Thursday, November 21, 2013

MAKALAH MORAL DALAM FIKSI


BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Unsur Moral dalam Fiksi
2.1.1        Pengertian dan Hakikat Moral
Moral merupakan unsur inti karya sastra. Moral adalah sesuatu yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca, merupakan makna yang terkandung dalam sebuah karya, makna yang disarankan lewat cerita. Moral, kadang-kadang diidentikkan pengertiannya dengan tema, walaupun sebenarnya tidak selalu menyarankan pada bentuk yang sama. Moral dan tema, keduanya merupakan sesuatu yang terkandung, dapat ditafsirkan, dan diambil dari cerita. Namun, tema bersifat lebih kompleks daripada moral, disamping tidak memiliki nilai langsung sebagai saran yang ditunjukkan kepada pembaca. Moral, dengan demikian, dapat dipandang sebagai salah satu wujud tema dalam bentuk yang sederhana, namun tidak semua tema merupakan moral (Kenny, 1966: 89)
Secara umum moral menyaran pada pengertian (ajaran tentang) baik buruk yang diterima mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; akhlak, budi pekerti, susila (KBBI, 1994).
Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal itulah yang ingin disampaikan kepada pembaca. Moral dalam cerita (Kenny (1966: 89), biasanya dimaksudkan sebagai saran yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis, yang dapat diambil dan ditafsirkan lewat cerita oleh pembaca. Ia merupakan “petunjuk” yang sengaja diberikan oleh pengarang tentang berbagai hal yang berhubungan dengan masalah kehidupan, seperti sikap, tingkah laku, dan sopan santun pergaulan.
Melalui cerita, sikap, dan tingkah laku tokoh-tokoh itulah pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah dari pesan-pesan moral yang disampikan, yang diamanatkan. Moral dalam karya satra dipandang sebagai amanat, pesan, massage. Bahkan, unsur amanat itu sebenarnya merupakan gagasan yang mendasari diciptakannya karya sastra sebagai pendukung pesan.
Moral dalam karya sastra, atau hikmah yang diperoleh pembaca lewat karya sastra, selalu dalam pengertian yang baik. Jika dalam sebuah karya ditampilkan sifat atau tingkah laku tokoh yang kurang terpuji atau buruk, maupun protagonis, bukan berarti pengarang menyarankan kepada pembaca untuk bersikap dan bertindak secara demikian. Sikap dan tingkah laku tersebut hanyalah model, yang sengaja ditampilkan justru agar tidak diikuti, atau minimal tidak dicenderungi oleh pembaca. Pembaca diharapkan mengambil hikmah sendiri dari tokoh antagonis itu.

2.1.2        Jenis dan Wujud Pesan Moral
Dalam karya fiksi banyak sekali jenis dan wujud ajaran moral yang dipesankan. Jenis dan wujud pesan moral yang terdapat dalam karya sastra akan bergantung pada keyakinan, keinginan, dan interes pengarang yang bersangkutan. Jenis ajaran moral boleh dikatakan bersifat tidak terbatas. Ia dapat mencakup seluruh persoalan hidup dan kehidupan, seluruh persoalan yang menyangkut harkat dan martabat manusia.
Sebuah novel tentu saja dapat mengandung dan menawarkan pesan moral itu salah satu, dua, atau ketiganya sekaligus, masing-masing dengan wujud detil khususnya. Secara garis besar persoalan hidup dan kehidupan manusia mencakup tiga hal, (1) hubungan manusia dengan diri sendiri, (2) hubungan manusia dengan manusia lain, termasuk hubungan dengan lingkungan alam, dan (3) hubungan manusia dengan Tuhan-Nya.
Persoalan manusia dengan dirinya sendiri dapat bermacam-macam jenis dan intensitasnya. Hal itu tentu saja juga tidak lepas dengan persoalan hubungan antarsesama dengan Tuhan. Misalnya: masalah-masalah seperti eksensi diri, harga diri, percaya diri, takut, maut, rindu, dendam, kesepian, dan lain-lain yang bersifat melibatkan ke dalam diri dan kejiwaan seorang individu.
Masalah-masalah yang berupa hubungan antarmanusia itu antara lain dapat berwujud: persahabatan, kesetiaan, penghianatan, kekeluargaan: hubungan suami-istri, orang tua-anak, hubungan buruh-majikan, cinta tanah air, dan lain-lain yang melibatkan interaksi antarmanusia.
Sedangkan masalah-masalah yang berupa hubungan manusia dengan Tuhannya, misalnya tentang keimanan, ibadah, dosa, dan lain sebagainya.

2.2    Pesan Religius dan Kritik Sosial
Pesan moral yang berwujud religius, termasuk di dalamnya yang bersifat keagamaan, dan kritik sosial banyak ditemukan dalam karya fiksi. Kedua hal tersebut merupakan “lahan” inspirasi bagi para penulis. Hal itu disebabkan karena banyaknya masalah kehidupan yang tidak sesuai dengan yang diharapkan, kemudian mereka mencoba menawarkan sesuatu yang diidealkan.
2.2.1        Pesan Religius dan Keagamaan
Kehadiran unsur relegius dan keagamaan dalam sastra adalah suatu keberadaan sastra itu sendiri. Bahkan sastra tumbuh dari suatu yang bersifat relegius. Pada awal mula segala sastra adalah relegious (Mangunwijaya, 1982: 11). Istilah “relegius” berarti membawa konotasi pada makna agama. Relegius dan agama memang erat dan berkaitan, berdampingan, bahkan dapat melebur dalam kesatuan, namun sebenarnya keduanya menyaran pada makna yang berbeda.
Agama lebih menunjukkan pada kelambagaan kebaktian pada Tuhan dengan hukum-hukum yang resmi. Sedangkan Religiositas, melihat aspek dari lubuk hati, riak getaran nurani pribadi, totalitas kedalaman pribadi manusia. Dengan demikian, religius bersifat mengatasi, lebih dalam, dan lebih luas dari agama yang tampak dormal dan resmi (Mangunwijaya, 1982: 11-12).
Seorang religius adalah orang yang mencoba memahami dan menghayati hidup dan kehidupan ini lebih dari sekedar yang lahiriah saja. Dia tidak terikat pada agama tertentu yang ada di dunia ini. Seorang penganut agama tertentu, Islam misalnya, idealnya sekaligus religius, namun tidak demikian kenyataannya. Banyak penganut agama tertentu, misalnya seperti yang terlihat dalam KTP, namun sikap dan tingkah lakunya tidak religius. Moral religius menjunjung tinggi sifat-sifat manusiawi, hati nurani yang dalam, harkat, dan martabat serta kebebasan pribadi yang dimiliki manusia.
Masalah religius dan keagamaan misalnya dalam cerpen Robohnya Surau Kami, menceritakan kehidupan seseorang penunggu surau yang hanya beribadah melulu dan melupakan urusan dunia, yang akhirnya bunuh diri. Cerpen tersebut ingin menyampaikan pesan keagamaan, bahwa kehidupan dunia-akhirat harus dijalani secara seimbang. Orang boleh saja, dan mesti demikian, beribadah secara sungguh-sungguh dan selalu ingat kepada Tuhan, namun selama masih di dunia, ia tidak akan dapat menghindar dari kebutuhan duniawi.

2.2.2        Pesan Kritik Sosial
Hampir semua novel Indonesia sejak awal pertumbuhannya hingga sekarang ini, boleh dikatakan mengandung unsur pesan kritik sosial walau dengan tingkat intensitas yang berbeda. Wujud kehidupan sosial yang dikritik bermacam-macam seluas lingkup kehidupan sosial itu sendiri. Banyak karya sastra yang bernilai tinggi yang didalamnya menampilkan pesan-pesan kritik sosial.
Namun, perlu ditegaskan bahwa karya-karya tersebut menjadi bernilai bukan lantaran pesan itu, melainkan lebih ditentukan oleh kohereni semua unsur intrinsiknya. Pesan moral hanya merupakan salah satu unsur pembangaun karya fiksi saja. Selain itu, pesan moral, khususnya kritik sosial, dapat mempengaruhi aktualisasi karya yang bersangkutan.
Sastra yang mengandung kritik sosial, juga dapat disebut sastra kritik. Biasanya akan lahir di tengah masyarakat jika terjadi hal-hal yang kurang beres dalam kehidupan sosial dan masyarakat. Paling tidak, hal itu ada dalam penglihatan dan dapat dirasakan oleh pengarang yang berperasaan peka. Pengarang umumnya tampil sebagai pembela kebenaran dan keadilan, ataupun sifat-sifat luhur kemanusiaan yang lain. Ia tidak akan diam, dan lewat karangannya itu akan memperjuangkan hal-hal yang diyakini kebenarannya.
Banyak karya sastra, jadi tidak hanya fiksi saja, yang memperjuangkan nasib rakyat kecil yang memang perlu dibela, rakyat kecil yang seperti dipermainkan oleh tangan-tangan kekuasaan, kekuasaan yang kini lebih berupa kekuatan ekonomi. Berbagai penderitaan rakyat itu antara lain berupa menjadi korban kesewenangan, penggusuran, penipuan, atau yang selalu dipandang, diperlakukan, dan diputuskan sebagai pihak yang selalu di bawah, kalah, dan dikalahkan.

2.3    Bentuk Penyampaian Moral
Karya sastra yang merupakan salah satu wujud karya seni yang notabene mengemban tujuan estetik, tentunya mempunyai kekhususan sendiri dalam hal menyempaikan pesan-pesan moralnya.
Secara umum dapat dikatakan bahwa bentuk penyampaian moral dalam karya fiksi mungkin bersifat langsung, atau tak langsung. Namun, sebenarnya pemilahan itu hanya demi praktisnya saja sebab mungkin saja ada pesan yang bersifat agak langsung. Dalam sebuah novel sendiri, mungkin sekali ditemukan adanya pesan yang benar-benar tersembunyi sehingga tak banyak orang yang banyak merasakannya, namun mungkin pula ada yang agak langsung dan seperti ditonjolkan.

2.3.1        Bentuk Penyampaian Langsung
Bentuk penyampaian pesan moral yang bersifat langsung, boleh dikatakan, identik dengan cara pelukisan watak tokoh yang bersifat uraian, telling, penjelasan, atau ekspository. Jika dalam teknik uraian pengarang secara langsung mendeskripsikan perwatakan tokoh cerita yang bersifat “memberi tahu” atau memudahkan pembaca untuk memahaminya, hal yang demikian juga terjadi dalam penyampian moral. Artinya, moral yang disampaikan, atau diajarkan, kepada pembaca itu dilakukan secara langsung dan eksplisit. Pengarang, dalam hal ini, tampak bersifat menggurui pembaca, secara langsung memberi nasihat dan petuahnya.
Dilihat dari segi kebutuhan pengarang yang ingin menyampaikan kepada pembaca, teknik penyampaian langsung dinamakan komunikatif. Artinya, pembaca memang secara mudah dapat memahami apa yang dimaksud. Pembaca tidak sulit-sulit menafsirkan sendiri dengan jaminan belum tentu pas.
Karya sastra adalah karya estetis yang memiliki fungsi untuk menghibur, memberi kenikmatan emosional dan intelektual. Pesan moral yang bersifat langsung biasanya terasa dipaksakan dan kurang koherensif dengn unsur-unsur yang lain. Hal itu justru merendahkan nilai literer karya yang bersangkutan. Hubungan komunikasi yang terjadi antara pengarang (addresser) dengan pembaca (addresse) pada penyampaian pesan dengan cara ini adalah hubungan langsung.
Pengarang  è  Amanat  è  Pembaca
      (Adresser)      (Message)     (Addresse)
Gambar yang ditunjukkan diatas mengandaikan pesan yang ingin disampaikan itu kurang ada hubungannya dengan cerita, ia lebih merupakan sesuatu yang diomprengkan dalam cerita. Jadi, ia merupakan sesuau yang sebenarnya berada di luar unsur cerita itu sendiri. Pesan langsung dapat juga terlibat dan atau dilibatkan dalam cerita, tokoh-tokoh cerita, dan pengaluran cerita. Artinya, yang kita hadapi memang cerita, namun isi ceritanya sendiri sangat terasa tendenius, dan pembaca pembaca dengan mudah memahami pesan itu. Jika kedua bentuk pesan langsung tersebut digambarkan, dan hal itu mungkin saja dapat ditemui dalam sebuah karya, hubungan komunikasi pengarang dan pembaca itu akan terjadi dalam dua jalur seperti terlihat dalam gambar berikut.
Amanat
Pengarang                                                        Pembaca
                                                                                    Ditafsirkan
                                                                                                                oleh

            Amanat                                               Amanat

Dituangkan
ke dalam
TEKS
2.3.2        Bentuk Penyampaian Tidak Langsung
Bentuk penyampaian moral yang bersifat tidak langsung, pesan itu hanya tersirat dalam cerita, berpadu secara koherensif dengan unsur-unsur cerita yang lain. Walau betul pengarang ingin menawarkan dan menyampaikan sesutu, ia tidak melakukannya secara serta-merta dan vulgar karena ia sadar telah memilih jalur cerita.
Jika dibandingkan dengan teknik pelukisan watak tokoh, cara ini sejalan dengan teknik ragaan, showing. Yang ditampilkan dengan cerita adalah peristiwa, peristiwa, konflik, sikap, dan tingkah laku para tokoh dalam menghadapi peristiwa dan konflik itu, baik yang terlihat dalam tingkah laku verbal, fisik, maupun yang hanya terjadi dalam pikiran dan perasaannya. Melalui berbagai hal tersebut, pesan moral disampaikan. Sebaliknya, dilihat dari pembaca, jika ingin memahami dan menafirkan pesan itu, harusnya ia melakukannya berdasarkan cerita, sikap, dan tingkah laku para tokoh.
Dilihat dari kebutuhan pengarang yang ingin menyampaikan pesan dan pandangan itu, cara ini munkin kurang komunikatif. Artinya, pembaca belum tentu dapat menangkap apa sesungguhnya yang dimaksudkan pengarang, paling tidak memungkinkan terjadinya kesalahan tafsir berpeluang besar. Namun, hal yang demikian adalah amat wajar, bahkan merupakan hal yang esensial dalam karya sastra. Berangkat dari sifat esensial inilah sastra dipandang sebagai kelebihan karya sastra. Hal ini pula yang menyebabkan karya sastra tidak sering ketinggalan, sanggup melewati batas waktu dan kebangsaan.
Hubungan yang terjadi antara pengarang dan pembaca adalah hubungan yang tidak langsung dan tersirat. Kurang ada pretensi pengarang untuk langsung menggurui pembaca sebab yang demikian justru tidak efektif disamping juga merendahkan kadar literer karya yang bersangkutan. Pengarang tidak menganggap pembaca bodoh, dan sebaliknya pembacapun tidak mau dibodohi pengarang.
Kadar ketersembunyian dan atau kemencolokan unsur pesan yang ada, dalam banyak hal, dipakai untuk mempertimbangkan keberhasilan sebuah karya sebagai karya seni. Dengan demikian, disatu pihak, pengarang berusaha “menyembunyikan” pesan dalam teks, dalam kepaduannya dengan keseluruhan cerita, dipihal lain, pembaca berusaha menemukannya lewat teks cerita itu. Keadaan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut (dimodifikasi dari Leech & Short, 1981: 210, dengan sedikit perubahan maksud.
Amanat
Pengarang                                                        Pembaca
                                                                                    Ditafsirkan
                                                                                                                oleh
                              
            Amanat                                               Amanat

Dituangkan
ke dalam
TEKS

No comments:

Post a Comment