1. Teori
Kebenaran Korespondensasi
Kebenaran Koresponden: Sesuatu (pernyataan) dianggap
benar apabila materi pengetahuan yang terkandung didalamnya berhubungan atau
memiliki korespondensi dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Teori
koresponden menggunakan logika induktif, artinya metode yang digunakan dalam
berpikir dengan bertolak dari hal-hal khusus ke umum. Dengan kata lain
kesimpulan akhir ditarik karena ada fakta-fakta mendukung yang telah diteliti dan
dianalisa sebelumnya. jika saya
mengatakan bahwa Amerika Serikat dibatasi oleh Kanada di sebelah Utara, maka
menurut pendekatan ini, pernyataan saya tadi benar, bukan karena ia sesuai
dengan pernyataan lain yang sebelumnya telah diberikan orang atau karena
kebetulan pernyataan itu berguna, akan tetapi karena pernyataan itu sesuai
dengan situasi geografi yang sebenarnya. Inilah, arti dari kata Kebenaran dalam
percakapan sehari-hari. Hal ini juga merupakan pandangan yang khas dari seorang
ilmuwan yang mengecek idenya dengan berbagai data atau penemuannya dan merasa
senang untuk menyerahkan kesimpulannya untuk diuji secara objektif
oleh ilmuwan lain.
Menurut teori koresponden, ada atau tidaknya keyakinan
tidak mempunyai hubungan langsung terhadap kebenaran atau kekeliruan, oleh
karena kebenaran atau kekeliruan itu tergantung kepada kondisi yang sudah
ditetapkan atau diingkari. Jika sesuatu
pertimbangan sesuai dengan fakta, maka pertimbangan itu benar.
Walaupun begitu, penyanggah teori koresponden tidak
berpendapat bahwa soal menguji kebenaran pernyataan tidak seterang dan sejelas
yang disangka oleh pengikut teori korespondensi. Pertanyaan kritik yang pertama
biasanya adalah bagaimana kita dapat membandingkan ide-ide kita dengan
realitas? Kita hanya mengetahui pengalaman kita. Bagaimana kita dapat keluar
dari pengalaman kita sehingga kita dapat membandingkan ide-ide kita dengan
realitas yang ada.
Teori korespondensi nampaknya mempunyai asumsi bahwa
data rasa kita adalah jelas dan akurat, bahwa data tersebut menampakkan watak
dunia seperti apa adanya. Kelompok idealis dan pragmatis mempersoalkan asumsi
tersebut secara serius dan menunjukkan bahwa dalam persepsi, akal cenderung
untuk campur tangan dan mengubah pandangan kita tentang dunia. Jika kekuatan
persepsi kita berkurang atau bertambah, atau jika kita mempunyai indra
lebih banyak atau sedikit, dunia akan nampak berbeda dari keadaannya
sekarang. Oleh karena itu kita tidak dapat mengetahui suatu objek atau suatu
kejadian melainkan dengan perantaraan data rasa kita, maka adalah tidak
bijaksana untuk mempertanyakan apakah pertimbangan kita sesuai dengan benda
seperti yang sesungguhnya ada.
Akhirnya, kita memiliki pengetahuan tentang arti
atau definisi, hubungan (relation) dan nilai seperti dalam matematik,
logika, dan etika. Sebagian dalam ide yang ingin kita uji kebenarannya tidak
mempunyai objek di luar bidang pikiran manusia yang dapat kita pakai untuk
mengadakan perbandingan dan pengecekan terhadap korespondensi. Dalam bidang
tersebut sedikitnya teori korespondensi tentang kebenaran nampaknya tidak
berfungsi, tetapi nyatanya pengetahuan dalam bidang tersebut memiliki derajat
ketentuan yang tinggi.
Pendukung teori korespondensi akan menjawab kritik ini
dengan menunjukkan bahwa matematika dan logika, tak terdapat tuntutan kebenaran
tentang dunia, dan oleh karena itu tak perlu dilakukan ajaran kebenaran kecuali
tentang konsistensi.
2. Teori
Kebenaran Koherensi
Kebenaran Koheren: Sesuatu (pernyataan) dianggap
benar apabila konsisten dan memiliki koherensi dengan pernyataan sebelumnya
yang dianggap benar. .
Teori ini menyatakan bahwa sesuatu yang dinyatakan akan dianggap benar
jika pernyataan itu bersifat koheren bahkan konsisten dengan pernyataan
sebelumnya. Hal ini dengan tegas dinyatakan oleh Suriasumantri (2000:59) bahwa
teori koherensi adalah terori yang berlandaskan pada logika deduktif yang
menyatakan bahwa suatu pernyataan yang dinyatakan benar jika bersifat koheren
dan konsisten.
Teori kebenaran konsistensi atau (Menurut teori ini
kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan (judgment) dengan sesuatu
yang lalu, yakni fakta atau realitas, tetapi atas hubungan antara
putusan-putusan itu sendiri).
Dengan demikian, kebenaran ditegakkan atas hubungan
antara putusan yang baru dengan putusan-putusan lainnya yang telah kita ketahui
dan akui benarnya terlebih dahulu. Jadi suatu proposisi itu cenderung untuk
benar jika proposisi itu koherent [saling berhubungan] dengan proposisi yang
benar, atau jika arti yang terkandung oleh proposisi tersebut koheren dengan
pengalaman kita.
Suatu kepercayaan adalah benar, bukan karena
bersesuaian dengan fakta, melainkan bersesuaian/selaras dengan pengetahuan yang
kita miliki. [Jika kita menerima kepercayan-kepercayaan baru sebagai
kebenaran-kebenaran, maka hal itu semata-mata atas dasar kepercayaan itu saling
berhubungan [koheren] dengan pengetahuan yang kita miliki.
Suatu putusan benar apabila putusan itu konsisten
dengan putusan-putusan yang terlebih dahulu kita terima, dan kita ketahui
kebenarannya. Putusan yang benar adalah suatu putusan yang saling berhubungan
secara logis dengan putusan-putusan lainnya yang relevance.
Jadi menurut teori ini, putusan yang satu dengan putusan
yang lainnya saling berhubungan dan saling menerangkan satu sama lainnya.
Dengan kata lain Kebenaran saling berhubungan yang sistematik. (kebenaran
adalah konsistensi, selaras, kecocokan).
Teori dapat disimpulkan bahwah kebenaran adalah
kesesuaian antara suatu pernyataan dengan pernyataan lainnya yang lebih dahulu
kita akui/ terima/ ketahui kebenarannya. Teori
ini dapat juga dinamakan teori justifikasi tentang kebenaran, karena menurut
teori ini suatu putusan dianggap benar apabila mendapat justifikasi
putusan-putusan lainnya yang terdahulu yang sudah diketahui kebenarannya.
3. Teori
Kebenaran Sintaksis
Teori ini berkembang di antara filsuf analisa
bahasa, terutama yang begitu ketat terhadap pemakaian gramatikal seperti
Freiderich Schleiemacher. Para penganut
teori ini berpangkal pada keteraturan sintaksis atau gramatikal yang dipakai
oleh suatu pernyataan atau tata bahasa yang melekat. Demikian suatu pernyataan
bernilai benar apabila pernyataan tersebut mengikuti aturan-aturan sintaksis
yang baku. Dengan kata lain apabila sebuah proposisi keluar dari yang
disyaratkan maka proposisi tersebut tidak mempunyai arti.
Kebenaran dalam perspektif ini memerlukan
sensitifitas kita untuk mengetahui bentuk-bentuk gramatikal dari suatu bahasa.
Karena gramatikal inilah yang akan digunakan untuk melakukan penilaian
kebenaran sebuah pernyataan.
4. Teori
Kebenaran Simantis
Teori ini dianut oleh paham filsafat analitika
bahasa yang dikembangkan paska filsafat Bentrand Rusdell sebagai tokoh pemula dari
filsafat analitika bahasa. Menurut teori ini, kebenaran semantik suatu
proposisi memiliki nilai benar ditinjau dari segi arti atau makna. Arti ini
dengan menunjukkan makna yang sesungguhnya dengan menunjuk pada referensi atau
kenyataan, juga arti yang dikemukakan itu memiliki arti yang bersifat
definitif.
Di dalam teori ini ada sikap yang mengakibatkan
diterimanya sebuah proposisi sebagai arti yang esoterik, arbiter, atau hanya
mempunyai arti jika dihubungkan dengan nilai praktis. Teori
ini dikembangkan oleh Tarski, yang sangat peduli untuk mengatasi paradoks
semantik yang membicarakan kebenaran yang muncul dalam hakekat bahasa seperti
paradoks pembohong. Ia memegang kebenaran yang hanya bisa didefinisikan secara
memadai untuk bahasa yang tidak mengandung kebenaran sendiri-predikat.
5.
Teori Kebenaran Non-Deskripsi
Teori kebenaran non deskripsi ini dikembangkan oleh
penganut filsafat fungsionalisme. Karena
pada dasarnya suatu statemen atau pernyataan itu akan mempunyai nilai benar
yang amat tergantung peran dan fungsi pernyataan itu. White (1978) mengambarkan
tentang kebenaran sebagaimana dikemukakannya:
Menurut
pernyataan di atas, pengetahuan akan memiliki nilai benar sejauh pernyataan itu
memiliki fungsi yang amat praktis dalam kehidupan sehari-hari. Pernyataan itu
juga merupakan kesepakatan bersama untuk menggunakan secara praktis dalam
kehidupan sehari-hari. Oleh karena itulah White (1978) lebih lanjut
menjelaskan:
6. Teori
Kebenaran Logik yang Berlebihan
Teori Kebenaran Logik yang berlebihan
(Logical-Superfluity Theory of Truth).Teori ini dikembangkan oleh kaum Positivistik
yang diawali oleh Ayer.
Pada dasarnya menurut teori kebenaran ini adalah bahwa
problema kebenaran hanya merupakan kekacauan bahasa saja dan hal ini akibatnya
merupakan suatu pemborosan, karena pada dasarnya pernyataan yang hendak
dibuktikan kebenarannya memiliki derajat logik yang sama yang masing-masing
saling melingkupinya. Dengan demikian,
sesungguhnya setiap proposisi yang bersifat logik dengan menunjukkan bahwa
proposisi itu mempunyai isi yang sama, memberikan informasi yang sama dan semua
orang sepakat, maka apabila kita membuktikannya lagi hal yang demikian itu
hanya merupakan bentuk logis yang berlebihan. Hal yang demikian itu
sesungguhnya karena suatu pernyataan yang hendak dibuktikan nilai kebenarannya
sesungguhnya telah merupakan fakta atau data yang telah memiliki evidensi,
artinya bahwa objek pengetahuan itu sendiri telah menunjukkan kejelasan dalam
dirinya sendiri (Gallagher, 1984).
Misalnya suatu lingkaran adalah bulat, ini telah
memberikan kejelasan dalam pernyataan itu sendiri tidak perlu diterangkan lagi,
karena pada dasarnya lingkaran adalah suatu yang terdiri dari rangkaian titik
yang jaraknya sama dari satu titik tertentu, sehingga berupa garis yang bulat.
By: FKIP UNIM MOJOKERTO
No comments:
Post a Comment