Wednesday, November 20, 2013

SINOPSIS NOVEL IBUK karya Iwan Setiawan



FEMINISME PADA NOVEL IBUK KARYA IWAN SETYAWAN :KAJIAN STRUKTURAL

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Apresiasi Prosa Fiksi

Dosen pengampu:
Syamsun M.A.



Oleh :
Irna Ardiana
NIM: 5.11.06.13.0.008




PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS ISLAM MAJAPAHIT
2013

Sinopsis Novel Ibuk
Karya Iwan Setyawan

Masih belia usia Tinah saat itu. Ia tak bisa menyeleseikan sekolah karena jatuh sakit menjelang ujian akhir kelas 6. Ketika berusia 16 tahun, ia membantu neneknya, Mbok Pah, berdagang baju bekas di Pasar Batu. Semakin lama ia juga semakin pandai dalam berdagang apalagi tawar menawar. Ia jarang berbicara dengan penjaga kios-kios lain. Apalagi dengan Cak Ali, pemuda penjual tempe disebelah kios Mbok Pah. Cak Ali sering memberi tempe kepada Tinah sebelum menutup kiosnya. Begitu pula Tinah sering membawakan sarapan buat Cak Ali. matanya tak pernah lepas dari Tinah. Cak Ali menawarkan untuk mengantarkan Tinah pulang dengan sepeda pancal, tapi Tinah lebih memilih berjalan kaki dengan Mbok Pah. Disaat usia Tinah sudah 17 tahun Mbok Pah ingin menjodohkan dengan Cak Ali tapi Tinah hanya diam saja.
Suatu pagi di Pasar Batu, di depan kios Mbok Pah, jajaran angkot mulai menurunkan penumpangnya. Para sopir angkot dan kernet pun banyak yang turun untuk sarapan. Salah satunya pemuda berusia sekitar 23 tahun. Seorang kernet yang telah lebih dari setahun datang dan pergi bersama angkotnya di Pasar Batu. Ia memang terlihat berbeda dengan sopir dan kernet lain. Ia dekat dengan semua orang, dari ibu-ibu sampai preman. Ia juga dicap sebagai playboy pasar. Seperti biasa, playboy pasar bersama sopir angkotnya mencari sarapan di warung langganannya yang terletak sekitar lima kios dari kios kecil Mbok Pah. Saat sopirnya pergi ke toilet, ia disuruh menunggunya. Lalu ia menunggunya di depan kios Mbok Pah, tetapi Mbok Pah entah kemana mungkin ia pergi mencari sego empok buat Tinah. Di balik tumpukan baju, Tinah melihat kernet angkot itu sedang menatapnya. Tatapannya membekas di hati Tinah. Lalu ada yang memanggil kernet angkot itu dengan sebutan Sim, Tinah berpikir kalau namanya adalah Sim.
Keesokannya pada malam hari entah dari mana Sim mendapat alamat Tinah. Dan datang kerumah Tinah padahal dia sudah mempunyai pacar di Malang. Tinah terkejut akan kedatangan Sim. Lalu Tinah pergi ke dapur untuk menyuguhkan teh hangat, kemudian duduk di samping Mbok Pah. Lalu Mbok Pah meninggalkan ruang tamu, menyiapkan makan malam untuk suaminya. Kini tinggal mereka berdua. Mereka tak tahu harus memulai pembicaraan dari mana. Kemudian Tinah bertanya tempat tinggal Sim untuk mengawali pembicaraan. Ternyata Sim tinggal bersama kakak angkatnya, Mbak Gik, di Jalan Darsono, Desa Ngaglik. Baru 4 tahun. Sebelumnya dia tinggal di Malang bersama orang tua angkatnya. Karena orang tua angkatnya meninggal dia harus ikut kakak angkatnya di Batu. Dia juga tak pernah melihat orang tua kandungnya yang tinggal di Yogya karena ketika dia berumur 3 bulan diasuh oleh saudara bapaknya di Malang.
Semenjak pertemuan itu kini telah mengubah hidupnya seorang playboy pasar yang bernama Abdul Hasyim (Sim) yang juga kernet angkot akhirnya mendaratkan hatinya pada gadis penjual pakaian bekas bermata teduh yang bernama Ngatinah (Tinah) di Pasar Batu. Mereka sering keluar untuk nonton layar tancep. Suatu ketika Sim mengajak Tinah narik angkot, saat sampai di kota malang tiba-tiba Tinah muntah karena dia tak terbiasa naik angkot, setelah narik angkot mereka pun langsung pulang, saat mereka tiba dirumah Tinah, Sim memberanikan diri untuk mengatakan keinginannya melamar Tinah. Tetapi, pada saat pagi tiba Mbok Pah mengatakan bahwa ada orang lain yang juga ingin melamar Tinah. Tetapi, sepertinya Tinah sudah yakin hidup bersama Sim.
Tanpa persiapan, tanpa rasa takut, dengan ketulusan, dan kesederhanaan mereka memulai hidup baru. Gadis itu tidak lulus SD dan sang playboy pun tidak lulus SMP. Namun begitulah hidup, mereka melawan rasa takut dan menantang dunia untuk kehidupan yang lebih baik. Keduanya menjadi Ibuk dan Bapak kini. Ibuk telah melahirkan 5 orang anak dengan tahun yang berbeda. Dan Ibuk juga pernah mengalami keguguran setelah melahirkan anak ke-2 nya. Anak pertama Ibuk bernama Isa, kemudian anak ke-2 bernama Nani, ke-3 bernama Bayek, ke-4 bernama Rini dan anak ke5 bernama Mira. Dengan berjalannya waktu anak-anaknya semakin besar, semakin besar pula pundi-pundi uang yang harus mereka kumpulkan. Tak hanya itu untuk urusan sekolah, makan sehari-hari, rumah yang bocor, angkot yang selalu ngadat, hingga rapot yang tertahan mengharuskan Ibuk mengirit pengeluaran dan memastikan anak-anak dan suami tidak mengeluh meski dirinya mengalah tak kebagian. Harta baginya adalah anak-anaknya dan suaminya.
Anak-anaknya adalah anak yang rajin dan pintar. Mereka membantu Ibuk untuk membersikan rumah saat akan berangkat sekolah dan setelah sepulang sekolah, tanpa ada perintah ataupun peraturan yang mengharuskan anak-anaknya untuk melakukan itu. Nilai-nilai yang dicapai oleh anak-anaknya pun selalu tak ada yang jeblok, meraka semua pun selalu mendapatkan rangking. Padahal sewaktu mereka berumur 6 bulan, hanya dikasih Ibuk makan bubur beras merah. Ibuk memang tak punya pemikiran apa-apa akan masa depan anak-anaknya kelak. Ibuk merawat anak-anaknya belajar dari ibunya yang ketika Ibuk masih kecil dan Ibuk selalu memperhatikan Ibunya merawat adik-adiknya. Setiap anak-anak Ibuk akan menjalankan ujian, mereka selalu minta didoakan agar ujianya berjalan lancar dan mendapat nilai yang memuaskan. Isa adalah seorang kakak yang baik, dia tak pernah letih untuk mengajari adik-adiknya mengerjakan PR dan membantu meringankan beban orang tuanya.
Saat Bayek meminta untuk dibelikan buku baru dan Nani meminta dibelikan sepatu karena sepatunya sudah jebol. Sedangkan Isa hanya mengutarakan keinginannya untuk melanjutkan ke SMP. Ibuk hanya menjawabnya dengan jawaban yang sederhana, ia berusaha agar mereka tidak mengeluh karena Ibuk masih mengumpulkan uang. Terkadang ibu juga pinjam uang kepada Bang Udin, tukang kredit asli Bandung. Dari Bang Udin, Ibuk selalu berbelanja peralatan dapur dan mencicilnya setiap hari. Suatu ketika Bayek ingin ikut les bahasa Inggris tetapi Ibuk tidak mempunyai uang untuk membayarnya. Lalu Ibuk menyuruh Bayek untuk belajar dengan Isa, kakanya. Ibuk memang mempunyai tekad agar anak-anaknya pandai dan bisa menyeleseikan sekolah sampai sarjana agar mereka tidak seperti dirinya. Bayek tetap saja seperti dulu selalu merengek ketika minta sesuatu, ia baru diam kalau permintaannya terpenuhi dan selalu menemani ibunya memasak di dapur.
Sebulan setelah ulang tahun Bayek yang kedua, dia tak sadarkan diri. Padahal dia tidak demam, batuk ataupun pilek. Lalu Mak Gini, ibu Tinah menyarankan untuk dikompres tetapi tetap saja dia tidak bangun akhirnya Bayek dibawa ke Dokter Etik. Dengan rangsangan-rangsangan yang diberikan dokter Etik ternyata tak membangunkan Bayek dan Ibuk semakin panik. Akhirnya Bayek dibawa pulang kembali dan bergegas ke rumah Mbah Carik, seseorang yang dikenal sebagai orang pinter di Gang Buntu, dan Mbah Carik mengatakan bahwa Bayek telah mati suri dan menyarankan untuk menunggunya sampai Zuhur tiba. Tiba-tiba Ibuk teringat akan perkataan Mbah Carik bahwa suatu saat nanti Bayek lah yang akan mengangkat hidup keluarganya nanti. Agak lama kemudian azan Zuhur pun berkumandang dan Bayek pun membuka mulut lalu matanya. Semua itu terlihat tak terjadi apa-apa, dia terlihat seperti biasanya ketika bangun dipagi hari.
Pada suatu hari tiba-tiba Bapak pulang kerja agak siang dengan belepotan oli dan wajah yang terlihat capek sekali, bayek bertanya saja tak dihiraukannya. Lalu Ibuk bertanya kenapa Bapak pulang cepat tapi tak dihiraukan juga. Agak lama kemudian saat Ibuk bertanya tentang mobil angkot, Bapak membuka mulutnya, beliau mengeluh karena angkotnya akhir-akhir ini sering mogok ditambah lagi besok adalah waktunya bayar SPP. Setelah mengucapkan keluhannya beliau langsung pergi lagi. Ibuk pun menangis tiba-tiba Bayek menghampirinya. Kemudian Ibuk mengajak Bayek ke hutan bambu, disitulah Ibuk meluapkan kesedihannya dan Bayek ikut menangis. Dalam hati Bayek, dia telah berjanji bahwa jika dia sudah besar dia akan membahagiakan Ibuk dan mengubah hidup keluarganya.
Saat Bayek melewati tahun pertama di SMP Negeri 1 Batu, ibunya berpesan untuk tidak merengek lagi ketika ingin dibelikan sesuatu. Waktu itu dia hanya diam di pojok dapur sambil menemani Ibuk memasak seperti biasanya. Lalu Ibuk mengatakan kepada Bayek bahwa Ibuk harus mengumpulkan uang buat sunatan Bayek. Kemudian Bayek bilang kepada ibunya bahwa dia ingin segera disunat karena teman-temannya sudah disunat. Akhirnya hari yang dinantikan Bapak tiba. Anak lelaki satu-satunya telah disunat. Memang tak ada perayaan besar dan tak ada undangan tapi rumah Bayek dipenuhi saudara dan tetangga. Isa, Nani, Rini sibuk menyajikan nasi rawon dan teh manis kepada tamu-tamu. Mira juga ikutan sibuk. Bayek hanya duduk di ruang tamu. Banyak tetangga dan saudaranya yang memberinya amplop. Lalu amplop diberikan kepada Ibuk tapi Ibuk menyuruh Bayek untuk menabung uang itu untuk masa depannya.
Waktu pun terus berjalan, dengan kesabaran, kesederhanaan, dan jerih payah Bapak dan Ibuk dalam mendidik anak-anaknya begitu kuat. Janji Ibuk untuk menyekolahkan anak-anaknya begitu sacral. Setelah lulus SMA, Isa kursus computer di Malang dan memberikan les privat di Batu. Ibuk sedih karena Isa belum berhasil kuliah. Nani, anak kedua, lulus SMA setahun kemudian dan kuliah di Universitas  Brawijaya. Isa juga membantu biaya kuliah dan keperluan Nani. Dua tahun kemudian Bayek lulus SMA dan mendapatkan PMDK di Jurusan Statistika  IPB. Bayek merasa lega karena takut menjadi sopir seperti Bapaknya. Dan Ibuk merasa senang karena anak lelaki satu-satunya mendapatkan undangan untuk kuliah di Bogor. Tetapi Bayek takut kalau Ibuk tidak kuat membiayainya. Lalu Ibuk meyakinkan Bayek untuk berangkat ke Bogor. Angkot pun dijual untuk membiayai kuliah Bayek dan Bapak pindah kerja menjadi sopir truk. Di Bogor Bayek berjuang melawan rasa takut, kangen akan keluarga dan rumah kecilnya. Hampir setiap hari ia menelpon Ibuk. Empak tahun pun berlalu Bayek telah menjadi sarjana, ini merupakan kebahagian buat dirinya dan keluarganya ditambah lagi dia adalah lulusan terbaik dari Jurusan MIPA dengan nilai IPK 3,52.
Beberapa hari kemudian Bayek mendapat panggilan kerja di Jakarta. Seperti biasa Bayek selalu meminta dan mengingatkan Ibuk untuk selalu mendoakannya. Wawancara pun berjalan lancar dan dia diterima. Setiap gajian dia selalu mengirim sedikit penghasilannya untuk keluarganya. Meskipun dia sibuk, dia selalu berusaha menelpon ibunya. Dan ibunya tak pernah letih mengingatkan untuk menabung dan tidak meninggalkan solat dan makan. Tiga tahun sudah dia di Jakarta, benih yang ia tanam selama tiga tahun telah mendatangkan kesempatan besar yaitu sebuah tawaran kerja di New York. Dengan restu dari orang tuanya ia pun langsung berangkat. Ini adalah pertama kalinya ia menghirup udara musim gugur. Dari Bandara John F. Kennedy, mobil menjemputnya menuju kota kecil di luar New York City.
Dia terperangah melihat keindahan Manhattan yang terlihat seperti sebuah berlian besar dari kejauhan. Ribuan gedung pencakar langit berdiri berhimpitan seperti hutan rimba. Saat mobil melewati Bronx, melintasi gedung-gedung yang sebagian besar lebih tua dan tak setinggi gedung-gedung di Manhattan. Setelah melewati Bronx, ia telah memasuki daerah Westchester, dan disitulah tak lagi terlihat deretan gedung tapi deretan pohon. Akhirnya ia pun sampai di Westchester Avenue. Sesampai di apartemennya dia langsung menelpon ibunya. Seseorang yang bernama Mbak Ati menemaninya beberapa bulan di New York, Mbak Ati juga memperkenalkan kehidupan di New York. Rindu akan keluarganya semakin besar ketika dua bulan di New York Isa menikah, ia tak bisa menghadiri acara akad nikah kakak pertamanya. Dia hanya bisa mengikuti akad nikah lewat telepon. Pada bulan ketiga Mbak Ati teman Indonesia satu-satunya pindah ke Australia dan Bayek pun harus memulai hidup baru sendiri. Dan bekerja di Pleasantville. Meskipun dengan komunikasi yang kurang bagus, pada bulan keempat dan kedelapan dia telah mendapatkan penghargaan “Employee of the Month”.
Setahun sudah dia tak pulang, meski bahasa Inggrisnya belum lancar, di bulan Januari 2001, dia dipromosikan menjadi senior data processing executive. Dia tak pernah lupa untuk mengirim sebagian gajinya untuk keluarganya di Batu. Dua bulan setelah mendapat promosi, kantornya pindah ke East Village, Manhattan dan apartemennya juga pindah di 34th Street. Suatu ketika kejadian yang menggetarkan hidupnya pada tanggal 4 Juli 2001, dia telah dirampok ketika memasuki stasiun K.A. Fleetwood di Westchester, saat akan melihat pesta kembang api di Manhattan. Dua orang menghentikan langkahnya, sebuah pisau ditempelkan di perutnya. Uangnya dirampas dan mukanya ditonjok beberapa kali saat ia tak mau menyerahkan ATM-nya. Tapi untung dia selamat meskipun mukanya biru-biru bekas tonjokan.
Belum selesei trauma akibat perampokan, sebuah peristiwa mengentak perjalanan Bayek. Sebuah pesawat menabrak salah satu tower World Trade Center. Beberapa saat kemudian South Tower dan North Tower telah runtuh gedung-gedung disekitarnya juga. Jaringan komunikasi sibuk sehingga dia tak bisa menghubungi keluarganya. Ibunya semakin cemas karena juga tak bisa menghubungi Bayek. Suasana duka cita tak hanya di New York City tapi di seluruh Amerika. TV menyiarkan kejadian tanpa jeda. Agak lama kemudian Bayek bisa menghubungi keluarganya untuk memberikan kabar bahwa dia baik-baik saja, hati Ibuk lega.
Beberapa tahun dia di Amerika, dia semakin rindu akan kehangatan keluarganya. Dia ingin sekali pulang tetapi misinya belum selesei. Awal tahun 2003 dia mendapat promosi menjadi manager data processing executive. Dan dia juga semakin mempunyai banyak pegawai. Lalu dia mengirim uang untuk membangun satu lantai dirumahnya. Setelah tiga bulan rumah jadi Nani menikah dan dia nekat pulang meski hanya seminggu, demi mengikuti acara pernikahan kakaknya dan rumah kecil barunya. Lalu dia kembali ke New York. Di New York dia mempunyai banyak teman yang sangat baik dan peduli dengan Bayek. Tetapi banyak teman-temannya meninggalkan New York dan kembali ke negaranya untuk memulai hidup baru di negaranya sendiri. Suatu ketika dia telah berdebat dengan salah satu pegawainya yang bernama Victor, karena beda pendapat. Karena sering terjadi perdebatan antara keduanya, Bayek belajar untuk memahami karakter anak buahnya. Semakin lama hubungan mereka kembali membaik.
Lebaran tinggal seminggu lagi. Beberapa kali lebaran dia tak bisa pulang, saat pagi tiba ia bekerja seperti biasanya, tiba-tiba Enzu, pegawainya datang terengah-engah karena disamping apartemennya terdapat seorang nenek tergeletak dalam membusuk di sofa ruang tamu. Dari hasil autopsi nenek itu meninggal karena usia tuanya. Seminggu setelah mendengar cerita kematian Enzu, lebaran pun tiba ia hanya bisa merayakan lebaran sendiri di NYC. Setelah Bayek salat Id di masjid Indonesia di Queens, ia kembali ke kantor dan bekerja seperti biasa. Ada semangat ketika ia mendapat telpon dari orangtua dan saudara-saudaranya.
Pada awal tahun 2005, ia mendapatkan promosi menjadi senior manager operations. Kali ini dia merayakan dengan membantu Nani membeli rumah, sementara dia berlibur ke Prancis. Dulu ia setelah membangun kos di Yogya untuk Bapak, ia pergi ke Italia.  Titik demi titik kehidupan ia lalui. Dari apartemennya di Westchester Avenue, ia pindah ke Manhattan dua tahun kemudian. Apartemen pertamanya terletak di persimpangan 34th Street dan 9th Avenue. Karena ia ingin mencoba area yang berbeda, ia pindah ke studio di 88th Street Upper East Side. Setelah dua tahun di Upper East Side, ia pindah ke Newport, New Jersey. Di Newport ini pula ia mendapat cobaan baru. Ia terjatuh di trotoar disebelah gedung apartemennya, ia merasa kepalanya pusing. Lalu ia memeriksakan ke dokter dan ternyata ia terkena vertigo. Ibunya hanya bisa menguatkan semangatnya. Selama di Newport, ia juga membantu Isa dan Rini untuk kuliah lagi. Kini keduanya telah sarjana dan menjadi guru SD.
Di musim semi keenam ia kembali ke Manhattan. Ia menemukan semangat baru disana. Di musim semi ketujuh ia memberikan kejutan untuk keluarganya bahwa ia telah mengirim uang untuk pernikahan adiknya, Rini. Tapi, ia tak bisa menghadiri pernikahannya karena kerjaannya saat itu lagi padat. Setelah kerjaanya sudah beres, kali ini ia berlibur ke Rio de Jainero, Brazil, setelah berbagi dengan keluarganya. Di musim semi ketujuh, ia pulang ke Indonesia. Kali ini ia menghadiri pernikahan Mira. Setelah menhadiri pernikahan itu, semakin besar keinginannya untuk segera menyeleseikan misinya. Setelah 1,5 tahun di SoHo, ia berpikir untuk kembali ke Indonesia dan bekerja di Jakarta atau Singapura. Tiba-tiba sebuah kejutan datang, ia dipromosikan menjadi Director Internal Client Management. Anak buahnya semakin banyak dan tersebar di New York, Chicago, san Franscisco dan India.
Di musim semi kedelapan, ia meminta izin untuk tidak masuk kerja 1 hari. Kali ini ia membantu Mira membeli rumah di Karawang. Di musim semi kesembilan, ia memutuskan untuk pulang ke Indonesia. Ia menyerahkan surat pengunduran diri, tapi atasanya meminta untuk mempertimbangkan lagi. Ia diberikan waktu 2 bulan pulang dan memikirkan keputusannya. Selama di rumah ia bersama keluarganya bersama keponakan-keponakannya. Ia juga pergi backpacking ke Bali dan Lombok, dan terakhir Gunung Rinjani. Setelah 2 bulan di Indonesia, ia kembali ke New York dan ia tak langsung mengundurkan diri karena atasanya sangat baik hati. Di musim semi kesepuluh hatinya kini telah bulat untuk mengundurkan diri meskipun atasannya menawarkan jabatan lebih tinggi yaitu menjadi direktur di North Amerika.
Setelah melalui 9 musim panas dan 10 musim gugur, akhirnya ia pulang kampung bulan juni 2010. Bapak menjemputnya di Bandara Juanda Surabaya dan keponakannya sengaja meliburkan diri dari sekolah. Kini ia kembali dengan membawa 5 buah koper dan 40 kardus berisi barang-barang yang ia kumpulkan selama hidup di NYC. Seminggu setelah pulang, ia mendapat tawaran kerja sebagai Director Marketing Science di sebuah perusahaan marketing research multinational di Singapura. Ia dipercaya mengawasi operasi departemen Marketing Science di enam Negara di Asia Tenggara, gajinya pun ditawarkan lebih besar daripada saat kerja di New York. Tapi sehari sebelum menandatangani kontrak ia berpikir lagi. Akhirnya perusahaan Singapura pun meminta mempertimbangkan keputusannya dnn mereka menunggu sampai bulan Desember 2010.
Selama di Batu ia membuat sebuah buku fotografi yang disusun bersama dua temannya, Herman Aga dan Abdul Sukur. Sebuah buku berjudul Melankoli Kota Batu dan akhirnya berkelanna hingga New York City, San Francisco, Singapura, Chicago dan Quebec. Malam itu, ia berjanji menulis sejarah keluarga buat keponakan-keponakannya. Sejak semalam ia menghabiskan waktunya untuk menulis, kadang ia sampai lupa makan siang, kadang sampai jam 2 siang. Kadang sampai tak sempat mandi. Empat bulan berlalu. Akhirnya tulisan Bayek selesei, ia memang tak punya foto keluarga tapi ia punya buku keluarga begitulah katanya. Dan dia juga mempunyai kemauan untuk jadi penulis. Beberapa minggu setelah novel diterbitkan, ia sering pergi keluar kota untuk talkshow. Disaat ia dirumah, ia sering menghabiskan waktu di kamar untuk menulis dan membaca. Ibu, Bapak dan keempat saudaranya juga pernah membaca buku karya Bayek.
Setahun semenjak bukunya terbit. Ia berkeliling Indonesia dan Ia juga menjadi storyteller. Jadwal talkshowx semakin padat pula. Ada beberapa tawaran kerja di Jakarta atau Singapura, tapi ia masih belum ingin kembali ke dunia korporat. Bulan September 2011, Bayek dan Ibuk mengunjungi Mira, Mira telah melahirkan anak keduanya. Lalu Bapak menyusul. Saat itu Bapak bingung karena tidak ada yang ngurus cucunya di Batu karena Rini lagi bangun rumah. Akhirnya Bapak pulang dan Ibuk tinggal di Karawang. Saat itu pembantunya pulang kampung dan Mira harus kembali kuliah mengambil S2 di IPB. Lalu tiba-tiba di Batu da berita bahwa Bapak sakit saat hasil ronsen tiba ternyata ada pengapuran di jantung Bapak. Seminggu setelah minum obat kondisinya membaik. Seminggu kemudian Bapak terkena serangan stroke. Meskipun sakit, beliau masih saja memikirkan cucu-cucunya. Lalu Bapak menyuruh Ibuk untuk mengambil surat tanah di Yogya. Seminggu kemudian, Ibuk dan Nani mengambil surat itu.
Saat sakit mata kanan Bapak berkurang tiba-tiba Bapak berkata “Nah, sebelum aku meninggal, aku ingin melihat tangga yang dibangun Isa di rumahnya”. Meski masih lemas, Bapak mengunjungi rumah Isa dan memastikan rumah anaknya sudah dilengkapi dengan tangga ke lantai 2. Ibuk pun membuat selamatan kecil-kecilan, tanggal 1 Januari. Bapak berhasil melewati masa kritisnya. Dua minggu kemudian, ia sakit lagi, ia tak bisa berdirii ketika menjaga cucunya. Kondisinya semakin melemah. Bapak pun digotong oleh Ibuk, Isa dan Nani. Dan Bayek pun langsung pulang ke Batu. Keesokannya Bayek ada urusan kerja di Jakarta, saat ia pamit, Bapak mengatakan kepada Bayek untuk tidak pergi jauh-jauh.
Lalu Bapak di bawa ke beberapa dokter dari semua hasil lab menyatakan bahwa semua baik-baik saja tetapi dokter tak tahu kenapa Bapak menjadi lemas akhirnya diputuskan Bapak untuk menjalani terapi medik 3x dalam seminggu. Rabu, 25 Januari 2012 adalah sesi pertama menjalani terapi. Ibu hanya bisa menguatkan hati Bapak. Jumat, 27 Januari 2012 adalah sesi kedua terapi Bapak. Pada saat itu Bapak meminta baju putih kotak-kotak seperti yang dipakai dokter yang membatunya terapi. Sepulang terapi Nani langsung membelikannya dan 2 kaos putih. Senin, 30 Januari 2012 Bapak terbangun tengah malam dan meminta satu dua sendok nasi putih, tapi pada saat itu nasi sudah habis ketika ibu hendak memasak nasi buat Bapak, Bapak melarangnya. Lalu Bapak bertanya siapa yang ngaji barusan. Ibu kaget padahal disitu suasananya hening,. Selasa, 31 Januari 2012 ini adalah terapi ketiga. Di akhir terapi, beliau tertidur pulas. Sesampai dirumah, beliau semakin lemas. Setelah Magrib, beliau ingin melihat foto-foto yang berisi cucu-cucunya. Setelah melihat foto beliau meminta Ibuk untuk menciumnya. Lalu Ibuk menyuruh semua anak dan cucunya untuk menciumnya, hanya Bayek dan Mira yang tak ada disana. Lalu mereka beramai-ramai berdoa untuk kesembuhan Bapak dan Nani memimpin membaca Surat Yasin. Setelah membaca Surat Yasin ia bertanya “foto siapa di sampul buku Yasin”. Lalu Bapak meminta untuk memasang fotonya di sampul buku Yasin. Lalu Bayek telpon kalau dia dan Mira pulang hari Sabtu.
Kamis,2 Februari 2012 Bapak melanjutkan terapi. Ibu dengan kesabarannya mencoba menyuapi tapi mulut Bapak tak bergerak dan tidak meresponnya. Ternyata beliau tak sadarkan diri. Dengan segera Bapak dibawa ke UGD rumah sakit di Malang. Para dokter segera bergerak dari hasil pemeriksaan gulanya menurun tajam. Setelah mendapat treatment gula, kadar gulanya kembali normal dan beliau mulai sadar. Lalu dokter memeriksa kesadaran Bapak, beliau masih bisa menjawab meskipun dengan terbata-bata. Semenjak itu beliau kesulitan berbicara. Ia hanya bisa berkomunikasi lewat tatapan matanya.
Jumat,3 februari 2012 dari hasil lab dan CT scan semuanya terlihat normal, dokter bingung mengapa Bapak seperti tidak punya tenaga. Dan ia masih belum bisa berbicara makan saja harus lewat selang infus, ia juga tidak bisa ke kamar mandi. Pada malam itu Bapak menunjuk giginya dan meminta Nani untuk menyikat giginya. Lalu tiba-tiba ia melipat-lipat selimutnya. Mulutnya terbuka sepertinya ia ingin berkata “pulang. pingin pulang”. Ketika Isa pamitan pulang, ia tak bisa berkata apa-apa lagi air mata pun menetes. Kemudian tertidur pulas. Ibuk dan Rini menjaga Bapak.
Sabtu,4 Februari 2012 pukul 2 dini hari. Rini bangun dan memeriksa kondisi Bapak. Tangan Rini mengelus tangan dan juga dada Bapak. Bapak masih tertidur pulas. Rini kembali tidur di kursi di samping ranjang. Tangan kiri Rini masih memegang tangannya dan tangan kanan memegang dadanya. Pada pukul 02:30 pagi. Rini bangun kembali untuk memeriksanya lagi. Tanggannya masih memegang tangan Bapak. Ada air mata yang meleleh di mata kiri Bapak. Rini kemudian memeriksa napasnya ternyata sudah tidak bernafas lagi. Rini menjerit dan Ibuk terbangun. Ibuk membacakan doa di telinga Bapak tapi ia tak bangun juga. Kemudian Rini memanggil suster tapi Bapak sudah pergi. Malam itu ia belum sempat memakai baju hem putih yang dibelikan Nani.
Rini langsung menelpon Isa dan Nani. Sesampai dirumah sakit Ibuk, Isa, nani dan Rini memindahkan jasad Bapak dari kamar rawat ke kamar jenazah. Ibuk mengelus rambut Bapak dan air matanya tak berhenti mengalir. Rini hamper tak sadarkan diri. Nani pun menelpon Bayek untuk menyuruhnya agar cepet pulang. Bayek kaget karena tak biasanya Nani menelpon jam 3 pagi apalagi dia baru saja tidur jam 1 pagi. Dan biasanya Bayek mematikan Hp-nya, entah kenapa malam itu tidak dimatikan. Karena Bayek mendengar tangisan Rini memanggil Bapak, kini dia tahu bahwa Bapak sudah berpulang.
Jam 4 pagi ia berangkat ke bandara, sebelum pergi ia menelpon Mira. Seperti janji Mira dan Bayek, mereka pulang hari sabtu untuk menjenguk Bapak. Mira sekeluarga sudah dalam perjalanan pulang ke Batu membawa mobil mereka sendiri. dan untungnya Bayek mendapatkan tiket penerbangan paling pagi di hari Sabtu itu. Tiba di bandara Malang, bayek djemput tetangganya dan Ridho, keponakannya yang masih berumur 6 tahun. Kenangan bersama Bapak terbawa dalam setiap perjalanan pulang itu. Kira-kira jam setengah Sembilan, Bayek tiba di Gang Buntu. Bendera kuning telah terpasang dan para pelayat berjejerdari depan gang sampai rumah Bapak. Jasad Bapak telah disalatkan sebelum Bayek datang. Rini di samping Ibuk menangis, berteriak dan akhirnya tak sadarkan diri. Badan Ibuk gemetar. Isa memeluk Ibuk dari belakang. Mata Isa sembap. Nani yang memakai kerudung hitam tersedu. Tangannya memegang kamera. Ia mengabadikan kepergian Bapak, sesekali di tengah isak tangisnya. Lalu Bayek ingin melihat wajah Bapak untuk terakhir kalinya, dan keranda pun di buka pelan-pelan.
Mira masih dalam perjalanan dan baru saja memasuki Semarang. Ia belum sempat melihat wajah Bapak sebelum pemakaman. Akhirnya, keranda Bapak digotong menuju pemakaman. Para peziarah bergantian menggotong, bayek juga. Air mata  menetes sepanjang perjalanan. Bajunya hamper basah oleh keringat dan tetesan air mata.
Bayek dan dua menantu Bapak turun ke liang kubur. Bayek sesenggukan. Akhirnya ia diangkat lagi ke atas lagi, karena menurut kercayaan air mata tidak boleh menetes disana. Jasad Bapak diturunkan ke liang kubur. Bayek semakin terisak. Suara Rini dan Isa terdengar dari kejauhan. Nani, dengan kokohnya mengabadikan kepulangan ini. Papik, suami Isa, mengumandangkan azan dengan lantang. Setelah Bapak di kubur, satu per satu pelayat meninggalkan pemakaman. Tinggal Ibuk dan keluarga dekatnya. Bayek tak kuasa melihat Ibuk. Istri dan sahabat Bapak selama 40 tahun ini tak akan melihat sang playboy pasar esok harinya. Semua pelayat telah pulang. Bayek ingin sendiri di depan makam Bapak. Ia berdoa dan berbicara dengan Bapak. “Bayek pulang untuk Bapak, dan Bapak telah berpulang”. Setelah itu dia pun meninggalkan pemakaman.
Semenjak kepergian Bapak, anak dan cucu Ibuk bergantian menemani Ibuk. Kadang mereka menggelar kasur di depan TV dan tidur disana beramai-ramai. Bayek kini sering meluangkan waktu di Batu, dan mira selalu menelpon Ibuk setiap hari. Mereka ingin menemani Ibuk dan tak ingin Ibuk sendiri. Foto Bapak kini dipajang di ruang tamu berukuran sekitar 60 cm x 50 cm dengan pigura kayu warna emas. Sebelumnya tak pernah ada foto sebesar ini di rumah mereka. Hampir setiap hari mereka membicarakan Bapak. Ibuk dan anak-anaknya kadang masih belum percaya. Bapak yang baru saja hidup enak harus pergi secepat itu.
Bapak yang biasanya menyiapkan makanannya sendiri, sementara Ibuk menyiapkan makan buat anak cucunya. Ibuk memang meminta untuk selalu menyiapkan makan buat anak dan cucunya karena dia akan bosan bila tidak mengerjakan sesuatu. Bapak yang selalu antar jemput cucu, membantu menggati seragam mereka. Disaat ia sakit, ia tetap saja memikirkan cucu-cucunya. Kini Bapak sudah tiada lagi diantara mereka, hanya kenangan bersama Bapak yang tertinggal dalam memori mereka.
Di hari ke-40 setelah Bapak meninggal, jam setengan enam Bayek menemani Ibuk pergi ke pasar untuk membeli keperluan tahlilan 40 hari. Pagi yang terang benderang. Pagi yang sejuk. Semakin banyak mobil yang lalu-lalang. Para pedagang mulai menurunkan barang dagangannya. Semua masih segar. Tawar-menawar disana sini. Tiba-tiba Ibuk menggenggam tangan Bayek, matanya berkaca-kaca. Deretan angkot dan took-toko baju mungkin telah membawanya ke pagi yang dingin, di Pasar Batu, 40 tahun yang lalu. Setelah 40 hari tahlilan Bapak, Ibuk mulai berjalan pagi ke kaki Gunung Panderman sehabis menanak nasi dan salat Subuh.
Sampai saat ini, hampir tiap hari anak dan cucu bergantian mengunjunngi makam Bapak. Bunga segar selalu ditaburkan di sana. Kuburan Bapak selalu wangi. Nani selalu mengaji di kamar Bapak. Ibuk setiap malam selalu memimpin pengajian kecil bersama anak dan cucunya dan mengirim doa kepada Bapak. Ibuk selalu mengingatkan untuk tabah. Cinta Ibuk selalu segar untuk keluarga dan selalu terang untuk Bapak. Dari pertemuanya di Pasar Batu 40 tahun yang lalu sampai kepergiannya yang telah menjadi suami, sahabat setia dan belahan jiwanya. 40 tahun lalu mereka mulai membangun keeping-kepingan hidup. Mulai perjalanan yang saling memperkaya, memperkuat, dan melengkapi satu sama lain. Cinta mereka telah melahirkan anak-anak yang penuh cinta.

JOKIBET.COM Agen Casino Online Terpercaya

4 comments: