Wednesday, May 29, 2013

TEORI-TEORI KEBENARAN FILSAFAT BAHASA



1.      Teori Kebenaran Korespondensasi
Kebenaran Koresponden: Sesuatu (pernyataan) dianggap benar apabila materi pengetahuan yang terkandung didalamnya berhubungan atau memiliki korespondensi dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Teori koresponden menggunakan logika induktif, artinya metode yang digunakan dalam berpikir dengan bertolak dari hal-hal khusus ke umum. Dengan kata lain kesimpulan akhir ditarik karena ada fakta-fakta mendukung yang telah diteliti dan dianalisa sebelumnya.  jika saya mengatakan bahwa Amerika Serikat dibatasi oleh Kanada di sebelah Utara, maka menurut pendekatan ini, pernyataan saya tadi benar, bukan karena ia sesuai dengan pernyataan lain yang sebelumnya telah diberikan orang atau karena kebetulan pernyataan itu berguna, akan tetapi karena pernyataan itu sesuai dengan situasi geografi yang sebenarnya. Inilah, arti dari kata Kebenaran dalam percakapan sehari-hari. Hal ini juga merupakan pandangan yang khas dari seorang ilmuwan yang mengecek idenya dengan berbagai data atau penemuannya dan merasa senang untuk menyerahkan kesimpulannya untuk diuji secara objektif oleh ilmuwan lain.
Menurut teori koresponden, ada atau tidaknya keyakinan tidak mempunyai hubungan langsung terhadap kebenaran atau kekeliruan, oleh karena kebenaran atau kekeliruan itu tergantung kepada kondisi yang sudah ditetapkan atau diingkari. Jika sesuatu pertimbangan sesuai dengan fakta, maka pertimbangan itu benar.
Walaupun begitu, penyanggah teori koresponden tidak berpendapat bahwa soal menguji kebenaran pernyataan tidak seterang dan sejelas yang disangka oleh pengikut teori korespondensi. Pertanyaan kritik yang pertama biasanya adalah bagaimana kita dapat membandingkan ide-ide kita dengan realitas? Kita hanya mengetahui pengalaman kita. Bagaimana kita dapat keluar dari pengalaman kita sehingga kita dapat membandingkan ide-ide kita dengan realitas yang ada.
Teori korespondensi nampaknya mempunyai asumsi bahwa data rasa kita adalah jelas dan akurat, bahwa data tersebut menampakkan watak dunia seperti apa adanya. Kelompok idealis dan pragmatis mempersoalkan asumsi tersebut secara serius dan menunjukkan bahwa dalam persepsi, akal cenderung untuk campur tangan dan mengubah pandangan kita tentang dunia. Jika kekuatan persepsi kita berkurang atau bertambah, atau jika kita mempunyai indra lebih  banyak atau sedikit, dunia akan nampak berbeda dari keadaannya sekarang. Oleh karena itu kita tidak dapat mengetahui suatu objek atau suatu kejadian melainkan dengan perantaraan data rasa kita, maka adalah tidak bijaksana untuk mempertanyakan apakah pertimbangan kita sesuai dengan benda seperti yang sesungguhnya ada.
Akhirnya, kita memiliki pengetahuan tentang arti atau definisi, hubungan (relation) dan nilai seperti dalam matematik, logika, dan etika. Sebagian dalam ide yang ingin kita uji kebenarannya tidak mempunyai objek di luar bidang pikiran manusia yang dapat kita pakai untuk mengadakan perbandingan dan pengecekan terhadap korespondensi. Dalam bidang tersebut sedikitnya teori korespondensi tentang kebenaran nampaknya tidak berfungsi, tetapi nyatanya pengetahuan dalam bidang tersebut memiliki derajat ketentuan yang tinggi.
Pendukung teori korespondensi akan menjawab kritik ini dengan menunjukkan bahwa matematika dan logika, tak terdapat tuntutan kebenaran tentang dunia, dan oleh karena itu tak perlu dilakukan ajaran kebenaran kecuali tentang konsistensi.

2.      Teori Kebenaran Koherensi
Kebenaran Koheren: Sesuatu (pernyataan) dianggap benar apabila konsisten dan memiliki koherensi dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. .
Teori ini menyatakan bahwa  sesuatu yang dinyatakan akan dianggap benar jika pernyataan itu bersifat koheren bahkan konsisten dengan pernyataan sebelumnya. Hal ini dengan tegas dinyatakan oleh Suriasumantri (2000:59) bahwa teori koherensi adalah terori yang berlandaskan pada logika deduktif yang menyatakan bahwa suatu pernyataan yang dinyatakan benar jika bersifat koheren dan konsisten.
Teori kebenaran konsistensi atau (Menurut teori ini kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan (judgment) dengan sesuatu yang lalu, yakni fakta atau realitas, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri).
Dengan demikian, kebenaran ditegakkan atas hubungan antara putusan yang baru dengan putusan-putusan lainnya yang telah kita ketahui dan akui benarnya terlebih dahulu. Jadi suatu proposisi itu cenderung untuk benar jika proposisi itu koherent [saling berhubungan] dengan proposisi yang benar, atau jika arti yang terkandung oleh proposisi tersebut koheren dengan pengalaman kita.
Suatu kepercayaan adalah benar, bukan karena bersesuaian dengan fakta, melainkan bersesuaian/selaras dengan pengetahuan yang kita miliki. [Jika kita menerima kepercayan-kepercayaan baru sebagai kebenaran-kebenaran, maka hal itu semata-mata atas dasar kepercayaan itu saling berhubungan [koheren] dengan pengetahuan yang kita miliki.
Suatu putusan benar apabila putusan itu konsisten dengan putusan-putusan yang terlebih dahulu kita terima, dan kita ketahui kebenarannya. Putusan yang benar adalah suatu putusan yang saling berhubungan secara logis dengan putusan-putusan lainnya yang relevance.
Jadi menurut teori ini, putusan yang satu dengan putusan yang lainnya saling berhubungan dan saling menerangkan satu sama lainnya. Dengan kata lain   Kebenaran  saling berhubungan yang sistematik. (kebenaran adalah konsistensi, selaras, kecocokan).
Teori dapat disimpulkan bahwah kebenaran adalah kesesuaian antara suatu pernyataan dengan pernyataan lainnya yang lebih dahulu kita akui/ terima/ ketahui kebenarannya. Teori ini dapat juga dinamakan teori justifikasi tentang kebenaran, karena menurut teori ini suatu putusan dianggap benar apabila mendapat justifikasi putusan-putusan lainnya yang terdahulu yang sudah diketahui kebenarannya.

3.      Teori Kebenaran Sintaksis
Teori ini berkembang di antara filsuf analisa bahasa, terutama yang begitu ketat terhadap pemakaian gramatikal seperti Freiderich Schleiemacher.  Para penganut teori ini berpangkal pada keteraturan sintaksis atau gramatikal yang dipakai oleh suatu pernyataan atau tata bahasa yang melekat. Demikian suatu pernyataan bernilai benar apabila pernyataan tersebut mengikuti aturan-aturan sintaksis yang baku. Dengan kata lain apabila sebuah proposisi keluar dari yang disyaratkan maka proposisi tersebut tidak mempunyai arti.
Kebenaran dalam perspektif ini memerlukan sensitifitas kita untuk mengetahui bentuk-bentuk gramatikal dari suatu bahasa. Karena gramatikal inilah yang akan digunakan untuk melakukan penilaian kebenaran sebuah pernyataan.

4.      Teori Kebenaran Simantis
Teori ini dianut oleh paham filsafat analitika bahasa yang dikembangkan paska filsafat Bentrand Rusdell sebagai tokoh pemula dari filsafat analitika bahasa. Menurut teori ini, kebenaran semantik suatu proposisi memiliki nilai benar ditinjau dari segi arti atau makna. Arti ini dengan menunjukkan makna yang sesungguhnya dengan menunjuk pada referensi atau kenyataan, juga arti yang dikemukakan itu memiliki arti yang bersifat definitif.
Di dalam teori ini ada sikap yang mengakibatkan diterimanya sebuah proposisi sebagai arti yang esoterik, arbiter, atau hanya mempunyai arti jika dihubungkan dengan nilai praktis. Teori ini dikembangkan oleh Tarski, yang sangat peduli untuk mengatasi paradoks semantik yang membicarakan kebenaran yang muncul dalam hakekat bahasa seperti paradoks pembohong. Ia memegang kebenaran yang hanya bisa didefinisikan secara memadai untuk bahasa yang tidak mengandung kebenaran sendiri-predikat.

5.      Teori Kebenaran Non-Deskripsi
Teori kebenaran non deskripsi ini dikembangkan oleh penganut filsafat fungsionalisme. Karena pada dasarnya suatu statemen atau pernyataan itu akan mempunyai nilai benar yang amat tergantung peran dan fungsi pernyataan itu. White (1978) mengambarkan tentang kebenaran sebagaimana dikemukakannya:
Menurut pernyataan di atas, pengetahuan akan memiliki nilai benar sejauh pernyataan itu memiliki fungsi yang amat praktis dalam kehidupan sehari-hari. Pernyataan itu juga merupakan kesepakatan bersama untuk menggunakan secara praktis dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itulah White (1978) lebih lanjut menjelaskan:

6.      Teori Kebenaran Logik yang Berlebihan
Teori Kebenaran Logik yang berlebihan (Logical-Superfluity Theory of Truth).Teori ini dikembangkan oleh kaum Positivistik yang diawali oleh Ayer.
Pada dasarnya menurut teori kebenaran ini adalah bahwa problema kebenaran hanya merupakan kekacauan bahasa saja dan hal ini akibatnya merupakan suatu pemborosan, karena pada dasarnya pernyataan yang hendak dibuktikan kebenarannya memiliki derajat logik yang sama yang masing-masing saling melingkupinya. Dengan demikian, sesungguhnya setiap proposisi yang bersifat logik dengan menunjukkan bahwa proposisi itu mempunyai isi yang sama, memberikan informasi yang sama dan semua orang sepakat, maka apabila kita membuktikannya lagi hal yang demikian itu hanya merupakan bentuk logis yang berlebihan. Hal yang demikian itu sesungguhnya karena suatu pernyataan yang hendak dibuktikan nilai kebenarannya sesungguhnya telah merupakan fakta atau data yang telah memiliki evidensi, artinya bahwa objek pengetahuan itu sendiri telah menunjukkan kejelasan dalam dirinya sendiri (Gallagher, 1984).
Misalnya suatu lingkaran adalah bulat, ini telah memberikan kejelasan dalam pernyataan itu sendiri tidak perlu diterangkan lagi, karena pada dasarnya lingkaran adalah suatu yang terdiri dari rangkaian titik yang jaraknya sama dari satu titik tertentu, sehingga berupa garis yang bulat.

By: FKIP UNIM MOJOKERTO

No comments:

Post a Comment