Friday, May 17, 2013


KONSEP PENGETAHUAN BAHASA

A.    Pengertian Bahasa
Secara etimologis bahasa berasal dari bahasa Sansekerta bhasa, bhas “hembusan nafas”. Pengertian bahasa kemudian berkembang menjadi sesuatu sistem bunyi yang keluar dari mulut manusia.
Sedang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia terminology mengartikan bahasa sebagai sistem lambang bunyi yang arbiter (mana suka) yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerjasama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri.
Beberapa ahli menyimpulkan pengertian atau definisi bahasa diantaranya yang diungkapkan oleh Tarigan (1989:4), Beliau memberikan dua definisi mengenai bahasa yaitu:
1.      Bahasa adalah alat yang sistematis untuk menyampaikan gagasan atau perasaan dengan memakai tanda-tanda, bunyi, gesture, atau tanda yang disepakati, yang mengandung makna yang dapat dipahami. (Webster, 1961:1270)
2.      Bahasa adalah sistem lambang yang arbiter yang dipergunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomukasi, dan mengidentifikasi diri. (Kridalaksa, 1982:2).
Berdasarkan definisi di atas, bahwa bahasa adalah sistem lambang bunyi yang digunakan oleh sekelompok manusia (masyarakat) secara arbiter sebagai alat komunikasi. Perlu diketahui bahwa bunyi-bunyi yang digunakan dalam bahasa itu bukan sembarang bunyi. Bunyi-bunyi yang dimaksud adalah bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Dengan kata lain, bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbiter, yang digunakan manusia untuk berkomunikasi.
B.     Hakekat Bahasa
Secara ontologis, hakekat bahasa merupakan alat komunikasi yang memiliki beberapa sistem dan karakteristik diantaranya sebagai berikut:
1.    Bahasa adalah sistemik
Pada umumnya, bahasa memiliki dua sistem besar, yaitu sistem bunyi dan sistem makna. Dua aspek tersebut juga merupakan bagian inti dari sebuah bahasa.
Bahasa terdiri atas rangkaian bunyi (bahasa) yang mempunyai makna atau arti tertentu. Misalnya, rangkaian bunyi k m a n a adalah rangkaian bunyi bahasa yang belum bermakna, sedangkan rangkaian bunyi m a k a n merupakan rangkaian bunyi bahasa yang bermakana, yaitu bermakna memasukkan sesuatu ke dalam mulut, mengunyah, dan menelannya.
Bahasa bersifat sistemik karena penyusunan suatu bahasa harus mengikuti kaidah tertentu. Misalnya, kaidah dalam bahasa Indonesia diatur dalam tata bahasa Indonesia yang terdiri dari tatabunyi (fonologi), tatabentuk kata (morfologi), tatakalimat (sistaksis), dan tatamakna (semantik). Kaidah lain, misalnya kaidah penulisan yang diatur dalam tataejaan yang tertuang dalam buku Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).
2.    Bahasa itu Arbitrer
Arbitrer (manasuka) artinya unsur suatu bahas dipilih secara acak tanpa dasar yang pasti, hanya sudah menjadi kesepakan oleh masyarakat pemakai bahasa tersebut. Maksud dari pernyataan tersebut adalah tidak adanya hubungan yang logis antara bunyi bahasa dengan makna yang disimbulkan. Misalnya, kenapa bunyi k u r s i mengarah pada makna tempat duduk, bukan mengarah pada makna lain alat untuk memasak, menulis, dan  seterusnya. Hubungan antara bunyi bahasa dan maknanya tersebut terserah atau tergantung pada masyarakat pemakai bahasa yang sudah disepakati bersama.
3.    Bahasa itu Vokal
Bahasa berupa bunyi ujaran (vokal), artinya bahasa yang sebenarnya adalah bunyi yang dihasilkan oleh artikulator (alat ucap), sehingga bahasa yang sebenarnya adalah bahasa lisan.
4.    Bahasa itu simbol
Pada hakekatnya bahasa adalah simbol atau lambang, artinya dapat digunakan untuk komunikasi secara singkat dan efisien. Misalnya, sekolahan (ilmu pengetahuan) dapat diberi simbol dengan gambar obor, simbol tersebut dapat dimaknai sebagai penerang. Makna itu sama tujuannya dengan sekolahan atau ilmu pengetahuan, yaitu sebagai penerang.
5.    Bahasa itu Mengacu pada Dirinya Sendiri (Bersifat Manusiawi)
Artinya bahasa manusia dapat digunakan untuk menyebut, menjelaskan, mendeskripsikan bahasa itu sendiri selama manusi yang memanfaatkannya, bukan makhluk lain. Ada binatang tertentu yang dapat berbahasa seperti manusia, misalnya burung beo. Namun binatang tersebut hanya dapat mengucapkan kosa kata tertentu dan kosa kata yang tidak dapat berkembang.
6.    Bahasa Bersifat Komunikasi
Hakikat dan fungsi utama bahasa adalah komunikasi. Manusia dapat saling berinteraksi karena ada bahasa sebagai sarananya. Dengan bahasa manusia saling merespon dan saling memahami apa saja yang dikomunikasikan satu dengan lainnya.
7.    Bahasa Bersifat Dinamis
Artinya terus menerus mengalami perubahan, dan perkembangan. Bahasa sama sekali tidak diam. Perubahan bahasa atau sifat dinamis bahasa perlu dilakukan (oleh bahasa itu sendiri) agar senantiasa dapat menyesuaikan dengan kondisi, situasi dan zaman yang juga terus beruba. Sifat dinamis bahasa sangat penting agar bahasa tidak ditinggalkan zaman atau mati. Misalnya, bahasa Indonesia, Inggris, Jawa, Jepang, atau abahasa lain, juga terus menerus mengalami perubahan dan perkembangan untuk menyesuaikan diri dengan zamannay.
Jadi, Pengetahuan bahasa adalah pengetahuan kebahasaan yang mencakup kaidah kebahasaan, lafal, intonasi, kosa kata, jenis kata bentuk dan struktur kalimat, imbuhan istilah, definisi konsep dan teori kebahasaan.
C.  Sistem Oposisi Bahasa
Istilah oposisi < oposition bermakna “pasangan”. Sistem oposisi berarti pola pasangan dalam bahasa. Pola ini antara lain berciri dan bertujuan sebagai membeda arti dan memperoleh jenis fonem.
Macam-macam sistem oposisi sebagai berikut:
1.      Sistem oposisi fonem
Fonem adalah satuan bunyi bahasa terkecil yang fungsional dan distinctive “dapat membedakan arti”. Kajian yang mendalam tentang bunyi-bunyi fungsional disebut fonologi (ilmu fonem).
Daniel Jones (1881-1967) seorang ahli fonetik, yang menulis buku berjudul The Phoneme and Outline of English Phonetics, menyatakan “fonem baru memiliki status fonem karena dioposisikan”. Misalnya, dua buah kata yang memiliki bentuk sama, akan berbeda maknanya apabila salah satu fonemnya diganti dengan fonem lain.
Mata ~ beroposisi dengan ~ mati (/a/ dan /i/)
Aku ~ beroposisi dengan ~ alu (/k/ dan /l/)
Arti kata mata ~ mati, aku ~ alu, dan  solo ~ soto berbeda sama sekali karena adanya perbedaan fonem yang beroposisi. Fonem yang dsaling beroposisi dapat digunakan sebagai salah satu cara mencari dan menghitung jumlah fonem satu bahasa. Cara ini biasa disebut sebagai “teknik pasangan minimal” (minimal pair).
2.      Sistem Oposisi Silabel
Silabel adalah dua buah kata yang memiliki perbedaan pada salah satu silabel (suku kata) akan mengakibatkan terjadinya perbedaan makna. Misalnya:
Batu ~ bata (tu dan ta)
Meja ~ kerja (me dan ker)
Membawa ~ terbawa (meN dan ter)
Masing-masing kata yang beroposisi jelas memiliki perbedaan makna, perbedaan itu terjadi karana salah satu suku katanya berbeda.
3.      Sistem Oposisi Kata
Kata adalah unsur bahasa yang diucapkanatau dituliskan yang merupakan perwujudan kesatuan  perasaan dan pikiran yang dapat digunakan dalam bahasa.
Dalam sebuah kalimat, peranan kata sangat penting. Keberadaan dan bentuk kata dalam konteks kalimat sangat menentukan arti yang dikandung oleh kalimat tersebut. Contoh:
            Saya menulis surat ~ kamu menulis surat (saya dan kamu)
Awakku lara ~ awakku waras (lara ‘sakit dan waras ‘sehat’)
4.      Sistem oposisi kalimat
Pada dasarnya makna sebuah kalimat ditentukan oleh empat hal, yaitu urutan kata, bentuk kata, kata tugas, dan intonasi. Keempat aspek itu disebut sebagai Sintactical Linkage Devices (alat-alat hubungan sintaksis).
a.       Sistem oposisi urutan kata
Penempatan kata atau urutan kata (word order) dalam sebuah kalimat sangat berpengaruh terhadap struktur dan makna kalimat tersebut. Artinya, kalimat yang memiliki konstituen yang sama, bisa berbeda maknanya apabila urutan katanya tidak sama. Contoh:
Kucing mengejar tikus / Tikus mengejar kucing
Aku ngenteni bapak / Bapak ngenteni aku
Pada kalimat pertama sisi kiri, yang mengejar adalah kucing. Sementara sisi kanan, yang mengejar justru tikus. Demikian juga dengan kalimat di bawahnya, yang menunggu adalah aku. Kalimat sebelah kanan, yang menunggu justru bapak.
b.      Sistem oposisi bentuk kata
Bentuk kata dalam kalimat menjadi faktor penting penentuan makna. Perubahan bentuk kata secara kontras mengakibatkan terjadinya perubahan makna secara oposisi. Contoh:
Herman mengejar anjing / Herman dikejar anjing
c.       Sistem oposisi intonasi
Intonasi atau lagu kalimat yang diterapkan dalam pengucapan secara berbeda dapat mengakibatkan munculnya perbedaan makna. Bahkan pengucapan sebuah kalimat dengan cara dan lagu berbeda pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya jenis kalimat yang berbeda. Contoh:
Adik pergi ke sekolah (kalimat berita)
Adik pergi ke sekolah? (kalimat tanya)
Adik, pergi ke sekolah! (kalimat perintah)
d.      Sistem oposisi kata tugas
Kata tugas (function word) adalah kata yang baru memiliki fungsi yang jelas setelah menempel dalam konteks kalimat. Kata tugas berfungsi membantu membentuk kalimat, memperjelas struktur, dan memperjelas maknanya. Beberapa kata tugas (misalnya dari, ke di, akan, tidak, sudah, si, sang, dsb) yang dipakai secara sembarangan juga berakibat terjadinya perubahan makna kalimat. Contoh:
Bapak baru dari Jakarta / Bapak baru ke Jakarta.
Pemakaian kata tugas dari (pada kalimat sisi kiri) bermakna ‘pulang’, sedangkan kata tugas ke bermakna ‘pergi’.
D.  Bahasa sebagai Objek Linguistik: Beberap Problem
Sebagai objek kajian linguistik, bahasa menyimpan sejumlah problem atau persoalan yang harus dikaji dan dijawab oleh para ahli bahasa. Setiap problem kebahasaan pada akhirnya melahirkan disiplin ilmu tersendiri. Disiplin ilmu itulah yang kelak menjadi cabang-cabang linguistik. Berbagai persoalan kebahasaan yang perlu ditelusuri antara lain adalah:
1.      Apa sebenarnya bahasa itu
2.      Bagaimana wujud bahasa
3.      Apa konteks menggunakan bahasa
4.      Darimana asal-usul bahasa
5.      Apa fungsi bahasa
6.      Bagaimana cara mempelajari bahasa
7.      Bagaimana cara melestarikan bahasa
Masih ada sederajat permasalah kebahasaan yang menghadang di depan para ahli dan peminat bahasa untuk dipecahkan. Apa yang diungkap di atas hanyalah beberapa contoh problem yang akan diuraikan secara ringkas dalam makalah ini.
1.      Wujud Bahasa
Bahasa, sebagaimana telah diuraikan di depan merupakan sistem lambang bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia untuk berkomunikasi dengan sesamanya. Di berbagai belahan dunia, bahasa memilki istilah dan makna yang berlainan satu sama lain. Misalnya:
Jawa         = basa (tutur kata, etika, unggah-ungguh)
Indonesia = bahasa (identitas pribadi dan bangsa, alat interaksi)
Belanda    = taal (berbicara)
Inggris      = language (human speech, sistem tuturan manusia)
Jepang      = kokugo (ungkapan batin)
Arab         = lughatun (bertutur, ucapan)
Apa yang menjadi pengertian dibelakang istilah tersebut menunjuk pada beberapa hal, anatara lain: wujud, cara, fungsi, dan hakikat bahasa.
Pada hakekatnya wujud bahasa dapat dipilah menjadi dua, yaitu bahasa lisan dan bahasa tuli. Bahasa tulis, tentu saja hanyalah bahasa turunan dari bahasa lisan. Jadi sifatnya sekunder. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini dikemukakan kedua jenis wujud bahasa tersebut.
Tabel Perbedaan Bahasa Lisan dan Bahasa Tulis
Bahasa Lisan
Bahasa Tulis
Asli
primer
ada situasi efeksi
diucapkan langsung
sistem bunyi
intonasi (lagu)
konteks turunan
Turunan
sekunder
lambang visual, non efeksi
disampaikan dengan tulisan
sistem tulisan
tanpa intonasi
tanpa konteks turunan
Bahasa lisan pada umumnya dianggap lebih jelas dibanding bahasa tulis, karena didukung oleh:
a.       Konteks situasi (konteks sosial/kultur dalam sebuah pembicaraan)
b.      Mimik (raut muka, biasanya raut muka seseorang akan menunjukkan perubahan ketika orang sedang berbicara).
c.       Gesture (gerak-gerik badan, tangan, muka, ketika orang sedang berbicara).
d.      Intonasi (lagu kalimat, yaitu tinggi rendah, panjang pendek pengucapan kalimat-kalimat).
Sementara itu bahasa tulis dianggap kehilangan aspek-aspek alamiah bahasa (seting dan konteks tuturan), karena tidak memungkinkan aspek-aspek tersebut hadir dalam bahasa tulis. Beberapa aspek itu hanya dapat di-representasikan atau divisualkan dalam bentuk tulisan untuk sebagian kecil saja. Misalnya, intonasi (lagu kalimat). Kalimat perintah, pada umumnya di-lambangkan dengan tanda (!), kalimat berita dilambangkan dengan tanda titik (.), dan kalimat bernada lagu pertanyaan diberi lambang tanda tanya (?).
Dalam bahasa tulis, representasi sistem bunyi dilambangkan dengan huruf atau akasara. Secara historis, sistem lambang huruf seluruh bahasa di dunia ini setidak-tidaknya dapat dipilah menjadi lima jenis, yaitu:
a.      Sistem piktografis (piktogram=gambar, piktograf=tulisan)
Sistem ini merepresentasikan satu kata (ide) menjadi satu gambar. Akibatnya gambar menjadi sangat banyak. Jadi gambar (piktogram) dianggap sebagai saran komunikasi. Misalnya, kata “berburu” dilambangkan dengan gambar “tombak”, dan sebagainya. Sistem ini disebut-sebut sebagai sistem yang paling tua, paling primitif. Contoh huruf sistem piktografis banyak ditemukan di gua-gua Altamira Spanyol dan di beberapa tempat di lambangkan USA yang digunakan oleh suku Indian primitif.
b.      Sistem idiografis (ide=gagasan)
Sistem ini dianggap sebagai bentuk pengembangan sistem piktografis.
Sistem idiografis menggambarkan satu ide (gagasan tentang sesuatu) menjadi satu lambang/tanda. Jadi setiap ide harus dilambangkan amenjadi satu pola tulisan. Dengan kata lain, satu kata satu lambang. Contoh: huruf Hileroglif Mesir (4000 SM), Babilonia, Kanji, China.
c.       Sistem silaberis (silabe=suku kata)
Representasi sistem ini menggambarkan satu suku kata satu lambang. Kalau sebuah kata memiliki dua suku kata, maka lambang huruf yang ditulis juga dua. Contoh sistem ini antara lain adalah huruf Arab, Katagana dan Hirogana (Jepang), Bugis, Pallawa, Jawa (aksara Jawa).
d.      Sistem fonetis (fon=bunyi)
Sistem fonetis merepresentasikan satu bunyi satu lambang. Tujuannya agar setiap bunyi sesuai dengan lambang visualnya. Ini sangat ideal, tetapi sangat sulit karena membutuhkan lambang yang demikian banyak dan rumit. Untuk kepeluan ilmiah atau kajian ilmu pengetahuan, sistem ini biasanya digunakan untuk memudahkan penjelasan. Untuk tujuan itulah, disusun sistem huruf atau ejaan fonetis secara internasional yang disebut sebagai IPA (International Phonetics Alphabet) yang disusun oleh sebuah badan internasional yang juga bernama IPA (International Phonetics Assosiation) pada tahun 1886 (Daftar sistem transkripsi fonetis selengkapnya dapat dilihat dalam Kamus Linguistik karangan Harimurti Kridalaksana, 1984).
e.       Sistem fonemis (fonem=huruf fungsional)
Setiap fonem dipresentasikan dengan satu lambang. Fonem yang diberi lambang hanyalah fonem yang beroposisi (fungsional). Jadi kalau ada bunyi-bunyi yang mirip tetapi tidak fungsional, tidak diberi lambang. Cukup satu lambang saja. Misalnya dalam bahasa Jawa, bunyi /i/ dan /I/ pada kata pitik atau pitIk, tetapi hanya diberi satu lambang saja, yaitu /i/. Sistem fonemis dianggap yang paling praktis, mudah dan cukup akomodatif. Sistem ini hingga sekarang menjadi acuan berbagai bahasa di dunia.
2.      Asal Usul Bahasa
Teori dan berbagai pendapat mengenai asal-usul bahasa pada  umumnya dapat dipilah menjadi dua macam, yaitu:
a.      Mistic phase
Mistic phase (fase mistik) atau divine origin yaitu tahap pemikiran tentang asal-usul bahasa yang masih dipengaruhi oleh alam pemikiran mistik-kedewaan. Segalan sesuatu selalu dikembalikan kepada dunia dewa yang serba mistis dan keterangan-keterangan dari kitab suci agama. Beberapa pemikiran tentang asal-usul bahasa pada masa atau tahap ini antara lain adalah:
1)      Raja Mesir Psammetichus (abad 17 SM) mengadakan percobaan dengan seorang bayi yang baru saja lahir. Bayi itu dibiarkan saja, tidak boleh seorangpun mengajak atau mengajarinya berbicara. Hingga pada tahun kedua usia bayi itu, tiba-tiba ia berujar “becos!” kepada orang tuanya. Dalam bahasa setempat kata becos berarti ‘roti’. Sejak sat itu Bangsa Mesir kuno beranggapan bahasa pertama kali adalah bahasa Mesir Kuno.
2)      Beberapa tokoh dan kepercayaan agama dunia seperti yang dikembangkan T’ien-tsu (kaisar China), Dewa Nabu (Bangsa Babilonia), Dewa Amaterasu (bangsa Jepang), hampir semua beranggapan bahasa pertama kali berasal dari kata-kata (firman) Tuhan.
3)      Beberapa pemeluk agama samawi juga berkeyakinan pada kitab sucinya masing-masing. Pemeluk Islam berkeyakinan bahasa pertama yang ada di bumi ini adalah bahasa Arab. Dasarnya Nabi Adam As diajari Tuhan menyebut nama-nama benda dalam bahasa Arab. Bangsa Yahudi berkeyakinan bahasa Yahudi adalah bahasa pertama. Dalam Kitab Kejadian disebutkan, Tuhan bicara dengan Adam dalam bahasa Yahudi.
4)      Beberapa tokoh seperti Adreas Kemke (seorang fiolog Swedia abad 17 M) mengatakan., Tuhan bicara dalam bahasa Swedia. Goropius Becanus (Belanda) mengatakan Tuhan bicara dalam bahasa Belanda.
b.      Organic phase
Masa pemikiran yang diwarnai alam keyakinan kedewaan serba mistis-religius-takhayul kemudian berangsur surut dan berkembanglah pemikiran yang dilandasi rasio dan pengetahuan empiris. Pada masa ini disebut organic phase. Beberapa tokoh yang mengemukakan pemikiran tentang asal-usul bahasa antara lain;
1)      Johan Gottfried von Herder (1744-1803) menulis buku dengan judul “Uber den Ursprung der Sprache” atau “on the Origin of Language” (1772). Dalam buku itu disebutkan bahwa bahasa bukan anugerah ilahi. Bahasa muncul dan dikembangkan manusia karena dorongan atau insting untuk berpikir.
2)      Charles Darwin (1809-1882), dalam buku Descent of Man (1872) mengemukakan bahwa bahasa terlahir karena dorongan emosi. Hampir sama dengan bunyi-bunyi atau keluhan, jeritan yang dihasilkan oleh binatang. Misalnya keadaan yang membuat emosi orang merasa jijik, lalu muncullah suara tertentu, “pooh!”. Pemikiran ini lalu berkembang menjadi teori yang dinamakan “Pooh-pooh Theory” (teori interjeksi/emosi).
3)      Max Muller, seorang fiolog Inggris kelahiran Jerman (1823-1900) mencetuskan teori Ding Dong. Menurutnya bahasa adalah akibat adanya stimulus (rangsangan). Bahasa adalah reaksi. Pada perembangannya, Muller akhirnya menyalahkan teorinya sendiri.
4)      Adam Smith dalam buku The Theory of Moral Sentiments, mengemukakan teori Tekanan Sosial (the social pressure theory/Yo-he-ho theory). Bahasa terlahir karena adanya tekanan atau kegiatan sosial. Misalnya mengangkat, bekerja, dsb, muncul kata heavel ‘angkat’.
5)      JG. Herder menyatakan bahwa bahasa pada awalnya adalah hasil tiruan. Bahasa adalah imitasi alam (tiruan bunyi yang dihasilkan alam, binatang, benda). Teori ini dikenal dengan sebutan onomatopoetic (tiruan), Bow-wow theory (imitasi),atau echoic theory (tiruan bunyi). Bahasa Indonesia, Jawa sangat kaya dengan kata-kata yang berasal dari bunyinya sendiri, misalnya cecak, kutilang, derkuku, kendang, gong. Max Muller menolak teori ini dengan mengatakan “bahasa bukan berasal dari kandang ternak!”.
6)      Wilhelm Wundt menggagas teori isyarat (gesture theory). Menurutnya pada awalnya bahasa manusia adalah gerakan-gerakan isyarat tanpa tuturan. Pada pemikirannya, binatang dan beberapa bangsa primitif (seperti Indian Kuno Amerika Utara) berkomunikasi dengan isyarat. Lama-kelamaan muncul dorongan untuk mengucapkan tuturan secara langsung. Inilah yang kemudian disebut bahasa lisan.
Beberapa pemikiran, teori, keyakinan atau aliran mengenai asal-usul bahasa terus mengalami perkembangan seiring dengan kemajuan pemikiran dan ilmu pengetahuan manusia. Sampai pada akhirnya muncullah pemikiran atau pendekatan modern tentang asal-usul lahirnya bahasa.  Pemikiran itu dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
1.      Manusia adalah makhluk individu yang memiliki kemampuan bawaan secara pisik dan psikologis. Kemampuan itu mampu menangkap dan mendorong munculnya kesan-kesan psikologis terhadap sesuatu, dari sinilah meluncur kesan psikologis dalam bentuk tuturan verbal.
2.      Manusia juga makhluk sosial. Bahasa dihasilkan dan terbentuk karena kepentingan-kepentingan dan kesepakatan sosial antaranggota masyarakat pemakainya.
Apabila kedua pemikiran itu digabung, diperoleh pengetahuan bahwa bahasa dihasilkan oleh manusia karena adanya kemampuan psikologis, yang dipicu oleh stimulus tertentu yang ada di sekitarnya. Kedua pemikiran itu sebagian berkembang sendiri-sendiri, sebagian berpadu secara komprehensif membentuk ilmu pengetahuan interdispliner. 
3.      Konteks Bahasa
Konteks bahasa adalah situasi dan kondisi pada saat terjadinya sebuah tiruan. Situasi dan kondisi yang dimaksud adalah latar belakang terjadinya komunikasi dan interaksi antar pemakai bahasa. Konteks sangat penting dalam pemahaman bahasa. Dalam kondisi tertentu, pemahaman bahasa tidak akan lengkap dan tepat jika konteks tuturan tidak dipahami. Inilah yang me-nyebabkan konteks berpengaruh besar dalam penentuan dan tujuan-tujuan berbahasa. Tuturan yang sama misalnya, dapat berbeda maknanya jika diucapkan dalam konteks yang berbeda. Contohnya, “Kita harus segera cari jalan kelur!”. Kalimat ini bisa bermakna:
a.       Mencari jalan keluar dari tempat yang membingungkan atau menyesatkan (misalnya di lorong gua, terjebak di ruangan terkunci, dan sebagainya).
b.      Mencari pemecahan atau solusi dari sebuah permasalahan keluarga (misanya diucapkan oleh suami kepada istrinya atau sebaliknya).
Menurut Hymes (1972), konteks terdiri dari sejumlah aspek yang berada di balik tuturan. Dalam terminologi Hymes, aspek-aspek konteks disimpelkan menjadi sebuah akronim SPEAKING. Masing-masing huruf mengandung pengertian:
S ~ setting and scene, meliputi latar fisik dan latar psikis (suasana). Setting mengandung pengertian tempat dan waktu terjadinya komunikasi. Scene mengacu pada suasana psikologis yang menyertai peristiwa komunikasi. Perbedaan tempat, waktu, dan suasana tuturan menyebabkan timbulnya variasi bahasa.
P ~ participant, terdiri atas penutur (sender), lawan tutur (addreser), dan pendengar (audience), dan orang yang dibicarakan. Aspek-aspek yang menyertai hal ini, seperti status sosial, tingkat pendidikan, umur, dsb, juga ikut menjadi bahan pertimbangan bagi penutur dalam menyampaikan tuturannya.
E ~ end, meliputi hasil yang diharapkan (end as outcomes) dan tujuan yang ingin diicapai (end in veews gaoals). Setiap penutur mengharapkan hasil tanggapan atas pesan yang disampaikan sesuai dengan tujuan malakukan tuturan. Tujuan penutur ini berkaitan dengan fungsi-fungsi bahasa.
A ~ act,terdiri atas bentuk pesan (message form) dan isi pesan (message content). Isi pesan disampaikan melalui bentuk pesan. Bentuk pesan dapat berupa lokulsi, ilokusi, dan oerlokusi sebagai tindak berbahasa. Bentuk pesan yang dipilih penutur ditentukan oleh isi pesan yang akan disampaikannya, dan sekaligus menentukan hasil atau tanggapan yang diharapkan dari lawan tuturnya.
K ~ key, adalah nada, sikap, suasana atau semangat yang menunjukkan tingkat formalitas pembicaraan.
I ~ instrumentalities, termasuk didalamnya chanels (saluran yang dipilih), dan form of speech (bentuk tuturan). Yang terpenting dalam hal ini adalah bahasa sebagai sarana tutur dan segala sesuatu yang mendukung peristiwa tutur.
N ~ norms, terdiri dari norma interaksi (norm of interaction) dan norma interpretasi (norm of interpretation). Adalah aturan atau segala sesuatu yang membatasi peristiwa tutur. Dalam berbicara, orang harus selalu mengingat apa yang boleh dibicarakan, apa yang sepantasnya diucapkan, dan apa yang dilarang.
G ~ genre, bisa dimaknai antara lain dengan register, bentuk wacana, ragam bahasa, dsb. Bentuk-bentuk pemakaian bahasa inilah yang selanjutnya menghasilkan perbedaan-perbedaan bahasa. Contohnya bahasa telpon, SMS, register judul koran, wacana pidato, dsb, masing-masing memiliki kekhasan (perbedaan)
Konteks tuturan atau situasi dan kondisi ketika seseorang menggunakan bahasa berpengaruh besar dalam menentukan bentuk bahasa yang digunakan, cara berbahasa, dan makna atau isi bahasa yang ingin disampaikan.
E.  Konsep dan Ketrampilan Bahasa
Bahasa adalah isyarat-isyarat vokal yang arbiter yang digunakan oleh anggota masyarakat (kelompok sosial) yang bermanfaat bagi kerja sama, saling memahami pribadi-pribadi, demikian pula keperluan, harapan, keinginan, dan cita-cita.
Bahasa menurut interpretasi sastra (literary interpretation); Di mana makna bersifat figurative/ Contoh : Language of colour (bahasa warna), Language of love (bahasa cinta), Language of the flowers (bahasa bunga). Jadi apapun yang kita lakukan di dunia harus memakai bahasa. Tidak ada satu saatpun dalam kehidupan sehari-hari yang bebas dari kata-kata, bahkan sewaktu bermimpipun kita seakan berbicara atau diajak bicara. Kita bicara walaupun tidak ada yang menjawab. Kita bicara kepada binatang dan kepada diri kita sendiri. Si kecil asyik berbicara dengan boneka mainannya.
Kemampuan berbahasa inilah yang membedakan manusia lebih dari makhluk yang lain. Sering kita mendengar ungkapan bahwa manusia adalah speaking animal. Kalau begitu maka untuk betul-betul mengerti kemanusiaan ini, kita mesti mempelajari yang membuat manusia jadi manusia. Konon tersurat dalam beberapa kepercayaan bahwa bahasa adalah sumber kehidupan dan kekuatan manusia.
Pendekatan kita terhadap bahasa bisa saja menganggap sebagai fenomena perseorangan. Bila seseorang mengatakan bahasanya kasar sekali atau tutur katanya menyenangkan, maka dia secara disadari atau tidak memberikan pemenang atau memenangkah tingkah laku (human behaviour) orang lain. Manusia dalam kehidupan sehari-hari berbicara, menulis, membaca dan mendengarkan. Ke empat keterampilan ini bukan dihadiahkan begitu saja sewaktu dilahirkan, tetapi mesti dipelajari. Tiap orangpun berbeda ke-mampuannya dalam keterampilan tersebut. Ada yang menjadi penyair, penyiar, ahli pidato dan sebagainya.
Orang yang tuli sejak lahir memperlihatkan penampilan berbahasa yang tidak normal. Dan sering kecelakaan atau penyakit mengganggu kebahasaan seseorang. Melihat ini semua, bahasa dapat kita lihat sebagai bagian dari psikologi manusia, tingkah laku tersendiri, tingkah laku yang fungsi utamanya adalah komunikasi dan interaksi.
Sehubungan dengan penggunaan bahasa, terdapat empat ketrampilan dasar bahasa, yaitu:
Empat jenis Keterampilan berbahasa
Lisan
Tulisan
Reseptif
Mendengarkan
Membaca
Produktif
Berbicara
Menulis

1.      Keterampilan Menyimak
Menyimak adalah keterampilan memahami bahasa lisan yang bersifat reseftif. Dengan demikian di sini berarti bukan sekedar mendengarkan bunyi-bunyi bahasa melainkan sekaligus memahaminya. Dalam bahasa pertama (bahasa ibu), kita memperoleh keterampilan mendengarkan melalui proses yang tidak kita sadari sehingga kitapun tidak menyadari begitu kompleksnya proses pemmerolehan keterampilan mendengar tersebut.
Berikut ini secara singkat disajikan disekripsi mengenai aspek-aspek yang terkait dalam upaya belajar memahami apa yang kita sajikan dalam bahasa kedua.
Ada dua jenis situasi dalam mendengarkan yaitu:
1.      Situasi Mendengarkan secara Interaktif
Terjadi dalam percakapan tatap muka, di telepon atau sejenisnya. Secara bergantian subjek (2 orang atau lebih) melakukan aktivitas mendengarkan dan berbicara. Sehingga kita memiliki kesempatan bertanya guna mendapatkan penjelasan, meminta lawan bicara mengulang apa yang telah diucapkannya atau meminta lebih pelan dalam berbicara.
2.      Situasi mendengarkan secara Non-Interaktif
Kita tidak dapat meminta penjelasan dari pembicara, tidak bisa meminta pembicara mengulangi apa yang diucapkan dan kita juga tidak dapat meminta pembicaraan di perlambat. Contoh : mendengarkan radio, mendengarkan acara-acara seremonial, nonton TV,  dan mendengarkan khotbah.
Berikut ini adalah keterampilan-keterampilan mikro yang terlibat ketika kita berupaya untuk memahami apa yang kita dengar, yaitu pendengar harus;
a)       Menyimpan/mengingat unsur bahasa yang didengar menggunakan daya ingat jangka pendek (short term memory).
b)       Berupaya membedakan bunyi-bunyi yang yang membedakan arti dalam bahasa target.
c)       Menyadari adanya bentuk-bentuk tekanan dan nada, warna suara dan intinasi, menyadari adanya reduksi bentuk-bentuk kata.
d)       Membedakan dan memahami arti dari kata-kata yang didengar.
e)       Mengenal bentuk-bentuk kata yang khusus (typical word-order patterns)


2.      Keterampilan Berbicara
Kemudian sehubungan dengan keterampilan berbicara secara garis besar ada tiga jenis situasi berbicara, yaitu:
1.      Berbicara interaktif
Situasi-situasi berbicara interaktif, misalnya percakapan secara tatap muka dan berbicara lewat telepon yang memungkinkan adanya pergantuan anatara berbicara dan mendengarkan, dan juga memungkinkan kita meminta klarifikasi, pengulangan atau kiat dapat memintal lawan berbicara, memperlambat tempo bicara dari lawan bicara.
2.      Berbicara semiaktif
Situasi berbicara yang semiaktif, misalnya dalam berpidato di hadapan umum secara langsung. Dalam situasi ini, audiens memang tidak dapat melakukan interupsi terhadap pembicaraan, namun pembicara dapat melihat reaksi pendengar dari ekspresi wajah dan bahasa tubuh mereka.
3.      Berbicara noninteraktif
Situasi berbicara dapat dikatakan bersifat noninteraktif, misalnya berpidato melalui radio atau televisi.
Berikut ini beberapa keterampilan mikro yang harus dimiliki dalam berbicara, dimana permbicara harus dapat;
1.       Mengucapkan bunyi-bunyi yang berbeda secara jelas sehingga pendengar dapat membedakannya.
2.       Menggunakan tekanan dan nada serta intonasu secara jelas dan tepat sehingga pendengar daoat memahami apa yang diucapkan pembicara.
3.       Menggunakan bentuk-bentuk kata, urutan kata, serta pilihan kata yang tepat.
4.       Menggunakan register aau ragam bahasa yang sesuai terhadap situasi komunikasi termasuk sesuai ditinjau dari hubungan antar pembicara dan pendengar.
5.       Berupaya agar kalimat-kalimat untama jelas bagi pendengar.
3.      Keterampilan Membaca
Membaca adalah keterampilan reseptif bahasa tulis. Keterampilan membaca dapat dikembangkan secara tersendiri, terpisah dari keterampilan mendengar dan berbicara. Tetapi, pada masyarakat yang memilki tradisi lireasi yang telah berkembang, seringkali keterampilan membaca dikembangkan secara terintergrasi dengan keterampilan menyimak dan berbicara.
Keterampilan-keterampilan mikro yang terkait dengan proses membaca yang harus dimiliki oleh pembicara adalah;
1.       Mengenal sistem tulisan yang digunakan.
2.       Mengenal kosakata.
3.       Menentukan kata-kata kunci yang mngindentifikasikan topik dan  gagasan utama.
4.       Menentukan makna kata-kata, termasuk kosakata split, dari   konteks tertulis.
5.       Mengenal kelas kata gramatikal, kata benda, kata sifat, dan sebagainya.
4.      Keterampilan Menulis
Menulis adalah keterampilan produktif dengan menggunakan tulisan. Menulis dapat dikatakan suatu keterampilan berbahasa yang paling rumit di antara jenis-jenis keterampilan berbahasa lainnya. Ini karena menulis bukanlah sekedar menyalin kata-kata dan kalimat-kalimat, melainkan juga mengembangkan dan menuangkan pikiran-pikiran dalam suatu struktur tulisan yang teratur.
Berikut ini keterampilan-keterampilan mikro yang diperlukan dalam menulis:
1.      Menggunakan ortografi dengan benar, termasuk di sini penggunaan ejaan.
2.      Memilih kata yang tepat.
3.      Menggunakan bentuk kata dengan benar.
4.      Mengurutkan kata-kata dengan benar.
5.      Menggunakan struktur kalimat yang tepat dan jelas bagi pembaca.
Keterampilan menulis adalah kemampuan yang dimiliki seseorang dalam bidang tulis menulis sehingga tenaga potensial dalam menulis. Keterampilan menulis untuk saat sekarang telah menjadi rebutan dan setiap orang berusaha untuk dapat berperan dalam dunia menulis. Banyak orang berusaha meningkatkan keterampilan menulisnya dengan harapan dapat menjadi penulis handal.
Seperti diketahui, menulis itu adalah sebuah keterampilan sehingga dapat dilatih sedemikia rupa meningkatkan kemampuan tersebut. Dalam dunia penulisan, pengetian keterampilan menulis seringkali menjadi sesuatu yang bias sehingga banyak yang tidak memahami pengertian yang sesungguhnya. Hal ini banyak dibuktikan dari kenyataan banyak yang menganggap bahwa menulis itu ditentukan karena bakat.
Apakah benar, kemampuan menulis itu ditentukan oleh bakat? Jika ditelaah pengertian bakat, setidaknya secara sederhana anda dapat  mengatakan bahwa  bakat adalah kemampuan yang dimiliki dan dibawa seseorang sejak lahir. Padahal sebenarnya pengertian keterampilan menulis itu adalah keterampilan itu sendiri. Artinya, seseorang mempunyai kemampuan menulis karena dia terampil. Sementara untuk dapat terampil dalam menulis, maka dia harus melakukannya secara langsung atau melatih dirinya sehingga terampil. Dengan demikian pengertian keterampilan menulis adalah kemampuan yang didapat dan dimiliki oleh seseorang setelah melalui proses pelatihan secara itens, khusus dalam bidang menulis. Dengan mengikuti pelatihan atau berlatih secara itens, maka seseorang dapat terampil menulis.
F.   Fungsi Bahasa
Dalam berkomunikasi sehari-hari, salah satu alat yang paling sering digunakan adalah bahasa, baik bahasa lisan maupun bahasa tulis. Begitu dekatnya kita kepada bahasa, terutama bahasa Indonesia, sehingga tidak dirasa perlu untuk mendalami dan mempelajari bahasa Indonesia secara lebih jauh. Akibatnya, sebagai pemakai bahasa, orang Indonesia tidak terampil menggunakan bahasa. Suatu kelemahan yang tidak disadari.                               
Komunikasi lisan atau nonstandar yang sangat praktis menyebabkan kita tidak teliti berbahasa. Akibatnya, kita mengalami kesulitan pada saat akan menggunakan bahasa tulis atau bahasa yang lebih standar dan teratur.
Pada dasarnya, bahasa memiliki fungsi-fungsi tertentu yang digunakan berdasarkan kebutuhan seseorang, yakni sebagai alat untuk mengekspresikan diri, sebagai alat untuk berkomunikasi, sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan beradaptasi sosial dalam lingkungan atau situasi tertentu, dan sebagai alat untuk melakukan kontrol sosial (Keraf, 1997: 3).
Bahasa Indonesia bersikap luwes sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai sarana komunikasi masyarakat modern. 
1.      Bahasa sebagai Alat Ekspresi Diri
Pada awalnya, seorang anak menggunakan bahasa untuk mengekspresikan kehendaknya atau perasaannya pada sasaran yang tetap, yakni ayah-ibunya. Dalam perkembangannya, seorang anak tidak lagi menggunakan bahasa hanya untuk mengekspresikan kehendaknya, melainkan juga untuk berkomunikasi dengan lingkungan di sekitarnya. Setelah kita dewasa, kita menggunakan bahasa, baik untuk mengekspresikan diri maupun untuk berkomunikasi. Seorang penulis mengekspresikan dirinya melalui tulisannya. Sebenarnya, sebuah karya ilmiah pun adalah sarana pengungkapan diri seorang ilmuwan untuk menunjukkan kemampuannya dalam sebuah bidang ilmu tertentu. Jadi, kita dapat menulis untuk mengekspresikan diri kita atau untuk mencapai tujuan tertentu.                          
Sebagai contoh lainnya, tulisan kita dalam sebuah buku,  merupakan hasil ekspresi diri kita. Pada saat kita menulis, kita tidak memikirkan siapa pembaca kita. Kita hanya menuangkan isi hati dan perasaan kita tanpa memikirkan apakah tulisan itu dipahami orang lain atau tidak. Akan tetapi, pada saat kita menulis surat kepada orang lain, kita mulai berpikir kepada siapakah surat itu akan ditujukan. Kita memilih cara berbahasa yang berbeda kepada orang yang kita hormati dibandingkan dengan cara berbahasa kita kepada teman kita.                      
Pada saat menggunakan bahasa sebagai alat untuk mengekspresikan diri, si pemakai bahasa tidak perlu mempertimbangkan atau memperhatikan siapa yang menjadi pendengarnya, pembacanya, atau khalayak sasarannya. Ia menggunakan bahasa hanya untuk kepentingannya pribadi. Fungsi ini berbeda dari fungsi berikutnya, yakni bahasa sebagai alat untuk berkomunikasi. Sebagai alat untuk menyatakan ekspresi diri, bahasa menyatakan secara terbuka segala sesuatu yang tersirat di dalam dada kita, sekurang-kurangnya untuk memaklumkan keberadaan kita.
Unsur-unsur yang mendorong ekspresi diri antara lain :
a)      Agar menarik perhatian orang  lain terhadap kita,
b)      Keinginan untuk membebaskan diri kita dari semua tekanan emosi
Pada taraf  permulaan, bahasa pada anak-anak sebagian berkembang  sebagai alat untuk menyatakan dirinya sendiri (Gorys Keraf, 1997 :4).
2.      Bahasa sebagai Alat Komunikasi
Komunikasi merupakan akibat yang lebih jauh dari ekspresi diri. Komunikasi tidak akan sempurna bila ekspresi diri kita tidak diterima atau dipahami oleh orang lain. Dengan komunikasi pula kita mempelajari dan mewarisi semua yang pernah dicapai oleh nenek moyang kita, serta apa yang dicapai oleh orang-orang yang sezaman dengan kita.                         
Sebagai alat komunikasi, bahasa merupakan saluran perumusan maksud kita, melahirkan perasaan kita dan memungkinkan kita menciptakan kerja sama dengan sesama warga. Ia mengatur berbagai macam aktivitas kemasyarakatan, merencanakan dan mengarahkan masa depan kita (Gorys Keraf, 1997 : 4).
Pada saat kita menggunakan bahasa untuk berkomunikasi, antara lain kita juga mempertimbangkan apakah bahasa yang kita gunakan laku untuk dijual. Oleh karena itu, seringkali kita mendengar istilah “bahasa yang komunikatif”. Misalnya, kata makro hanya dipahami oleh orang-orang dan tingkat pendidikan tertentu, namun kata besar atau luas lebih mudah dimengerti oleh masyarakat umum. Kata griya, misalnya, lebih sulit dipahami dibandingkan kata rumah atau wisma. Dengan kata lain, kata besar, luas, rumah, wisma, dianggap lebih komunikatif karena bersifat lebih umum. Sebaliknya, kata-kata griya atau makro akan memberi nuansa lain pada bahasa kita, misalnya, nuansa keilmuan, nuansa intelektualitas, atau nuansa tradisional.                             
Bahasa sebagai alat ekspresi diri dan sebagai alat komunikasi sekaligus pula merupakan alat untuk menunjukkan identitas diri. Melalui bahasa, kita dapat menunjukkan sudut pandang kita, pemahaman kita atas suatu hal, asal usul bangsa dan negara kita, pendidikan kita, bahkan sifat kita. Bahasa menjadi cermin diri kita, baik sebagai bangsa maupun sebagai diri sendiri.
3.      Bahasa sebagai Alat Integrasi dan Adaptasi Sosial
Bahasa disamping sebagai salah satu unsur kebudayaan, memungkinkan pula manusia memanfaatkan pengalaman-pengalaman mereka, mempelajari dan mengambil bagian dalam pengalaman-pengalaman itu, serta belajar berkenalan dengan orang-orang lain. Anggota-anggota masyarakat  hanya dapat dipersatukan secara efisien melalui bahasa. Bahasa sebagai alat komunikasi, lebih jauh memungkinkan tiap orang untuk merasa dirinya terikat dengan kelompok sosial yang dimasukinya, serta dapat melakukan semua kegiatan kemasyarakatan dengan menghindari sejauh mungkin bentrokan-bentrokan untuk memperoleh efisiensi yang setinggi-tingginya. Ia memungkinkan integrasi (pembauran) yang sempurna bagi tiap individu dengan masyarakatnya (Gorys Keraf, 1997 : 5).
Cara berbahasa tertentu selain berfungsi sebagai alat komunikasi, berfungsi pula sebagai alat integrasi dan adaptasi sosial. Pada saat kita beradaptasi kepada lingkungan sosial tertentu, kita akan memilih bahasa yang akan kita gunakan bergantung pada situasi dan kondisi yang kita hadapi. Kita akan menggunakan bahasa yang berbeda pada orang yang berbeda. Kita akan menggunakan bahasa yang nonstandar di lingkungan teman-teman dan menggunakan bahasa standar pada orang tua atau orang yang kita hormati.                                                                        
4.       Bahasa sebagai Alat Kontrol Sosial
Sebagai alat kontrol sosial, bahasa sangat efektif. Kontrol sosial ini dapat diterapkan pada diri kita sendiri atau kepada masyarakat. Berbagai penerangan, informasi, maupun pendidikan disampaikan melalui bahasa. Buku-buku pelajaran dan buku-buku instruksi adalah salah satu contoh penggunaan bahasa sebagai alat kontrol sosial.                   
Contoh fungsi bahasa sebagai alat kontrol sosial yang sangat mudah kita terapkan adalah sebagai alat peredam rasa marah. Menulis merupakan salah satu cara yang sangat efektif untuk meredakan rasa marah kita. Tuangkanlah rasa dongkol dan marah kita ke dalam bentuk tulisan. Biasanya, pada akhirnya, rasa marah kita berangsur-angsur menghilang dan kita dapat melihat persoalan secara lebih jelas dan tenang.

G.    Kelemahan Bahasa
Sampai disini, kiranya sudah dapat di pahami bahwa bahasa sangat vital bagi manusia dalam menjalankan aktivitas sehari hari. Bahasa memperjelas cara berfikir manusia, maka orang yang terbiasa menulis dengan bahasa yang baik akan mempunyai cara berfikir yang sistematis. Lebih jauh sesungguhnya bahasa menstrukturkan pengalaman manusia, dan begitu pula sebaliknya.                                                         
Namun bahasa pun tak luput dari sejumlah kelemahan inheren yang bisa menghambat komunikasi diantaranya sebagai berikut: 
Pertama, bahasa memiliki multifungsi (ekspresif, konatif, representasional, informatif, deskriptif, simbolik, emotif, afektif ) yang dalam praktiknya sukar untuk di pisah pisahkan. Akibatnya, ilmuwan sukar untuk membuang faktor emotif dan afektifnya ketika mengkomunikasikan pengetahuan informatifnya. Syahdan, pengetahuan yang di utarakan tak sepenuhnya kalis dari emosi dan afeksidan karenanya tak seutuhnya objektif ; konotasinya bersifat emosional.                                      
Kedua, kata kata mengandung makna atau arti yang tidak seutuhnya jelas dan eksak. Misalnya, kata “cinta” di pakai dalam lingkup yang luas dalam berhubungan antara ibu dan anak , ayah dan anak, sumi dan istri, kakek dan nenek, sepasang kekasih. Banyaknya makna yang termuat dalam arti kata “cinta” menyulitkan kita untuk membuat bahasa yang tepat dan menyeluruh. Sebaliknya, beberapa kata yang merujuk pada sebuah makna – bersifat majemuk atau plural , kerap kali memantik apa yang di istilahkan sebagai kekacauan semantik, yakni dua orang yang berkomunikasi menggunakan sebuah kata dengan makna makna yang berlainan, atau mereka menggunakan dua kata yang berbeda untuk sebuah makna yang sama.      
Ketiga, bahasa acap kali bersifat sirkular ( berputar putar ). Jujun mencontohkan kata “pengelolaan” yang di definisikan sebagai “kegiatan yang di lakukan dalam sebuah organisasi” , sedangkan organisai di definisikan sebagai “suatu bentuk kerja sama yang merupakan wadah dari kegiatan pengelolaan”. Kelemahan kelemahan bahasa tersebut sebenernya telah menjadi kajian keilmuwan tersendiri dalam, misalnya, filsafat, analitik, linguistik, psikolinguistik, sosiolinguistik.                                                
Jelaslah bagi kita bahwa bahasa menjadikan manusia sebagai makhluk yang lebih maju ketimbang makhluk makhluk lainnya. Jelaslah pula bahwa, di satu sisi, bahasa sebagai sarana berfikir ilmiah  mempunyai fungsi fungsi yang sangat bermanfaat bagi aktivitas aktivitas ilmiah . Di sisi lain , bahasa tidak lepas dari kelemahan kelemahan yang merintangi pencapain tujuan dari aktivitas aktivitas ilmiah. Kelemahan kelemahan bahasa ini barangkali akan di tutupi oleh kelebihan kelebihan  dari dua sarana berfikir ilmiah lainnya, yaitu matematika dan statitiska . 

No comments:

Post a Comment