BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Unsur
Moral dalam Fiksi
2.1.1
Pengertian
dan Hakikat Moral
Moral merupakan
unsur inti karya sastra. Moral adalah sesuatu yang ingin disampaikan oleh
pengarang kepada pembaca, merupakan makna yang terkandung dalam sebuah karya,
makna yang disarankan lewat cerita. Moral, kadang-kadang diidentikkan
pengertiannya dengan tema, walaupun sebenarnya tidak selalu menyarankan pada
bentuk yang sama. Moral dan tema, keduanya merupakan sesuatu yang terkandung,
dapat ditafsirkan, dan diambil dari cerita. Namun, tema bersifat lebih kompleks
daripada moral, disamping tidak memiliki nilai langsung sebagai saran yang
ditunjukkan kepada pembaca. Moral, dengan demikian, dapat dipandang sebagai salah
satu wujud tema dalam bentuk yang sederhana, namun tidak semua tema merupakan
moral (Kenny, 1966: 89)
Secara umum
moral menyaran pada pengertian (ajaran tentang) baik buruk yang diterima
mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; akhlak, budi pekerti,
susila (KBBI, 1994).
Moral dalam
karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan,
pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal itulah yang ingin
disampaikan kepada pembaca. Moral dalam cerita (Kenny (1966: 89), biasanya
dimaksudkan sebagai saran yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang
bersifat praktis, yang dapat diambil dan ditafsirkan lewat cerita oleh pembaca.
Ia merupakan “petunjuk” yang sengaja diberikan oleh pengarang tentang berbagai
hal yang berhubungan dengan masalah kehidupan, seperti sikap, tingkah laku, dan
sopan santun pergaulan.
Melalui cerita,
sikap, dan tingkah laku tokoh-tokoh itulah pembaca diharapkan dapat mengambil
hikmah dari pesan-pesan moral yang disampikan, yang diamanatkan. Moral dalam
karya satra dipandang sebagai amanat, pesan, massage. Bahkan, unsur amanat itu sebenarnya merupakan gagasan yang
mendasari diciptakannya karya sastra sebagai pendukung pesan.
Moral dalam
karya sastra, atau hikmah yang diperoleh pembaca lewat karya sastra, selalu
dalam pengertian yang baik. Jika dalam sebuah karya ditampilkan sifat atau
tingkah laku tokoh yang kurang terpuji atau buruk, maupun protagonis, bukan
berarti pengarang menyarankan kepada pembaca untuk bersikap dan bertindak
secara demikian. Sikap dan tingkah laku tersebut hanyalah model, yang sengaja
ditampilkan justru agar tidak diikuti, atau minimal tidak dicenderungi oleh
pembaca. Pembaca diharapkan mengambil hikmah sendiri dari tokoh antagonis itu.
2.1.2
Jenis
dan Wujud Pesan Moral
Dalam karya
fiksi banyak sekali jenis dan wujud ajaran moral yang dipesankan. Jenis dan
wujud pesan moral yang terdapat dalam karya sastra akan bergantung pada
keyakinan, keinginan, dan interes pengarang yang bersangkutan. Jenis ajaran
moral boleh dikatakan bersifat tidak terbatas. Ia dapat mencakup seluruh
persoalan hidup dan kehidupan, seluruh persoalan yang menyangkut harkat dan
martabat manusia.
Sebuah novel
tentu saja dapat mengandung dan menawarkan pesan moral itu salah satu, dua,
atau ketiganya sekaligus, masing-masing dengan wujud detil khususnya. Secara
garis besar persoalan hidup dan kehidupan manusia mencakup tiga hal, (1)
hubungan manusia dengan diri sendiri, (2) hubungan manusia dengan manusia lain,
termasuk hubungan dengan lingkungan alam, dan (3) hubungan manusia dengan
Tuhan-Nya.
Persoalan
manusia dengan dirinya sendiri dapat bermacam-macam jenis dan intensitasnya.
Hal itu tentu saja juga tidak lepas dengan persoalan hubungan antarsesama
dengan Tuhan. Misalnya: masalah-masalah seperti eksensi diri, harga diri,
percaya diri, takut, maut, rindu, dendam, kesepian, dan lain-lain yang bersifat
melibatkan ke dalam diri dan kejiwaan seorang individu.
Masalah-masalah
yang berupa hubungan antarmanusia itu antara lain dapat berwujud: persahabatan,
kesetiaan, penghianatan, kekeluargaan: hubungan suami-istri, orang tua-anak,
hubungan buruh-majikan, cinta tanah air, dan lain-lain yang melibatkan
interaksi antarmanusia.
Sedangkan
masalah-masalah yang berupa hubungan manusia dengan Tuhannya, misalnya tentang
keimanan, ibadah, dosa, dan lain sebagainya.
2.2
Pesan
Religius dan Kritik Sosial
Pesan moral yang
berwujud religius, termasuk di dalamnya yang bersifat keagamaan, dan kritik
sosial banyak ditemukan dalam karya fiksi. Kedua hal tersebut merupakan “lahan”
inspirasi bagi para penulis. Hal itu disebabkan karena banyaknya masalah
kehidupan yang tidak sesuai dengan yang diharapkan, kemudian mereka mencoba
menawarkan sesuatu yang diidealkan.
2.2.1
Pesan
Religius dan Keagamaan
Kehadiran unsur
relegius dan keagamaan dalam sastra adalah suatu keberadaan sastra itu sendiri.
Bahkan sastra tumbuh dari suatu yang bersifat relegius. Pada awal mula segala
sastra adalah relegious (Mangunwijaya, 1982: 11). Istilah “relegius” berarti
membawa konotasi pada makna agama. Relegius dan agama memang erat dan
berkaitan, berdampingan, bahkan dapat melebur dalam kesatuan, namun sebenarnya
keduanya menyaran pada makna yang berbeda.
Agama lebih
menunjukkan pada kelambagaan kebaktian pada Tuhan dengan hukum-hukum yang
resmi. Sedangkan Religiositas, melihat aspek dari lubuk hati, riak getaran
nurani pribadi, totalitas kedalaman pribadi manusia. Dengan demikian, religius
bersifat mengatasi, lebih dalam, dan lebih luas dari agama yang tampak dormal
dan resmi (Mangunwijaya, 1982: 11-12).
Seorang religius
adalah orang yang mencoba memahami dan menghayati hidup dan kehidupan ini lebih
dari sekedar yang lahiriah saja. Dia tidak terikat pada agama tertentu yang ada
di dunia ini. Seorang penganut agama tertentu, Islam misalnya, idealnya
sekaligus religius, namun tidak demikian kenyataannya. Banyak penganut agama
tertentu, misalnya seperti yang terlihat dalam KTP, namun sikap dan tingkah
lakunya tidak religius. Moral religius menjunjung tinggi sifat-sifat manusiawi,
hati nurani yang dalam, harkat, dan martabat serta kebebasan pribadi yang
dimiliki manusia.
Masalah religius
dan keagamaan misalnya dalam cerpen Robohnya
Surau Kami, menceritakan kehidupan seseorang penunggu surau yang hanya
beribadah melulu dan melupakan urusan dunia, yang akhirnya bunuh diri. Cerpen tersebut
ingin menyampaikan pesan keagamaan, bahwa kehidupan dunia-akhirat harus
dijalani secara seimbang. Orang boleh saja, dan mesti demikian, beribadah
secara sungguh-sungguh dan selalu ingat kepada Tuhan, namun selama masih di
dunia, ia tidak akan dapat menghindar dari kebutuhan duniawi.
2.2.2
Pesan
Kritik Sosial
Hampir semua
novel Indonesia sejak awal pertumbuhannya hingga sekarang ini, boleh dikatakan
mengandung unsur pesan kritik sosial walau dengan tingkat intensitas yang
berbeda. Wujud kehidupan sosial yang dikritik bermacam-macam seluas lingkup
kehidupan sosial itu sendiri. Banyak karya sastra yang bernilai tinggi yang
didalamnya menampilkan pesan-pesan kritik sosial.
Namun, perlu
ditegaskan bahwa karya-karya tersebut menjadi bernilai bukan lantaran pesan
itu, melainkan lebih ditentukan oleh kohereni semua unsur intrinsiknya. Pesan
moral hanya merupakan salah satu unsur pembangaun karya fiksi saja. Selain itu,
pesan moral, khususnya kritik sosial, dapat mempengaruhi aktualisasi karya yang
bersangkutan.
Sastra yang
mengandung kritik sosial, juga dapat disebut sastra kritik. Biasanya akan lahir
di tengah masyarakat jika terjadi hal-hal yang kurang beres dalam kehidupan
sosial dan masyarakat. Paling tidak, hal itu ada dalam penglihatan dan dapat
dirasakan oleh pengarang yang berperasaan peka. Pengarang umumnya tampil
sebagai pembela kebenaran dan keadilan, ataupun sifat-sifat luhur kemanusiaan
yang lain. Ia tidak akan diam, dan lewat karangannya itu akan memperjuangkan
hal-hal yang diyakini kebenarannya.
Banyak karya
sastra, jadi tidak hanya fiksi saja, yang memperjuangkan nasib rakyat kecil
yang memang perlu dibela, rakyat kecil yang seperti dipermainkan oleh
tangan-tangan kekuasaan, kekuasaan yang kini lebih berupa kekuatan ekonomi.
Berbagai penderitaan rakyat itu antara lain berupa menjadi korban kesewenangan,
penggusuran, penipuan, atau yang selalu dipandang, diperlakukan, dan diputuskan
sebagai pihak yang selalu di bawah, kalah, dan dikalahkan.
2.3
Bentuk
Penyampaian Moral
Karya sastra
yang merupakan salah satu wujud karya seni yang notabene mengemban tujuan estetik, tentunya mempunyai kekhususan
sendiri dalam hal menyempaikan pesan-pesan moralnya.
Secara umum
dapat dikatakan bahwa bentuk penyampaian moral dalam karya fiksi mungkin
bersifat langsung, atau tak langsung. Namun, sebenarnya pemilahan itu hanya
demi praktisnya saja sebab mungkin saja ada pesan yang bersifat agak langsung.
Dalam sebuah novel sendiri, mungkin sekali ditemukan adanya pesan yang
benar-benar tersembunyi sehingga tak banyak orang yang banyak merasakannya,
namun mungkin pula ada yang agak langsung dan seperti ditonjolkan.
2.3.1
Bentuk
Penyampaian Langsung
Bentuk
penyampaian pesan moral yang bersifat langsung, boleh dikatakan, identik dengan
cara pelukisan watak tokoh yang bersifat uraian, telling, penjelasan, atau ekspository.
Jika dalam teknik uraian pengarang secara langsung mendeskripsikan perwatakan
tokoh cerita yang bersifat “memberi tahu” atau memudahkan pembaca untuk
memahaminya, hal yang demikian juga terjadi dalam penyampian moral. Artinya,
moral yang disampaikan, atau diajarkan, kepada pembaca itu dilakukan secara
langsung dan eksplisit. Pengarang, dalam hal ini, tampak bersifat menggurui
pembaca, secara langsung memberi nasihat dan petuahnya.
Dilihat dari
segi kebutuhan pengarang yang ingin menyampaikan kepada pembaca, teknik
penyampaian langsung dinamakan komunikatif. Artinya, pembaca memang secara
mudah dapat memahami apa yang dimaksud. Pembaca tidak sulit-sulit menafsirkan
sendiri dengan jaminan belum tentu pas.
Karya sastra
adalah karya estetis yang memiliki fungsi untuk menghibur, memberi kenikmatan
emosional dan intelektual. Pesan moral yang bersifat langsung biasanya terasa
dipaksakan dan kurang koherensif dengn unsur-unsur yang lain. Hal itu justru
merendahkan nilai literer karya yang bersangkutan. Hubungan komunikasi yang
terjadi antara pengarang (addresser)
dengan pembaca (addresse) pada
penyampaian pesan dengan cara ini adalah hubungan langsung.
Pengarang è Amanat
è Pembaca
(Adresser) (Message) (Addresse)
Gambar yang
ditunjukkan diatas mengandaikan pesan yang ingin disampaikan itu kurang ada
hubungannya dengan cerita, ia lebih merupakan sesuatu yang diomprengkan dalam
cerita. Jadi, ia merupakan sesuau yang sebenarnya berada di luar unsur cerita
itu sendiri. Pesan langsung dapat juga terlibat dan atau dilibatkan dalam
cerita, tokoh-tokoh cerita, dan pengaluran cerita. Artinya, yang kita hadapi
memang cerita, namun isi ceritanya sendiri sangat terasa tendenius, dan pembaca
pembaca dengan mudah memahami pesan itu. Jika kedua bentuk pesan langsung
tersebut digambarkan, dan hal itu mungkin saja dapat ditemui dalam sebuah
karya, hubungan komunikasi pengarang dan pembaca itu akan terjadi dalam dua
jalur seperti terlihat dalam gambar berikut.
Amanat
Ditafsirkan
oleh
Amanat Amanat
Dituangkan
ke dalam
2.3.2
Bentuk
Penyampaian Tidak Langsung
Bentuk
penyampaian moral yang bersifat tidak langsung, pesan itu hanya tersirat dalam
cerita, berpadu secara koherensif dengan unsur-unsur cerita yang lain. Walau
betul pengarang ingin menawarkan dan menyampaikan sesutu, ia tidak melakukannya
secara serta-merta dan vulgar karena ia sadar telah memilih jalur cerita.
Jika
dibandingkan dengan teknik pelukisan watak tokoh, cara ini sejalan dengan
teknik ragaan, showing. Yang ditampilkan dengan cerita adalah peristiwa,
peristiwa, konflik, sikap, dan tingkah laku para tokoh dalam menghadapi
peristiwa dan konflik itu, baik yang terlihat dalam tingkah laku verbal, fisik,
maupun yang hanya terjadi dalam pikiran dan perasaannya. Melalui berbagai hal
tersebut, pesan moral disampaikan. Sebaliknya, dilihat dari pembaca, jika ingin
memahami dan menafirkan pesan itu, harusnya ia melakukannya berdasarkan cerita,
sikap, dan tingkah laku para tokoh.
Dilihat dari
kebutuhan pengarang yang ingin menyampaikan pesan dan pandangan itu, cara ini
munkin kurang komunikatif. Artinya, pembaca belum tentu dapat menangkap apa
sesungguhnya yang dimaksudkan pengarang, paling tidak memungkinkan terjadinya
kesalahan tafsir berpeluang besar. Namun, hal yang demikian adalah amat wajar,
bahkan merupakan hal yang esensial dalam karya sastra. Berangkat dari sifat
esensial inilah sastra dipandang sebagai kelebihan karya sastra. Hal ini pula
yang menyebabkan karya sastra tidak sering ketinggalan, sanggup melewati batas
waktu dan kebangsaan.
Hubungan yang
terjadi antara pengarang dan pembaca adalah hubungan yang tidak langsung dan
tersirat. Kurang ada pretensi pengarang untuk langsung menggurui pembaca sebab
yang demikian justru tidak efektif disamping juga merendahkan kadar literer
karya yang bersangkutan. Pengarang tidak menganggap pembaca bodoh, dan
sebaliknya pembacapun tidak mau dibodohi pengarang.
Kadar
ketersembunyian dan atau kemencolokan unsur pesan yang ada, dalam banyak hal,
dipakai untuk mempertimbangkan keberhasilan sebuah karya sebagai karya seni.
Dengan demikian, disatu pihak, pengarang berusaha “menyembunyikan” pesan dalam
teks, dalam kepaduannya dengan keseluruhan cerita, dipihal lain, pembaca
berusaha menemukannya lewat teks cerita itu. Keadaan tersebut dapat digambarkan
sebagai berikut (dimodifikasi dari Leech & Short, 1981: 210, dengan sedikit
perubahan maksud.
Amanat
Ditafsirkan
oleh
Amanat Amanat
Dituangkan
ke dalam
No comments:
Post a Comment