BAHASA
MAKALAH
Untuk
Memenuhi Tugas Mata Kuliah Apresiasi Prosa Fiksi
Dosen Pengampu :
Syamsun, M.A.
Oleh
Irna Ardiana
NIM : 5.11.06.13.0.008
PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS ISLAM MAJAPAHIT
MOJOKERTO
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Bentuk-bentuk
sastra seperti dongeng, drama, dan sajak-sajak ternyata cepat dikenali
anak-anak. Pada usia muda mereka mulai mengenali sifat-sifat “sastra” serta
unsur-unsur yang dengan teratur selalu muncul kembali. Mereka mengenal puisi
dalam bentuki rima, sajak dolanan anak-anak, dan lagu-lagu. Anak-anak balita
suka bercerita dan lebih suka lagi mendengarkan sebuah cerita atau dongeng. Dari
televisi mereka mengenal sebuah bentuk campuran antara cerita dan drama. Mereka
sendiri juga diajak bermain drama atau pentas untuk anak-anak, dan khusus di
pulau Jawa mereka berkenalan dengan dunia wayang dan watak-watak tertentu. Dan
kemudian hari mereka belajar membedakan antara cerita fiksi dan laporan
peristiwa yang sungguh-sungguh terjadi.
Pada suatu saat
mereka berkenalan dengan sastra yang sesungguhnya yang rupanya sangat dihargai
oleh para orang tua dan para pendidik di sekolah-sekolah di negeri Belanda yang
mengikuti kurikulum tradisional, peralihan ke sastra sungguh-sunguh sering
kali terjadi dengan mendadak. Di SMTP mereka belajar membaca dengan baik. Lalu di SMTA dengan mendadak mereka
dihadapkan dengan sastra. Dalam kurikulum modern pengajaran sastra
sering merupakan bagian dari pengajaran bahasa dan pengkajian teks.
Dalam bab ini
penulis berusaha menerangkan bahwa memang masuk akal untuk memberikan tempat
tersendiri bagi sekelompok teks yang dapat kita namakan prosa fiksi. Untuk
menjelaskan seringkas-ringkasnya tentang bahasa dan unsur moral dalam prosa
fiksi. Oleh karena itu penulis
berpendapat bahwa pengajaran tentang bahasa yang ada dalam prosa fiksi perlu
diberikan secara tersendiri, tetapi ada juga alasan untuk membaurkan pengajaran
bahasa dan pengajaran santra.
Dengan demikian
penulis juga berharap agar para pembaca materi tentang bahasa yang ada dalam
prosa fiksi yang akan diberikan dalam makalah ini dapat mengerti tentang bahasa
secara garis besar dan dapat merujuk ke pengetahuan yang lebih dalam lagi.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas,
maka permasalahannya adalah :
1.2.1
Apa yang dimaksud dengan Bahasa?
1.2.1.1 Apa yang dimaksud dengan Bahasa Sastra?
1.2.2
Apa yang dimaksud dengan Bahasa Sebagai Unsur
Fiksi?
1.2.2.1 Apa yang dimaksud dengan Bahasa
Sastra Sebuah Fenomena?
1.2.2.2 Apa yang dimaksud dengan Stile
dan Stilistika?
1.2.2.3 Apa yang dimaksud dengan Nada
dan Stile?
1.2.3
Apa yang dimaksud dengan Unsur Stile?
1.2.3.1 Apa yang dimaksud dengan Unsur
Leksikal?
1.2.3.2 Apa yang dimaksud dengan Unsur
Gramatikal?
1.2.3.3 Apa yang dimaksud dengan Unsur
Gaya dalam Karya Fiksi?
1.2.3.4 Apa yang dimaksud dengan Retorika?
1.2.3.5 Apa
yang dimaksud dengan Kohesi?
1.2.4
Apa yang dimaksud dengan Percakapan Dalam Fiksi?
1.2.4.1 Apa yang dimaksud dengan Narasi
dan Dialog?
1.2.4.2 Apa yang dimaksud dengan Unsur
Pragmatik Dalam Percakapan?
1.2.4.3 Apa yang dimaksud dengan Tindak
Ujar?
1.3 Tujuan Pembahasan
Berdasarkan
rumusan masalah diatas, maka tujuan pembahasan ini adalah:
1.3.1
Mendeskripsikan tentang Bahasa.
1.3.1.1 Mendeskripsikan
tentang Bahasa Sastra.
1.3.2
Mendeskripsikan tentang
Bahasa Sebagai Unsur Fiksi.
1.3.2.1 Mendeskripsikan tentang Bahasa
Sastra Sebuah Fenomena.
1.3.2.2 Mendeskripsikan tentang Stile
dan Stilistika.
1.3.2.3 Mendeskripsikan tentang Stile
dan Nada.
1.3.3
Mendeskripsikan tentang
Unsur Stile.
1.3.3.1 Mendeskripsikan tentang Unsur
Leksikal.
1.3.3.2 Mendeskripsikan tentang Unsur
Gramatikal.
1.3.3.3 Mendeskripsikan tentang Unsur
Gaya dalam Karya Fiksi.
1.3.3.4 Mendeskripsikan tentang Retorika.
1.3.3.5 Mendeskripsikan
tentang Kohesi.
1.3.4
Mendeskripsikan tentang Percakapan Dalam Fiksi.
13.3.1 Mendeskripsikan tentang Narsi
dan Dialog.
13.3.2 Mendeskripsikan tentang Unsur
Pragmatik Dalam Percakapan.
13.3.3 Mendeskripsikan tentang Tindak
Ujar.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Bahasa.
Bahasa
merupakan salah satu pranata manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Pranata
bukanlah bahan dasar untuk bermasyarakat, melainkan hasil kehidupan
bermasyarakat. Pranata dapat berubah di bawah tekanan berbagai kebutuhan dan di
bawah pengaruh masyarakat lain (Martiner, 1987:21). Demikian juga bahasa dapat
berubah di bawah tekanan berbagai kebutuhan dan di bawah pengaruh masyarakat
lain.
Bahasa
merupakan sarana penting untuk dapat berhubungan dengan orang lain. Bahasa juga
dapat dipandang berguna sebagai penunjang pemakaian. Selain itu, bahasa juga
berguna untuk mengungkapkan diri. Artinya untuk mengkaji apa yang dirasakan
oleh manusia tanpa memperhatikan samasekali reaksi pendengarannya yang mungkin
muncul. Hal itu dapat dipertegas melalui pemandangan matanya atau
gerakan-gerakan anggota tubuh yang lain (Martinet, 1987: 22).
Bahasa
merupakan tata nama yang berupa daftar kata. Hal itu muncul berdasarkan gagasan
sederhana bahwa dunia berikut isinya diatur sesuai dengan pandangan manusia.
Masing-masing daftar kata itu mau tidak mau menerima satu sebutan di dalam
setiap bahasa. Karena itu, bahasa adalah deretan kata-kata yang digunakan oleh
suatu bangsa untuk mngungkapkan keinginan atau maksudnya (Al_Ghulayaini, 1973:
4).
Dengan
demikian, bahasa mempunyai fungsi ganda, yaitu fungsi komunikasi dan fungsi
ekspresif. Selain itu, setiap bahasa juga mempunyai artikulasi yang
bermacam-macam sesuai dengan pengalaman bangsanya (Martined, 1987: 25-26).
2.1.1 Bahasa
Sastra.
Bahasa
merupakan bahan baku kesusastraan, seperti batu dan tembaga untuk semi patung,
cat untuk lukisan, dan lain-lain. Perlu disadari bahwa bahasa bukan benda mati
seperti batu, tembaga, dan cat, melainkan ciptaan manusia yang mempunyai muatan
budaya dan linguistik dari kelompok pemakai bahasa tertentu (Wellek dan Austin
Warren, 1990: 14). Bahasa sastra adalah bahasa yang dapat memengaruhi, membujuk
dan pada akhirnya memikat pembacanya. Bahasa sastra merupkan bahasa yang khas,
khususnya puisi yang dipandang menunjukkan penggunaan bahasa yang spesial.
Penggunan bahasa dalam sastra dipandang menyimpang dari bahasa sehari-hari
(Teeuw, 1984:70). Dengan perkataan lain, bahasa sastra memiliki ciri-ciri
sebagai berikut:
(a) Bahasa
sastra penuh dengan ambiguitas (ketaksaan).
(b) Bahasa
sastra penuh dengan homonim .
(c) Bahasa
sastra memiliki kategori-kategori yang tak beraturan, tak rasional, seperti
gender (jenis kata yang mengacu pada jenis kelamin dalam tata bahasa).
(d) Bahasa
sastra penuh dengan asosiasi dan mengacu pada ungkapan atau karya yang diciptakan
sebelumnya. Dengan kata lain, bahasa sastra sangat “konotatif” sifatnya.
(e) Bahasa
sastra mempunyai fungsi ekspresif, menunjukkan nada (tone), dan menunjukkan
sikap pembicara atau penulisannya.
(f) Bahasa
sastra berusaha memengaruhi, membujuk, dan pada akhirnya mengubah sikap
pembaca.
(g) Bahasa
sastra mementingkan tanda.
2.2 Bahasa
Sebagai Unsur Fiksi.
Bahasa adalah
seni sastra yang dapat disamakan dengan cat dalam seni lukis. Keduanya
merupakan unsur bahan, alat, sarana, yang diolah untuk dijadikan sebuah karya
yang mengandung “nilai lebih” daripada sekedar bahannya itu sendiri. Bahasa
merupakan sarana pengungkapan sastra. Sastra, khususnya fiksi, di samping
sering disebut dunia dalam kemungkinan, juga dikatakan sebagai dunia dalam
kata. Hal ini disebabkan dunia yang menciptakan, dibangun, ditawarkan sekaligus
ditafsirkan lewat kata-kata, lewat bahasa.. apapun yang akan dikatakan
pengarang atau sebaliknya ditafsirkan oleh pembaca dan harus bersangkut paut
dengan bahasa.
Bahasa sebagai
sarana mengungkapkan sastra. Di pihak lain sastra lebih dari sekadar bahasa,
deretan kata atau kalimat, namun unsur kelebihannya itupun hanya dapat
diungkapkan dan ditafsirkan memulai bahasa. Jika sastra dikatakan ingin
menyampaikan sesuatu, mendialogkan sesuatu, sesuatu tersebut hanya dapat
dikomunikasikan lewat sarana bahasa. Fungsi utama bahasa adalah fungsi
komunikatif (Nurgiantoro, 1993: 1). Ibarat kacang dan kulitnya, sastra dan
bahasa tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
2.2.1
Bahasa Sastra Sebuah
Fenomena.
Pada
umumnya orang beranggapan bahwa bahasa sastra berbeda dengan bahasa nonsastra,
bahasa yang dipergunakan bukan dalam tujuan pengucapan sastra. Namun
perbedaannya itu sendiri tidak bersifat mutlak, atau bahkan sulit
diidentifikasikan. Bagaimanapun perlu diakui eksistensinya, keberadaannya sebab
tidak dapat disangkal lagi. Bahasa sastra mungkin dicirikan sebagai bahasa
(yang mengandung unsur) emotif dan bersifat konotatif, sebagai kebalikan bahasa
non sastra. Ciri adanya unsur pikiran bukan monopoli bahasa nonsastra, bukan
pula sebaliknya unsur emotif juga bukan monopoli bahasa sastra. Unsur pikiran
dan perasaan akan sama-sama terlihat dalam berbagai ragam penggunaan bahasa.
Demikian
pula halnya dengan makna denotatif dan konotatif. Bahasa sastra tidak mungkin
secara mutlak menyaran pada makna konotatif tanpa melibatkan makna denotative.
Penuturan yang demikian akan tidak memberi peluang kepada pembaca untuk
memahaminya.
Bahasa
sastra menurut kaum formalis Rusia adalah bahasa yang mempunyai ciri deotomatisasi,
penyimpangan dari cara penuturan yang telah bersifat otomatis, rutin, biasa, dan wajar. Penyimpangan dalam
bahasa sastra dapat dilihat secara sinkronik, yang berupa penyimpangan dari
bahasa sehari-hari, dan secara deakronik yang berupa penyimpangan dari karya
sastra sebelumnya. Pengarang melakukan penyimpangan kebahasaan, tentunya bukan
semata-mata bertujuan ingin aneh, lain daripada yang lain, melainkan
dimaksudkan untuk memeroleh efek keindahan yang lain disamping juga ingin
mengedepankan. Apa yang dikemukakan diatas betapa tidak mudahnya untuk
mencirikan bahasa sastra walau kita sendiri mengakui eksisitensinya. Bagaimanapun
juga pencirian haruslah berdasarkan diri dan mempertimbangkan konteks di
samping juga ciri-ciri struktur kebahasaan, dan gaya bahasa yang terdapat pada
karya yang bersangkutan.
2.2.2
Stile dan Stilistika.
A. Stile
dan Hakikat Stile
Stile adalah cara mengungkapkan bahasa
dalam bahasa prosa, stile di tandai oleh ciri-ciri formal kebahasaan seperti
pilihan kata, struktur kalimat, bentuk-entuk bahasa figuratif. Makna stile
menurut Leech & Short (1981: 10), suatu hal yang pada umumnya tidak lagi
mengandung sifat controversial, menyaran pada pengertian cara penggunaan bahasa
dalam teks tertentu, oleh pengarang tertentu untuk tujuan tertentu dan
sebagainya.
Stile pada hakikatnya merupakan teknik,
teknik pemilihan ungkapan kebahasaan yang dirasa dapat mewakili sesuatu yang
akan diungkapkan. Stile dalam masalah struktur lahir bentuk ungkapan
kebahasaan, seperti yang terlihat di novel merupakan bentuk peformansi
kebahasaan seseorang pengarang, ia merupakan pernyataan lahiriah dari sesuatu
yang bersifat batiniah. Jika hal itu dikaitkan dengan teori kabahasaanya
Saussure, yang membedakan antara langue dengan parole, stile
merupakan suatu bentuk parole. Langue merupakan sisitem kaidah yang berlaku
dalam suatu bahasa, sedangkan parole merupakan penggunaan dan perwujudan sistem,
selesi tehadap sistem yang dapat dipergunakan oleh penutur sesuai dengan konteks dan atau situasi.
Parole adalah bentuk performasi kebahasaan yang telah melewati proses seleksi
dari keseluruhan bentuk kebahasaan. Membaca baris-baris kalimat sebuah novel
berarti kita berhadapan dengan struktur lahir, dengan bentuk performasi
kebahasaan pengarang. Dengan demikian, berdasarkan teori Chomsky stile tidak
lain adalah struktur lahir.
B. Stilistika
dan Hakikat Stilistika.
Stalistika menyaran pada pengertian
studi tentang stile (Lecch & Short, 1981: 13), kajian terhadap performansi
kebahasaan. Kajian stilistika sebenarnya dapat ditujukan terhadap berbagai
ragam penggunaan bahasa, tidak terbatas pada sastra saja (Chapaman, 1973: 13).
Stilistika kesastraan merupakan sebuah
analisis stile teks kesastraan yang bersifat objektif dan ilmiah. Analisis
dilakukan dengan mengkaji berbagai bentuk tanda-tanda linguistik yang dipergunakan
seperti terlihat seperti struktur lahir.
Kajian stalistika juga dimaksudkan untuk
menunjukkan hubungan antara apresiasi estetis (perhatian kritikus) di satu
dengan deskripsi linguistik di pihak lain. Ada kelompok yang berpandangan bahwa
stile merupakan cara menulis, cara berekspresi, dan membedakannya dengan unsur
dengan unsur isi disebut aliran dualisme. Sebaliknya, kelompok yang tidak
membedakan unsur bentuk dan isi serta memandang keduanya sebagai satu kesatuan
bentuk dan isi disebut aliran monoisme ( Lecch & Short, 1981: 15).
Aliran dualisme memandang stile sebagai
dress of thought, bungkus pikiran, atau sebagai manner of exspression,
cara berekspresi, dan karenanya dapat dipisahkan dan dibedakan dengan isi. Isi
yang sama dapat di ekspresikan dengan berbagai bentuk. Jadi bentuk mempengaruhi
isi, dan isi menentukan bentuk. Pendekatan pluralism mendasarkan diri pada fungsi
bahasa.
Analisis stalistika, metode kuantitatif
berbagai tanda linguistik yang terwujud dalam bentuk ungkapan bahasa fiksi,
seperti dikemukakan di atas, menjadi sarana pembentuk stile dan hal itulah yang
menjadi objek analisis stilistika.
Analisis
stalistika menurut Wellek & Warren
(1956:180), dapat dilakukan melalui du cara. Pertma, ia mulai dengan analisis
secara sistematik terhadap sistem dan melalui tanda-tanda linguistikdan
kenudian menginterpretasikannya sebagai satu keseluruhan makna, kedua, bukan
analisi dilakukan debgan mengkaji semua bentuk linguistik yang menyimpang dari
sistem yang berlaku umum.
2.2.3
Stile dan Nada.
Nada pengarang
adalah sebagai pendirian atau sikap yang diambil pengarang terhadap pembaca dan
terhadap masalah yang dikemukakan (Leech & Short, 1981: 280). Kenny
mengemukakan bahwa stile adalah sarana, sedangkan nada adalah tujuan dan
konstribusi dari stile adalah untuk membangkitkan nada (Kenny, 1966: 57).
Nada memang ada
hubungannya dengan intonasi, lagu dan tekanan kalimat, walau dalam bahasa tulis
sekalipun. Orang yang membaca novel walau dalam hati akan memberikan intonasi
secara berbeda terhadap kalimat-kalimat dengan ekspresi yang berbeda pula.
Misalya, berhadapan dengan kalimat pernyataan atau berita tentu akan
diintonasikan secara berbeda dengan kalimat Tanya.
2.3
Unsur Stile
Stile sebuah
novel, yang berupa wujud pengungkapan bahasa seperti dikemukakan di atas, mencakup
seluruh penggunaan unsur bahasa dalam novel itu termasuk unsur grafologisnya.
Unsur stile demikian berupa berbagai unsur yang mendukung terwujudnya bentuk
lahir pengungkapan bahasa tersebut.
Kajian stile
sebuah novel biasanya dilakukan dengan menganalisis unsur-unsurnya, khususnya
untuk mengetahui masing-masing unsur untuk mencapai efek estetis dan unsur apa
saja yang dominan. Kajian stile yang tanpa disertai analisis unsur-unsur
merupakan kajian secara holistik dan bersifat impresionalistik.
Abrams (1981:
193) mengemukakan bahwa unsure stile, ia menyebutnya dengan istilah stylistics
features yang terdiri dari unsure fonologi, sintaksis, leksikal, retorika
(berupa katrakteristik penggunaan bahasa figuratif, pencitraan, dan
sebagainya). Analisis unsur stile, misalnya dilakukan dengan mengidentifikasi
masing-masing unsure dengan tanpa mengabaikan konteks, menghitung frekuensi
kemunculannya, menjumlahkan, dan kemudian menafsirkan dan
mendeskripsikankontribusinya bagi stile karya fiksi secara keseluruhan.
2.3.1
Unsur Leksikal.
Unsur leksikal
sama pengertiannya dengan unsur diksi, yaitu mengacu pada penggunaan kata-kata
tertentu yang sengaja oleh pengarang. Mengingat dari segi makna, yaitu apakah
diksi mampu mengkomunikasikan makna, pesan, dan mampu mengungkapkan gagasan
seperti dimaksudkan oleh pengarang. Masalah pembinaan kata menurut Chapman (1973:
61), dapat melalui pertimbangan-pertimbangan formal tertentu.
Pilihan kata
juga behubungan dengan masalah sintagmatik dan paradigmatic. Sigamatik
berkaitan dengan hubungan antar kata secara linier untuk membentuk sebuah
kalimat. Bentuk-bentuk kalimat yang diinginkan dan disusun, misalnya sederhana
, lazim, unik, atau lain dari yang lain dalam hal yang akan mempengaruhi kata
khususnya bentuk kata. Dalam hal ini mestinya pengarang memilih kata yang
berkonotasi paling tepat untuk mengungkapkan gagasannya, yang mampu
membangkitkan asosiasi tertentu walau kata yang dipilihnya itu mungkin dari
bahasa lain.
2.3.2
Unsur Gramatikal.
Unsur gramatikal yang dimaksud menyaran
pada pengertian struktur kalimat. Dalam kegiatan komunikasi bahasa, juga jika
dilihat dari kepentingan stile, kalimat lebih penting dan bermakna daripada
sekedar kata walau kegayaan kalimat dalam banyak hal juga banyak dipengaruhi
oleh pilihan katanya. Sebuah gagasan, pesan dapat diungkapkan ke dalam berbagai
bentuk kalimat yang berbeda-beda struktur dan kosa katanya. Penggunaan bentuk
struktur kalimat tertentu apakah mempunayai efek tertentu bagi karya yang
bersangkutan, baik efek yang bersifat estetis maupun dalam hal pemyampaian
pesan. Apakah struktur kalimat itu lebih memperjelas makna yang ingin
disampaikan, adakah penekanan terhadap makna tertentu, dan sebagainya
Dalam sastra
pengarang mempunyai kebebasan bahasa penuh dalam mengkreasikan bahasa, adanya
berbagai bentuk penyimpangan kebahasaan, termasuk penyimpangan struktur kalimat
merupakan hal yang wajar dan sering terjadi. Penyimpangan struktur kalimat itu
sendiri dapat bermacam-macam wujudnya, mungkin berupa pembalikan, pemendekan,
pengulangan, penghilangan unsur tertentu. Yang kesemuanya tentu dimaksudkan
untuk mendapatkan efek estetis tertentu disamping juga untuk menekankan pesan
tertentu.
Kegiatan
analisis kalimat disamping berdasarkan bentuk-bentuk penyimpangan dapat
dilakukan dengan melalui cara diambil sebagian maupun seluruhnya, bahkan jika
dipandang perlu dapat ditambah unsur lain.
2.3.3
Unsur Gaya dalam Karya
Fiksi
Istilah gaya
diangkat dari istilah style yang berasal dari bahasa Latin stilus dan
mengandung arti leksikal “alat untuk menulis”. Dalam karya sastra istilah
gaya mengandung pengertian cara orang pengarang menyampaikan gagasannya
dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan
makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca.
Sejalan dengan uraian
pengertian gaya di atas, Scharbach menyebut gaya “sebagai hiasan, sebagai
sesuatu yang suci, sebagai sesuatu yang indah dan lemah gemulai serta sebagai
perwujudan manusia itu sendiri”.
Bila
berbicara tentang masalah gaya, pada akhirnya kita memang tidak dapat terlepas
dari pembicaraan tentang masalah media yang berupa kata dan kalimat, masalah
yang berhubugan dengan gaya itu sendiri baik dengan kandungan makna dan nuansa
maupun keindahan-keindahannya, serta seluk-beluk ekspresi pengarangnya sendiri
yang akan berhubungan erat dengan masalah individual kepengarangan maupun
konteks sosial-masyarakat yang melatarbelakanginya. Beberapa masalah di atas
dapat diuraikan sebagai berikut.
a)
Unsur-unsur gaya dalam
prosa fiksi
(1) pilihan kata dari setiap pengarang, (2) penataan
kata dan kalimatnya, dan (3) nuansa makna serta suasana penuturan yang
ditampilkannya. Ketiga pernyataan tersebut jika digunakan untuk memahami ketiga
bacaan yang berbeda yaitu karangan narasi yang berbahasa biasa, karangan narasi
yang berbahasa dan penataan kata yang istimewa, dan yang bahasanya bergaya
seperti repetisi maka hasilnya akan berbeda-beda.
Walaupun berbeda, pada dasarnya sejalan dengan
masalah unsur gaya yang terdapat dalam suatu cipta sastra yang akan melibatkan
masalah (1) unsur-unsur kebahasaan berupa kata dan kalimat serta, (2) alat gaya
yang melibatkan masalah kiasan, seperti metafor, metonimi, simbolik, dan majas
yang melibatkan masalah majas kata seperti litotes, hiperbola, maupun
eufimisme; majas kalimat seperti asidenton, klimaks, antiklimaks, paralelisme
dan lain-lain; dan majas bunyi seperti anafora, epifora, pleonasme dan
lain-lain. Masalah kiasan dan majas yang umumnya termasuk dalam masalah gaya
bahasa ini tentunya sudah kita kenal sewaktu di SLTA.
b)
Hubungan gaya dengan
ekspresi pengarang
Gaya adalah perwujudan diri dari pengarangnya. Gaya
bahasa kajian dapat mengungkapkan kebolehan menyampaikan isi dengan unsur-unsur
bahasa yang menarik dan khalayak dapat memahaminya. Dengan kata lain, gaya pada
dasarnya berhubungan erat dengan cara seorang pengarang dalam menampilkan
gagasan-gagasannya. Penampilan atau pengekspresian gagasan itu lebih lanjut
terwujud dalam bentuk gaya bahasa dengan keanekaragamannya. Jika dibandingkan,
hubungan gaya bahasa dengan ekspresi itu dapat digambarkan sebagai berikut:
Dari
bagan di atas, dapat dijelaskan bahwa gaya adalah cara seorang pengarang
menyampaikan gagasannya lewat bahasa sehinga dapat mewujudkan bahasa yang indah
dan harmonis meliputi aspek (1) pengarang, (2) ekspresi, (3) gaya bahasa. Sebab
ituah ada pendapat yang menjelaskan behwa gaya adalah orang-orangnya atau
pengarangnya karena lewat gaya kita dapat mengenal bagaimana sikap dan endapan
pengetahuan, pengalaman, dan gagasan pengarangnya.
Gaya
sangat berhubungan erat dengan ekspresi karena jika gaya adalah cara atau alat
seorang pengarang utuk mewujudkan gagasannya, maka ekspresi adalah proses atau
kegiatan perwujudan gagasan itu sendiri. Sebab itulah gaya dapat juga disebut
sebagai cara, teknik maupun bentuk pengekspresian suatu gagasan.
Dari
paparan di atas dapat juga disimpulkan bahwa gaya berkaitan erat dengan gagasan
yang disampaikan pengarangnya. Jika gaya adalah alat dan cara, ekspresi adalah
kegiatan penyampaian, maka gagasan adalah isi atau sumber dari keseluruhannya. Dengan
demikian maka jelas bahwa ada saling pengaruh antara gaya dengan gagasan yang
disampaikan pengarangnya.
2.3.4
Retorika.
Retorika merupakan suatu cara penggunaan
bahasa untuk memperoleh efek estetis yang dapat diperoleh melalui kreativitas
pengungkapan bahasa, yaitu bagaimana pengarang menyiasati bahasa sebagai sarana
untuk mengungkapkan gagasannya.
Retorika
sebenarnya berkaitan dengan pendayagunaan semua unsur bahasa, baik yang
menyangkut masalah pilihan kata dan ungkapan, struktur kalimat, segmentase,
penyusunan dan penggunaan bahasa kias, pemanfaatan bentuk citraan, dan
lain-lain.
Pembicaraan
unsur retorika meliputi bentuk-bentuk pemajasan, penyiasatan struktur dan
pencitraan.
a) Pemajasan
(figure of thought)
Merupakan teknik pengungkapan bahasa, penggayabahasaan,
yang maknanya tidak menunjuk pada makna harfiah kta-kata yag mendukungnya,
melainkan pada makna yang ditambahkan, makna yang tersirat. Jadi ia merupakan
gaya sengaja mendayagunakan penuturan dengan memanfaatkan bahasa kias.
Goris Keraf (1981) membedakan gaya
bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna kedalam dua kelompok: (1) gaya
bahasa retoris dan kiasan. Gaya retoris yaitu gaya bahasa yang maknanya harus
diartikan menurut nilai lahirnya. Bahasa yang dipergunakan adalah bahasa yang
mengandung kelangsungan makna. (2) gaya bahasa kias adalah bahasa yang maknanya
tidak dapat ditafsirkan sesuai dengan makna kata-kata dan bentuknya.
Bentuk-bentuk pemajasan yang sering digunakan
pengarang adalah bentuk perbandingan, yaitu membandingkan sesuatu dengan yang
lain melalui ciri-ciri kesamaan antara keduanya, misalnya berupa ciri fisik,
sifat, sikap, keadaan, suasana, tingkah laku, dan sebagainya. Bentuk-bentuk
perbandingan tersebut dapat dilihat dari sikap kelangsungan pembandingan
persamaannya dapat dibedakan ke dalam bentuk simile, metafora, dan
personifikasi.
b) Penyiasatan
Struktur
Ada bermacam gaya bahasa yang terlahir
dari penyiasatan struktur kalimat. Salah satu gaya yang banyak dipergunakan
orang adalah yang berangkat dari bentuk pengulangan, baik yang berupa
pengulangan kata, bentukan kata, frase, kalimat, maupun bentuk-bentuk yang
lain, misalnya gaya repitisi, paralelisme, anaphora, polisidenton, dn
asindenton, sedangkan bentuk-bentuk yang lain misalnya alitrasi, antitesis,
klimaks, antiklimaks, dan pertanyaan retoris.
c) Pencitraan
Pencitraan merupakan suatu gaya
penuturan yang banyak dimanfaatkan dalam penulisan sastra. Ia dapat
dipergunakan untuk mengkonkretkan pengungkapan gagasan-gagasan yang sebenarnya
abstrak melalui kata-kata dan ungkapan yang mudah mambangkitkan tanggapan
imajinasi. Dengan daya tanggapan indera imajinasinya, pembaca akan dapat dengan
mudah membayangkan, merasakan, dan menangkap pesan yang ingin disampaikan
pengarang.
2.3.5
Kohesi
Kohesi
adalah keserasian hubungan antara unsur yang satu dengan unsur yang lain
sehingga tercipta susunan kata yang bagus, sedap di dengar dan dibaca. Dalam bahasa,
kohesi merujuk pada perpaduan dan keserasian dalam memilih kata dan
menyambungkan kalimat. Dimana semua unsur lahir dalam penggalan teks tersebut
terpadu, baik secara leksikal maupun gramatikal.
Antara
bagian kalimat yang satu dengan bagian yang lain, yang satu dengan yang lain,
terdapat hubungan yang bersifat mangaitkan antarbagian kalimat atau kalimat
itu. Penanda kohesi yang berupa sambungan dalam bahasa Indonesia ada banyak
sekali dan berbeda-beda fungsinya. Ia dapat berupa kata-kata seperti: “dan,
kemudian, sedang, tetapi, namun, melainkan, bahwa, sebab, jika, maka”, dan
sebagainya yang menghubungkan antarbagian kalimat, sebagai preposisi ataupun
konjungsi. Penanda kohesi yang menghubungkan antarkalimat biasanya berupa kata
atau kelompok kata seperti: jadi, dengan demikian, akan tetapi, oleh karena
itu, di samping itu”, dan sebagainya
2.4
Percakapan Dalam Fiksi.
Dalam novel,
percakapan terjadi setiap saat sebagaimana pandangan penulis terhadap kenyataan
atau imajinasi yang dinyatakan sehingga menimbulkan suatu keanekaragaman tindak
tutur, tindak bahasa, dan lain-lain. Disini penuturan dibagi menjadi dua yaitu
penuturan langsung dan tidak langsung.
2.4.1 Narasi
dan Dialog.
Gaya dialog
dapat memberikan kesan realistis, sungguh, dan memberi penekanan terhadap
cerita, atau kejadian yang dituturkan dengan gaya narasi. Sebaliknya gaya
dialog pun hanya akan terasa hidup dan terpahami dalam konteks situasi yang
dicipta dan dikisahkan lewat gaya narasi.
2.4.2 Unsur
Pragmatik Dalam Percakapan.
Istilah pragmatik itu sendiri diartikan
beberapa pengertian yang berbeda, namun intinya adalah mengacu pada telaah
penggunaan bahasa yang mencerminkan kenyataan. Makna sebuah percakapan dalam
banyak hal lebih ditentukan oleh konteks pragmatiknya, dan hal itu tidak di
ungkapkan langsung dengan unsur bahasa, melainkan hanya lewat kode-kodetertent
(budaya) yang menjadi milik pembaca.
Pemahaman
terhadap percakapan seperti tersebut dalam konteks pragmatik disebut
implikatur. konsep implikatur merupakan hal yang esensial dalam pragmatik
implikatur merupakan sebuah contoh pragmatik dari hakikat dan kekuatan
penjelasan pragmatik terhadap fenomena linguistik. Ia memberikan penafsiran pragmatis
yang mampu melewati dan menembus batas-batas struktur linguistik.
Percakapan yang
hidup dan wajar, walau itu terdapat dalam sebuah novel, adalah percakapan yang
sesuai dengan konteks pemakaiannya, percakapan yang mirip dengan situasi nyata
penggunaan bahasa. Bentuk percakapan yang demikian bersifat pragmatik.
Pemahaman terhadap percakapan seperti konteks pragmatik disebut implikatur
(implicature, yang sebenarnya merupakan kepekaan dari conversational
implicature, ‘implikatur percakapan’) (Levinson, 1984: 94-100).
2.4.3 Tindak
Ujar.
Bentuk penampilan tindak ujar dapat diketahui
dari makna kalimat yang bersangkutan, namun sering juga pembicara menekannya
dalam wujud kata kerja tertentu. Misalnya ucapan, “datanglah kemari“ ditegaskan
menjadi “saya mengharapmu datang kemari” berupa kalimat perintah, ”maukah
kaundatang kemari” kalimat pernyataan. Bentuk-bentuk penampilan yang berupa
perintah, tanya, dan pernyataan, inilah yang disebut tindak ujar.
Austin membedakan
penampilan tindak ujar ke dalam tiga macam tindak. Yaitu, lokusi, ilokusi, dan
perlokusi. Tindak bahasa lokusi adalah suatu bentuk ujaran yang
mengandung makna adanya hubungan antara subjek dengan predikat, pokok dengan
sebutan, atau antara topik dengan penjelasan. Ilokusi merupakan
bentuk-bentuk ujaran yang dibedakan berdasarkan intonasi kalimat. Tindak
perlokusi merupakan suatu pengucapan menyaran pada makna yang lebih dalam.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Bahasa dalam masyarakat
umum sangat berbeda dengan bahasa yang ada dalam prosa. Walaupun secara
tertulis itu sama, akan tetapi sangat berbeda dengan maksud yang akan dituju.
Secara tidak langung pengarang berpikiran yang tidak sama dengan pembaca. Oleh
karena itu setiap penganalisisan karya sastra khususnya prosa fiksi, pasti
derlu adanya analisis bahasa sebelum diterjunkan ke layar lebar.
Dalam bahasa
sastra juga perlu terdapat unsur keindahan agar pembaca tertarik untuk
membacanya. Jika bahasa yang digunakan bagus atau menarik, apalagi isi cerita
yang diceritakan menarik pembaca akan berusaha untuk meniru sikap yang baik
seperti yang ada dalam cerita tersebut. Dalam sebuah novel pasti terdapat stile
dan stilistika dan stile dan nada.
Dalam sebuah
karya fiksi itu terdapat berbagai unsur stile diantaranya: unsur leksikal, unsur
gramatikal, unsur gaya, retorika dan kohesi. Dan dalam percakapan fiksi ini
juga mencakup beberapa hal yaitu: narasi dan dialog, unsur pragmatik dalam
percakapan, dan tindak ujar.
3.2
Saran
Setelah kita
mengetahui dan memahami bahasa dan unsur moral dalam fiksi, persoalan dalam
hidup dan kehidupan manusia itu dapat dibedakan kedalam persoalan hubungan
manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dalam
lingkup sosial termasuk hubunganya dengan lingkungan alam, dan hubungan manusia
dengan tuhanya agar bisa berjalan dengan baik.
DAFTAR
PUSTAKA
DIRAHASIAKAN
No comments:
Post a Comment