pendengar (audience),
dan orang yang dibicarakan. Aspek-aspek yang menyertai hal ini, seperti
status sosial, tingkat pendidikan, umur, dsb, juga ikut menjadi bahan
pertimbangan bagi penutur dalam menyampaikan tuturannya.
E ~ end, meliputi
hasil yang diharapkan (end as outcomes) dan tujuan yang ingin diicapai (end
in veews gaoals). Setiap penutur mengharapkan hasil tanggapan atas pesan
yang disampaikan sesuai dengan tujuan malakukan tuturan. Tujuan penutur ini
berkaitan dengan fungsi-fungsi bahasa.
A ~ act,terdiri
atas bentuk pesan (message form) dan isi pesan (message content). Isi
pesan disampaikan melalui bentuk pesan. Bentuk pesan dapat berupa lokulsi,
ilokusi, dan oerlokusi sebagai tindak berbahasa. Bentuk pesan yang dipilih
penutur ditentukan oleh isi pesan yang akan disampaikannya, dan sekaligus
menentukan hasil atau tanggapan yang diharapkan dari lawan tuturnya.
K ~ key, adalah nada,
sikap, suasana atau semangat yang menunjukkan tingkat formalitas pembicaraan.
I ~ instrumentalities,
termasuk didalamnya chanels (saluran yang dipilih), dan form of
speech (bentuk tuturan). Yang terpenting dalam hal ini adalah bahasa
sebagai sarana tutur dan segala sesuatu yang mendukung peristiwa tutur.
N ~ norms,
terdiri
dari norma interaksi (norm of interaction) dan norma interpretasi (norm
of interpretation). Adalah aturan atau segala sesuatu yang membatasi
peristiwa tutur. Dalam berbicara, orang harus selalu mengingat apa yang boleh
dibicarakan, apa yang sepantasnya diucapkan, dan apa yang dilarang.
G ~ genre, bisa dimaknai antara
lain dengan register, bentuk wacana, ragam bahasa, dsb. Bentuk-bentuk pemakaian
bahasa inilah yang selanjutnya menghasilkan perbedaan-perbedaan bahasa.
Contohnya bahasa telpon, SMS, register judul koran, wacana pidato, dsb,
masing-masing memiliki kekhasan (perbedaan)
Konteks
tuturan atau situasi dan kondisi ketika seseorang menggunakan bahasa
berpengaruh besar dalam menentukan bentuk bahasa yang digunakan, cara
berbahasa, dan makna atau isi bahasa yang ingin disampaikan.
E. Konsep
dan Ketrampilan Bahasa
Bahasa
adalah isyarat-isyarat vokal yang arbiter yang digunakan oleh anggota
masyarakat (kelompok sosial) yang bermanfaat bagi kerja sama, saling memahami pribadi-pribadi, demikian pula
keperluan, harapan, keinginan, dan cita-cita.
Bahasa menurut interpretasi sastra (literary
interpretation); Di mana makna bersifat figurative/ Contoh : Language
of colour (bahasa warna), Language of love (bahasa cinta), Language
of the flowers (bahasa bunga). Jadi apapun yang kita lakukan di dunia
harus memakai bahasa. Tidak ada satu saatpun dalam kehidupan sehari-hari yang
bebas dari kata-kata, bahkan sewaktu bermimpipun kita seakan berbicara atau
diajak bicara. Kita bicara walaupun tidak ada yang menjawab. Kita bicara
kepada binatang dan kepada diri kita sendiri. Si kecil asyik berbicara dengan
boneka mainannya.
Kemampuan berbahasa inilah yang membedakan
manusia lebih dari makhluk yang lain. Sering kita mendengar ungkapan bahwa
manusia adalah speaking animal. Kalau begitu maka untuk betul-betul mengerti
kemanusiaan ini, kita mesti mempelajari yang membuat manusia jadi manusia.
Konon tersurat dalam beberapa kepercayaan bahwa bahasa adalah sumber kehidupan
dan kekuatan manusia.
Pendekatan kita terhadap bahasa bisa saja
menganggap sebagai fenomena perseorangan. Bila seseorang mengatakan bahasanya
kasar sekali atau tutur katanya menyenangkan, maka dia secara disadari atau
tidak memberikan pemenang atau memenangkah tingkah laku (human behaviour)
orang lain. Manusia dalam kehidupan sehari-hari berbicara, menulis, membaca dan
mendengarkan. Ke empat keterampilan ini bukan dihadiahkan begitu saja sewaktu
dilahirkan, tetapi mesti dipelajari. Tiap orangpun berbeda ke-mampuannya dalam
keterampilan tersebut. Ada yang menjadi penyair, penyiar, ahli pidato dan
sebagainya.
Orang yang tuli sejak lahir memperlihatkan
penampilan berbahasa yang tidak normal. Dan sering kecelakaan atau penyakit
mengganggu kebahasaan seseorang. Melihat ini semua, bahasa dapat kita lihat
sebagai bagian dari psikologi manusia, tingkah laku tersendiri, tingkah laku yang
fungsi utamanya adalah komunikasi dan interaksi.
Sehubungan dengan penggunaan bahasa, terdapat
empat ketrampilan dasar bahasa, yaitu:
Empat jenis
Keterampilan berbahasa
Lisan
|
Tulisan
|
|
Reseptif
|
Mendengarkan
|
Membaca
|
Produktif
|
Berbicara
|
Menulis
|
1. Keterampilan
Menyimak
Menyimak
adalah keterampilan memahami bahasa lisan yang bersifat reseftif. Dengan
demikian di sini berarti bukan sekedar mendengarkan bunyi-bunyi bahasa
melainkan sekaligus memahaminya. Dalam bahasa pertama (bahasa ibu), kita
memperoleh keterampilan mendengarkan melalui proses yang tidak kita sadari
sehingga kitapun tidak menyadari begitu kompleksnya proses pemmerolehan
keterampilan mendengar tersebut.
Berikut
ini secara singkat disajikan disekripsi mengenai aspek-aspek yang terkait dalam
upaya belajar memahami apa yang kita sajikan dalam bahasa kedua.
Ada
dua jenis situasi dalam mendengarkan yaitu:
1. Situasi
Mendengarkan secara Interaktif
Terjadi
dalam percakapan tatap muka, di telepon atau sejenisnya. Secara bergantian
subjek (2 orang atau lebih) melakukan aktivitas mendengarkan dan berbicara.
Sehingga kita memiliki kesempatan bertanya guna mendapatkan penjelasan, meminta
lawan bicara mengulang apa yang telah diucapkannya atau meminta lebih pelan
dalam berbicara.
2. Situasi
mendengarkan secara Non-Interaktif
Kita tidak
dapat meminta penjelasan dari pembicara, tidak bisa meminta pembicara
mengulangi apa yang diucapkan dan kita juga tidak dapat meminta pembicaraan di
perlambat. Contoh : mendengarkan radio, mendengarkan acara-acara seremonial,
nonton TV, dan mendengarkan khotbah.
Berikut
ini adalah keterampilan-keterampilan mikro yang terlibat ketika kita berupaya
untuk memahami apa yang kita dengar, yaitu pendengar harus;
a)
Menyimpan/mengingat unsur bahasa yang
didengar menggunakan daya ingat jangka pendek (short term memory).
b)
Berupaya membedakan bunyi-bunyi yang
yang membedakan arti dalam bahasa target.
c)
Menyadari adanya bentuk-bentuk tekanan
dan nada, warna suara dan intinasi, menyadari adanya reduksi bentuk-bentuk
kata.
d)
Membedakan dan memahami arti dari
kata-kata yang didengar.
e)
Mengenal bentuk-bentuk kata yang khusus
(typical word-order patterns)
2.
Keterampilan Berbicara
Kemudian
sehubungan dengan keterampilan berbicara secara garis besar ada tiga jenis
situasi berbicara, yaitu:
1. Berbicara
interaktif
Situasi-situasi
berbicara interaktif, misalnya percakapan secara tatap muka dan berbicara lewat
telepon yang memungkinkan adanya pergantuan anatara berbicara dan mendengarkan,
dan juga memungkinkan kita meminta klarifikasi, pengulangan atau kiat dapat
memintal lawan berbicara, memperlambat tempo bicara dari lawan bicara.
2. Berbicara
semiaktif
Situasi
berbicara yang semiaktif, misalnya dalam berpidato di hadapan umum secara
langsung. Dalam situasi ini, audiens memang tidak dapat melakukan interupsi
terhadap pembicaraan, namun pembicara dapat melihat reaksi pendengar dari
ekspresi wajah dan bahasa tubuh mereka.
3. Berbicara
noninteraktif
Situasi
berbicara dapat dikatakan bersifat noninteraktif, misalnya berpidato melalui
radio atau televisi.
Berikut
ini beberapa keterampilan mikro yang harus dimiliki dalam berbicara, dimana
permbicara harus dapat;
1.
Mengucapkan bunyi-bunyi yang berbeda
secara jelas sehingga pendengar dapat membedakannya.
2.
Menggunakan tekanan dan nada serta
intonasu secara jelas dan tepat sehingga pendengar daoat memahami apa yang
diucapkan pembicara.
3.
Menggunakan bentuk-bentuk kata, urutan
kata, serta pilihan kata yang tepat.
4.
Menggunakan register aau ragam bahasa
yang sesuai terhadap situasi komunikasi termasuk sesuai ditinjau dari hubungan
antar pembicara dan pendengar.
5.
Berupaya agar kalimat-kalimat untama
jelas bagi pendengar.
3.
Keterampilan Membaca
Membaca
adalah keterampilan reseptif bahasa tulis. Keterampilan membaca dapat
dikembangkan secara tersendiri, terpisah dari keterampilan mendengar dan
berbicara. Tetapi, pada masyarakat yang memilki tradisi lireasi yang telah
berkembang, seringkali keterampilan membaca dikembangkan secara terintergrasi
dengan keterampilan menyimak dan berbicara.
Keterampilan-keterampilan
mikro yang terkait dengan proses membaca yang harus dimiliki oleh pembicara
adalah;
1.
Mengenal sistem tulisan yang digunakan.
2.
Mengenal kosakata.
3.
Menentukan kata-kata kunci yang
mngindentifikasikan topik dan gagasan utama.
4.
Menentukan makna kata-kata, termasuk kosakata
split, dari konteks tertulis.
5.
Mengenal kelas kata gramatikal, kata
benda, kata sifat, dan sebagainya.
4.
Keterampilan Menulis
Menulis
adalah keterampilan produktif dengan menggunakan tulisan. Menulis dapat
dikatakan suatu keterampilan berbahasa yang paling rumit di antara jenis-jenis
keterampilan berbahasa lainnya. Ini karena menulis bukanlah sekedar menyalin
kata-kata dan kalimat-kalimat, melainkan juga mengembangkan dan menuangkan
pikiran-pikiran dalam suatu struktur tulisan yang teratur.
Berikut
ini keterampilan-keterampilan mikro yang diperlukan dalam menulis:
1. Menggunakan
ortografi dengan benar, termasuk di sini penggunaan ejaan.
2. Memilih
kata yang tepat.
3. Menggunakan
bentuk kata dengan benar.
4. Mengurutkan
kata-kata dengan benar.
5. Menggunakan
struktur kalimat yang tepat dan jelas bagi pembaca.
Keterampilan
menulis adalah kemampuan yang dimiliki seseorang dalam bidang tulis menulis
sehingga tenaga potensial dalam menulis. Keterampilan menulis untuk saat
sekarang telah menjadi rebutan dan setiap orang berusaha untuk dapat berperan
dalam dunia menulis. Banyak orang berusaha meningkatkan keterampilan menulisnya
dengan harapan dapat menjadi penulis handal.
Seperti
diketahui, menulis itu adalah sebuah keterampilan sehingga dapat dilatih
sedemikia rupa meningkatkan kemampuan tersebut. Dalam dunia penulisan,
pengetian keterampilan menulis seringkali menjadi sesuatu yang bias sehingga
banyak yang tidak memahami pengertian yang sesungguhnya. Hal ini banyak
dibuktikan dari kenyataan banyak yang menganggap bahwa menulis itu ditentukan
karena bakat.
Apakah
benar, kemampuan menulis itu ditentukan oleh bakat? Jika ditelaah pengertian
bakat, setidaknya secara sederhana anda dapat mengatakan bahwa
bakat adalah kemampuan yang dimiliki dan dibawa seseorang sejak lahir. Padahal
sebenarnya pengertian keterampilan menulis itu adalah keterampilan itu sendiri.
Artinya, seseorang mempunyai kemampuan menulis karena dia terampil. Sementara
untuk dapat terampil dalam menulis, maka dia harus melakukannya secara langsung
atau melatih dirinya sehingga terampil. Dengan demikian pengertian keterampilan
menulis adalah kemampuan yang didapat dan dimiliki oleh seseorang setelah
melalui proses pelatihan secara itens, khusus dalam bidang menulis. Dengan
mengikuti pelatihan atau berlatih secara itens, maka seseorang dapat terampil
menulis.
F. Fungsi
Bahasa
Dalam berkomunikasi sehari-hari,
salah satu alat yang paling sering digunakan adalah bahasa, baik bahasa lisan
maupun bahasa tulis. Begitu dekatnya kita kepada bahasa, terutama bahasa
Indonesia, sehingga tidak dirasa perlu untuk mendalami dan mempelajari bahasa
Indonesia secara lebih jauh. Akibatnya, sebagai pemakai bahasa, orang Indonesia
tidak terampil menggunakan bahasa. Suatu kelemahan yang tidak disadari.
Komunikasi lisan atau nonstandar yang sangat praktis menyebabkan kita
tidak teliti berbahasa. Akibatnya, kita mengalami kesulitan pada saat akan
menggunakan bahasa tulis atau bahasa yang lebih standar dan teratur.
Pada dasarnya, bahasa memiliki fungsi-fungsi
tertentu yang digunakan berdasarkan kebutuhan seseorang, yakni sebagai alat
untuk mengekspresikan diri, sebagai alat untuk berkomunikasi, sebagai alat
untuk mengadakan integrasi dan beradaptasi sosial dalam lingkungan atau situasi
tertentu, dan sebagai alat untuk melakukan kontrol sosial (Keraf, 1997: 3).
Bahasa Indonesia bersikap luwes sehingga mampu menjalankan fungsinya
sebagai sarana komunikasi masyarakat modern.
1.
Bahasa sebagai Alat Ekspresi Diri
Pada awalnya, seorang anak menggunakan bahasa
untuk mengekspresikan kehendaknya atau perasaannya pada sasaran yang tetap,
yakni ayah-ibunya. Dalam perkembangannya, seorang anak tidak lagi menggunakan
bahasa hanya untuk mengekspresikan kehendaknya, melainkan juga untuk
berkomunikasi dengan lingkungan di sekitarnya. Setelah kita dewasa,
kita menggunakan bahasa, baik untuk mengekspresikan diri maupun untuk
berkomunikasi. Seorang penulis mengekspresikan dirinya melalui tulisannya.
Sebenarnya, sebuah karya ilmiah pun adalah sarana pengungkapan diri seorang
ilmuwan untuk menunjukkan kemampuannya dalam sebuah bidang ilmu tertentu. Jadi,
kita dapat menulis untuk mengekspresikan diri kita atau untuk mencapai tujuan
tertentu.
Sebagai contoh lainnya, tulisan kita dalam sebuah buku, merupakan
hasil ekspresi diri kita. Pada saat kita menulis, kita tidak memikirkan siapa
pembaca kita. Kita hanya menuangkan isi hati dan perasaan kita tanpa memikirkan
apakah tulisan itu dipahami orang lain atau tidak. Akan tetapi, pada saat kita
menulis surat kepada orang lain, kita mulai berpikir kepada siapakah surat itu
akan ditujukan. Kita memilih cara berbahasa yang berbeda kepada orang yang kita
hormati dibandingkan dengan cara berbahasa kita kepada teman kita.
Pada saat menggunakan bahasa sebagai alat
untuk mengekspresikan diri, si pemakai bahasa tidak perlu mempertimbangkan atau
memperhatikan siapa yang menjadi pendengarnya, pembacanya, atau khalayak
sasarannya. Ia menggunakan bahasa hanya untuk kepentingannya pribadi. Fungsi
ini berbeda dari fungsi berikutnya, yakni bahasa sebagai alat untuk berkomunikasi.
Sebagai alat untuk menyatakan ekspresi diri, bahasa menyatakan secara terbuka
segala sesuatu yang tersirat di dalam dada kita, sekurang-kurangnya untuk
memaklumkan keberadaan kita.
Unsur-unsur yang mendorong ekspresi diri antara lain :
a)
Agar menarik perhatian
orang lain terhadap kita,
b)
Keinginan untuk
membebaskan diri kita dari semua tekanan emosi
Pada taraf permulaan, bahasa pada anak-anak sebagian
berkembang sebagai alat untuk menyatakan dirinya sendiri (Gorys Keraf,
1997 :4).
2.
Bahasa sebagai Alat Komunikasi
Komunikasi merupakan akibat yang lebih jauh dari ekspresi diri.
Komunikasi tidak akan sempurna bila ekspresi diri kita tidak diterima atau
dipahami oleh orang lain. Dengan komunikasi pula kita mempelajari dan mewarisi
semua yang pernah dicapai oleh nenek moyang kita, serta apa yang dicapai oleh
orang-orang yang sezaman dengan kita.
Sebagai alat komunikasi, bahasa merupakan saluran perumusan maksud kita,
melahirkan perasaan kita dan memungkinkan kita menciptakan kerja sama dengan
sesama warga. Ia mengatur berbagai macam aktivitas kemasyarakatan, merencanakan
dan mengarahkan masa depan kita (Gorys Keraf, 1997 : 4).
Pada saat kita menggunakan bahasa untuk
berkomunikasi, antara lain kita juga mempertimbangkan apakah bahasa yang kita
gunakan laku untuk dijual. Oleh karena itu, seringkali kita mendengar
istilah “bahasa yang komunikatif”. Misalnya, kata makro hanya dipahami
oleh orang-orang dan tingkat pendidikan tertentu, namun kata besar atau
luas lebih mudah dimengerti oleh masyarakat umum. Kata griya, misalnya,
lebih sulit dipahami dibandingkan kata rumah atau wisma. Dengan
kata lain, kata besar, luas, rumah, wisma, dianggap lebih komunikatif
karena bersifat lebih umum. Sebaliknya, kata-kata griya atau makro akan memberi nuansa lain pada
bahasa kita, misalnya, nuansa keilmuan, nuansa intelektualitas, atau nuansa
tradisional.
Bahasa sebagai alat ekspresi diri dan sebagai alat komunikasi sekaligus
pula merupakan alat untuk menunjukkan identitas diri. Melalui bahasa, kita
dapat menunjukkan sudut pandang kita, pemahaman kita atas suatu hal, asal usul
bangsa dan negara kita, pendidikan kita, bahkan sifat kita. Bahasa menjadi
cermin diri kita, baik sebagai bangsa maupun sebagai diri sendiri.
3.
Bahasa sebagai Alat Integrasi dan Adaptasi
Sosial
Bahasa disamping sebagai salah satu unsur kebudayaan, memungkinkan pula
manusia memanfaatkan pengalaman-pengalaman mereka, mempelajari dan mengambil
bagian dalam pengalaman-pengalaman itu, serta belajar berkenalan dengan
orang-orang lain. Anggota-anggota masyarakat hanya dapat dipersatukan
secara efisien melalui bahasa. Bahasa sebagai alat komunikasi, lebih jauh
memungkinkan tiap orang untuk merasa dirinya terikat dengan kelompok sosial
yang dimasukinya, serta dapat melakukan semua kegiatan kemasyarakatan dengan
menghindari sejauh mungkin bentrokan-bentrokan untuk memperoleh efisiensi yang
setinggi-tingginya. Ia memungkinkan
integrasi (pembauran) yang sempurna bagi tiap individu dengan masyarakatnya
(Gorys Keraf, 1997 : 5).
Cara berbahasa tertentu selain berfungsi sebagai alat komunikasi,
berfungsi pula sebagai alat integrasi dan adaptasi sosial. Pada saat kita
beradaptasi kepada lingkungan sosial tertentu, kita akan memilih bahasa yang
akan kita gunakan bergantung pada situasi dan kondisi yang kita hadapi. Kita
akan menggunakan bahasa yang berbeda pada orang yang berbeda. Kita akan
menggunakan bahasa yang nonstandar di lingkungan teman-teman dan menggunakan
bahasa standar pada orang tua atau orang yang kita hormati.
4. Bahasa sebagai Alat Kontrol Sosial
Sebagai alat kontrol sosial, bahasa sangat efektif. Kontrol sosial ini
dapat diterapkan pada diri kita sendiri atau kepada masyarakat. Berbagai
penerangan, informasi, maupun pendidikan disampaikan melalui bahasa. Buku-buku
pelajaran dan buku-buku instruksi adalah salah satu contoh penggunaan bahasa
sebagai alat kontrol sosial.
Contoh fungsi bahasa sebagai alat kontrol sosial yang sangat mudah kita
terapkan adalah sebagai alat peredam rasa marah. Menulis merupakan salah satu
cara yang sangat efektif untuk meredakan rasa marah kita. Tuangkanlah rasa
dongkol dan marah kita ke dalam bentuk tulisan. Biasanya, pada akhirnya, rasa
marah kita berangsur-angsur menghilang dan kita dapat melihat persoalan secara
lebih jelas dan tenang.
G.
Kelemahan
Bahasa
Sampai disini, kiranya sudah dapat di pahami
bahwa bahasa sangat vital bagi manusia dalam menjalankan aktivitas sehari hari.
Bahasa memperjelas cara berfikir manusia, maka orang yang terbiasa menulis
dengan bahasa yang baik akan mempunyai cara berfikir yang sistematis. Lebih
jauh sesungguhnya bahasa menstrukturkan pengalaman manusia, dan begitu pula
sebaliknya.
Namun bahasa pun tak luput dari sejumlah
kelemahan inheren yang bisa menghambat komunikasi diantaranya sebagai berikut:
Pertama, bahasa memiliki multifungsi
(ekspresif, konatif, representasional, informatif, deskriptif, simbolik,
emotif, afektif ) yang dalam praktiknya sukar untuk di pisah pisahkan.
Akibatnya, ilmuwan sukar untuk membuang faktor emotif dan afektifnya ketika
mengkomunikasikan pengetahuan informatifnya. Syahdan, pengetahuan yang di
utarakan tak sepenuhnya kalis dari emosi dan afeksidan karenanya tak seutuhnya
objektif ; konotasinya bersifat
emosional.
Kedua, kata kata mengandung makna atau arti
yang tidak seutuhnya jelas dan eksak. Misalnya, kata “cinta” di pakai dalam lingkup
yang luas dalam berhubungan antara ibu dan anak , ayah dan anak, sumi dan
istri, kakek dan nenek, sepasang kekasih. Banyaknya makna yang termuat dalam
arti kata “cinta” menyulitkan kita untuk membuat bahasa yang tepat dan
menyeluruh. Sebaliknya, beberapa kata yang merujuk pada sebuah makna – bersifat
majemuk atau plural , kerap kali memantik apa yang di istilahkan sebagai
kekacauan semantik, yakni dua orang yang berkomunikasi menggunakan sebuah kata
dengan makna makna yang berlainan, atau mereka menggunakan dua kata yang
berbeda untuk sebuah makna yang sama.
Ketiga, bahasa acap kali bersifat sirkular (
berputar putar ). Jujun mencontohkan kata “pengelolaan” yang di definisikan
sebagai “kegiatan yang di lakukan dalam sebuah organisasi” , sedangkan
organisai di definisikan sebagai “suatu bentuk kerja sama yang merupakan wadah
dari kegiatan pengelolaan”. Kelemahan kelemahan bahasa tersebut sebenernya
telah menjadi kajian keilmuwan tersendiri dalam, misalnya, filsafat, analitik,
linguistik, psikolinguistik, sosiolinguistik.
Jelaslah bagi kita bahwa bahasa menjadikan
manusia sebagai makhluk yang lebih maju ketimbang makhluk makhluk lainnya.
Jelaslah pula bahwa, di satu sisi, bahasa sebagai sarana berfikir ilmiah
mempunyai fungsi fungsi yang sangat bermanfaat bagi aktivitas aktivitas
ilmiah . Di sisi lain , bahasa tidak lepas dari kelemahan kelemahan yang
merintangi pencapain tujuan dari aktivitas aktivitas ilmiah. Kelemahan
kelemahan bahasa ini barangkali akan di tutupi oleh kelebihan kelebihan
dari dua sarana berfikir ilmiah lainnya, yaitu matematika dan statitiska .
No comments:
Post a Comment