Thursday, November 21, 2013

MAKALAH APRESIASI PROSA FIKSI CERITA


Makalah
CERITA dan PEMPLOTAN
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Apresiasi Prosa Fiksi
Dosen Pengampu        : Syamsun, M.A.


Description: logo unim


Oleh
Rita Rofiana (NIM : 5.11.06.13.0.010)
Siti Muklisah (NIM : 5.11.06.13.0.013)


PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS ISLAM MAJAPAHIT
MOJOKERTO
2013




Kata Pengantar

Segala puji syukur penulis panjatkan hanya pada ALLAH SWT, Shalawat serta salam hanya untuk Nabi Muhammad SAW.
Penulis sangat bersyukur sekali dengan terseleseikannya makalah yang berjudul “Cerita dan Pemplotan”. Makalah ini disusun untuk  memenuhi tugas mata kuliah Apresiasi Prosa Fiksi .
Laporan ini tak akan terselesaikan tanpa bantuan beberapa pihak yang dengan tulus ikhlas telah membantu penulis. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat :
1.             Prof.Dr.H. Machmoed Zain, APU, selaku Rektor Universitas Islam Majapahit
2.             Dr. Ludi Wishnu Wardana, M.M, selaku Dekan FKIP
3.             Nanang Wahyuningaji, S.pd., selaku ketua prodi FKIP
4.             Syamsun, M.A., selaku dosen pembimbing yang selalu memberikan penjelasan dan pengarahan dalam penyusunan makalah
5.             Teman- teman  semua, khususnya prodi Bahasa dan Sastra Indonesia
Akhir kata penulis menyadari dalam penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun selalu penulis nantikan. Semoga makalah ini memberikan manfaat bagi banyak pihak.
                                                                                              
Mojokerto, 8 Mei 2013
                                                                                                                              Penulis




Daftar Isi
Halaman                                                                                    
KATA PENGANTAR …………………………………………………..     i
DAFTAR ISI ………………………………………………………….....      ii
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………….....     1
1.1  Latar Belakang …………………………………………..........      1
1.2  Rumusan Masalah ………………………………………….....      2
1.3  Tujuan Pembahasan ………………………………………......       2
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................        3
            2.1 Hakikat Cerita............................................................................       3
            2.2 Cerita dan Plot............................................................................      3
            2.3 Cerita dan Pokok permasalahan................................................        5
            2.4 Cerita dan Fakta........................................................................        5
            2.5 Hakikat Plot dan Pemplotan.....................................................        6
            2.6 Peristiwa, Konflik, dan Klimaks...............................................        7
                  2.6.1 Peristiwa..........................................................................         7
                  2.6.2 Konflik............................................................................         8
                  2.6.3 Klimaks............................................................................       10
            2.7 Kaidah Pemplotan....................................................................        10
                  2.7.1 Plausibilitas .......................................................................      11
                  2.7.2 Suspense.............................................................................      11
                  2.7.3 Surprise.............................................................................       12
                  2.7.4 Kesatupaduan....................................................................       12
            2.8 Penahapan Plot...........................................................................       13
                  2.8.1 Tahapan Plot: Awal-Tengah-Akhir....................................      13
                  2.8.2 Tahapan Plot: Rincian Lain...............................................       14
                  2.8.3 Diagram Struktur Plot.......................................................       14
            2.9 Pembedaan Plot..........................................................................       15 
                  2.9.1 Pembedaan Plot Berdasarkan Kriteria Urutan Waktu......        15
                  2.9.2 Pembedaan Plot Berdasarkan Kriteria Jumlah..................       16
                   2.9.3 Pembedaan Plot Berdasarkan Kriteria Kepadatan..............     16
                   2.9.4 Pembedaan Plot Berdasarkan Kriteria Isi...........................      17     
BAB III PENUTUP ……………………………………………..................     18
            3.1 Simpulan ………..........................................................................      18
            3.2 Saran..............................................................................................     18
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................     19

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Prosa dalam pengertian kesastraan juga disebut fiksi (fiction), teks naratif (narrative text), atau wacana naratif (narrative discource). Sehingga istilah prosa atau fiksi atau teks naratif, atau wacana naratif berarti cerita rekaan (Cerkan) atau cerita khayalan. Hal ini berarti fiksi merupakan karya naratif yang isinya tidak menyarankan (tidak mengacu) pada kebenaran sejarah.
Dengan demikian, Karya fiksi merupakan karya naratif yang isinya mengacu/menyarankan pada karya yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, khayalan, sesuatu yang tidak ada dan tidak terjadi sungguh-sungguh sehingga ia tak perlu dicari kebenarannya pada dunia nyata. Istilah fiksi sering dipergunakan dalam pertentangannya dengan realitas (sesuatu yang benar ada dan terjadi didunia nyata sehingga kebenarannya pun dapat dibuktikan dengan data empiris). Benar tidaknya, ada tidaknya, dan  dapat tidaknya,  sesuatu yang dikemukakan dalam suatu karya yang dibuktikan secara empiris, inilah antara lain, yang membedakan karya fiksi dengan karya nonfiksi.
Tokoh, peristiwa, dan tempat yang disebut-sebut dalam fiksi adalah bersifat imajinatif, sedang pada karya nonfiksi bersifat faktual. Sebagai karya imajiner, fiksi menawarkan berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan, yang dituangkan secara sungguh-sungguh melalui perenungan yang intens dan bukan hanya sebagai hasil lamunan saja, tetapi penuh tanggung jawab dan kesadaran kreativitas yang diungkapkan kembali melalui sarana fiksi. Betapapun saratnya pengalaman dan permasalahan kehidupan yang ditawarkan, sebuah karya fiksi haruslah tetap merupakan cerita yang menarik, tetap merupakan bangunan struktur yang koheren, dan tetap mempunyai tujuan estetik.







1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah diuraikan di atas, maka  permasalahan yang diangkat adalah :
1.2.1    Jelaskan apakah hakikat sebuah cerita ?
1.2.2        Apakah hubungan antara cerita dan plot ?
1.2.3        Apakah hubungan antara cerita dan pokok permasalahan ?
1.2.4        Apakah hubungan antara cerita dan fakta ?
1.2.5        Apa yang dimaksud dengan hakikat plot dan pemplotan?
1.2.6        Apa yang dimaksud dengan peristiwa, konflik, dan klimaks dalam prosa fiksi?
1.2.7        Jelaskan tentang kaidah pemplotan?
1.2.8        Sebutkan dan jelaskan penahapan plot dalam prosa fiksi?
1.2.9        Sebutkan dan jelaskan pembedaan plot dalam prosa fiksi?

1.3 Tujuan Pembahasan
Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.3.1    Mendeskripsikan hakikat sebuah cerita.
1.3.2        Mendeskripsikan hubungan antara cerita d an plot.
1.3.3        Mendeskripsikan hubungan antara cerita dan pokok permasalahan.
1.3.4        Mendeskripsikan hubungan antara cerita dan fakta.
1.3.5        Mendeskripsikan tentang hakikat plot dan pemplotan.
1.3.6        Mendeskripsikan tentang peristiwa, konflik, dan klimaks dalam prosa fiksi.
1.3.7        Mendeskripsikan kaidah pemplotan.
1.3.8        Mendeskripsikan penahapan plot dalam prosa fiksi.
1.3.9        Mendeskripsikan pembedaan plot dalam prosa fiksi.









BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Hakikat Cerita
Seorang membaca sebuah buku fiksi lebih dimotivasi oleh rasa ingin tahunya terhadap cerita, hal itu wajar dan sah adanya. Membaca sebuah buku cerita akan memberikan semacam kenikmatan dan kepuasan tersendiri di hati pembaca, baik bagi orang awam maupun bagi kritikus. Pembaca golongan kedua, biasanya tidak akan terhenti pada kekaguman terhadap kehebatan cerita dan keindahan cara pengungkapannya. Aspek cerita dalam sebuah karya fiksi merupakan suatu hal yang amat esensial. Kelancaran cerita akan di topang oleh kekompakan dan kepaduan berbagai unsur pembangunan itu. Cerita merupakan hal yang fundamental dalam karya fiksi. Tanpa unsur cerita, eksistensi sebuah fiksi mungkin berwujud. Sebab, cerita merupakan inti sebuah karya fiksi yang sendiri adalah rekaan.
Hakekat Cerita Rekaan. Cerita rekaan (cerkan) menceritakan sesuatu yang bersifat imajinatif, khayalan, sesuatu yang tidak ada dan tidak terjadi sungguh-sungguh sehingga membaca prosa fiksi atau cerita rekaan untuk tujuan menangkap isi cerita dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut. Membaca cerita secara keseluruhan. Menandai dan mencari makna kata-kata sulit. Membaca prosa fiksi dengan tujuan Untuk keperluan tersebut yang harus diketahui pembaca adalah hakikat puisi. Puisi adalah karya sastra yang kaya akan makna, ada yang memberi istilah puisi itu padat makna. Sebuah puisi pada dasarnya adalah sebuah cerita yang berisi.
Forster (1970:35) mengartikan cerita sebagai sebuah narasi berbagai kejadian yang sengaja disusun berdasarkan urutan waktu, misalnya, (kejadian) mengantuk kemudian tertidur, begitu melihat wanita cantik langsung jatuh cinta, marah-marah karena disinggung perasaanya dan sebagainya.
Dengan bercerita sebenarnya pengarang ingin menyampaikan sesuatu, gagasan, kepada kita pembaca. Penampilan peristiwa pada hakikatnya juga berarti pengemukakan gagasan. Unsur peristiwa, yang dapat dibedakan ke dalam aksi dan kejadian, eksistensi yang terwujud tokoh dan latar.

2.2 Cerita dan Plot
Cerita dan plot merupakan dua unsur fiksi yang amat erat berkaitan sehingga keduanya sebenarnya tidak mungkin dipisahkan. Baik cerita maupun plot sama-sama mendasarkan diri pada rangkaian peristiwa sebagaimana yang disajikan  dalam sebuah karya. Oleh sebab itu, sebenarnya dapat dikatakan bahwa dasar pembicaraan cerita adalah plot, dan dasar pembicaraan plot adalah cerita. Plot atau alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita (Aminuddin,1987).
Antara cerita dan plot terdapat perbedaan inti permasalahan. Keduanya memang sama-sama mendasar pada rangkaian peristiwa, namun tuntutan plot bersifat lebih kompleks daripada cerita. Masalah peristiwa itu sendiri banyak aspeknya. Ia dapat dibedakan ke dalam sejumlah kategori bergantung dari sudut mana hal itu dilakukan. Selain itu peristiwa juga berkaitan dengan konflik. Sedang konflik itu sendiri amat menentukan kadar isi sebuah cerita, Karena konflik merupakan salah satu wujud peristiwa. Plot menuntut adanya kejelasan antar peristiwa yang dikisahkan dan tidak sekadar urutan temporal saja. Hal-hal inilah yang tidak ada pada cerita  sebab dalam cerita segala sesuatunya cenderung disederhanakan.
Sebuah cerita tidak mustahil hanya mengandung unsur tahapan tertentu saja dari sekian banyak tahapan yang ada. Ada pula cerita yang plotnya diawali dengnan situasi awal, kemudian berlanjut ke pengembangan cerita dan kemudian langsung pada klimaks. Model tahapan cerita lain juga yang diungkapkan oleh Loben ialah diawali denga suspens, eksposisi dan pengembangan cerita, klimaks, dan kemudian penyelesaian.
Dalam membangun alur, ada beberapa faktor penting yang perlu diperhatikan agar alur menjadi dinamis. Faktor-faktor penting tersebut adalah:
  1. Faktor kebolehjadian. Maksudnya, peristiwa-peristiwa cerita sebaiknya tidak selalu realistik tetapi masuk akal.
  2. Faktor kejutan. Maksudnya, peristiwa-peristiwa sebaiknya tidak dapat secara langsung ditebak / dikenali oleh pembaca.
  3. Faktor kebetulan. Yaitu peristiwa-peristiwa tidak diduga terjadi, secara kebetulan terjadi.
Jika kita hanya ingin tahu isi dan kehebatan cerita kita hanya cukup membaca ringkasan cerita atau sinopsisnya saja. Namun, apabila ingin lebih memahaminya dengan serius, khususnya yang  berkaitan dengan masalah plot kita harus membaca keseluruhan  bahkan berkali-kali.



2.3 Cerita dan Pokok Permasalahan
Pokok permasalahan merupakan suatu hal yang diangkat ke dalam sebuah karya fiksi. Pengarang fiksi adalah pelaku sekaligus pengamat berbagai permasalahan hidup dan kehidupan yang berusaha mengungkap dan mengangkatnya ke dalam sebuah karya.  Isi  cerita adalah sesuatu yang dikisahkan dalam sebuah karya fiksi. Pokok permasalahan di pihak lain, bukan merupakan sesuatu yang diacu, atau berkaitan dengan, isi cerita.
Pemilihan pokok permasalahan ke dalam sebuah karya fiksi biasanya ada kaitannya dengan pemilihan tema. Adanya kesesuaian antara pemilihan keduanya, dan hal yang demikian akan mempermudah pembaca untuk memahaminya. Namun, bagaimanapun pokok permasalahan lebih berhubungan dengan masalah apa yang diceritakan atau cerita tentang apa. Oleh karena itu, amat dimungkinkan adanya beberapa pokok masalah yang berbeda, namun memiliki kesamaan tema.

2.4 Cerita dan Fakta
Sebuah karya mungkin saja ditulis berdasarkan data-data faktual, peristiwa-peristiwa dan sesuatu yang ain yang benar-benar ada dan terjadi. Namun, ia dapat pula ditulis hanya berdasarkan peristiwa dan sesuatu yang dibayangkan (diimajinasikan) mungkin ada dan terjadi, walau secara faktual hal-hal itu tidak pernah ditemui di dunia nyata. Karya yang pertama menyaran pada tulisan yang memuat hal-hal yang nyata, sedang yang kedua menyaran pada karangan yang berisi hal-hal yang dikhayalkan (Kartahadimaja, 1978: 9-10)
Tulisan yang dibuat berdasarkan data dan informasi faktual, misalnya, adalah tulisan berita sebagaimana halnya yang biasa dilakukan wartawan untuk surat kabar. Selain surat kabar juga ada jenis tulisan yang lain yang dibuat berdasarkan informasi faktual dan sekaligus aktual. Selain penulisan untuk surat kabar, ada jenis tulisan lain yang dibuat berdasarkan informasi faktual, namun tidak terlalu terikat oleh keaktualan, melainkan lebih terikat oleh kejelsan, ketepatan, dan ketajaman( dan lain-lain yang sejenis) urian.
Misalnya novel, novel adalah cerita berbentuk prosa  yang menuju pada adanya kebenaran sejarah justru semakin memperjelas kadar rekaannya sebab hal-hal yang dikaitkan kebenaran itu tidak pernah terjadi.
Penulisan sejarah terikat pada  data fakta yang benar-benar ada dan terjadi, data dan fakta yang memiiki validitas empiris yang dapat dipertanggunngjawabkan. Secara teoritis, fakta tidak dapat dimanipulasi dalam pengertian menambah, menyembunyikan, mengkreasikan, atau mengimajinasikan sesuai dengan sikap subjektivitas penulisnnya walau secara faktual hal itu mungkin saja terjadi tergantung sikap penulis buku sejarah itu sendiri.
Unsur realitas dan imajinasi, suatu karangan yang mengandung unsur imajinasi sebenarnya bukan hanya monopoli karya fiksi yang disebut sebagai karya imajinatif. Karangan mempergunakan data dan peristiwa termasuk nonfiksi dan surat kabar lain sama-sama mengandung unsur realitas dan imajinasi.
Yang membedakan karangan di atas kadar realitas dan imajinasi yang terkandung di dalamnya, unsur imajinasi jauh lebih menonjol dalam karya fiksi, sedang unsur realitas lebih dapat menonjol tanpa didasari pengetahuan, pengalaman, dan persepsi terhadap dunia nyata. Sebaliknya, penulis karya nonfiksi atau berita, walau menulis berdasarkan fakta, hal itu tidak mungkin dilakukan tanpa adannya interpretasi pribadi.
Ada jenis karya tertentu yang tampaknya sulit dikategorikan ke dalam fiksi atau nonfiksi, yaitu karya yang bersifat biografis. Penulis biografi tentunya menulis fakta yang pernah benar-benar terjadi dan dialami pelaku yang ditulis biografinya itu. Namun, mungkin sekali ia menulis sesuatu yang dibayangkan, ditafsirkan, disikapi, atau dinilai yang sebenarnya lain dari sesungguhnya yang terjadi.

2.5 Hakikat Plot dan Pemplotan
Plot atau alur cerita atau rentetan pikiran merupakan garis narasi dalam fiksi atau garis paparan dalam non fiksi, sehingga peminat tidak kehilangan pandangan, karena alur tadi utuh dan suspensif. Dan dalam kejelasan plot ada kaitan dengan peristiwa yang dikisahkan secara linear, yang akan mempermudah pemahaman kita terhadap cerita yang ditampilkan. Kejelasan plot berarti kejelasan cerita, kesederhanaan plot berarti kemudahan cerita untuk dimengerti. Dalam kejelasan cerita maupun kesederhanaan plot, maka peristiwa-peristiwa itu harus disiasati secara kreatif, sehingga hasil pengolahan dan penyiasatan itu sendiri merupakan sesuatu yang indah dan menarik.. Maka di sini akan dijelaskan dari pendapat para ahli lainnya.
1. Stanton (1965: 14), mengemukakan plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab-akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa lain.
2.  Kenny (1966:14), mengemukakan plot sebagai peristiwa-peristriwa yang ditampilkan dalam cerita yang tidak bersifat sederhana, karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab-akibat.
3. Forster (1970:93), plot adalah peristiwa-peristiwa cerita yang mempunyai penekanan pada adanya hubungan kausalitas.
Maka bisa disimpulkan bahwa plot merupakan perjalanan pelaku atau tokoh yang mengandung unsur sebab-akibat yang membentuk sebuah cerita yang utuh. Agar menjadi sebuah plot, peristiwa-peristiwa harus diolah sehingga hasil pengolahan dan penyiasatannya menjadi karya yang menarik (Nurgiyantoro, 2005: 113). Kegiatan ini, dilihat dari sisi pengarang yang merupakan kegiatan pengembangan plot atau dapat juga disebut sebagai pemplotan, pengaluran. Kegiatan pemplotan itu sendiri meliputi kegiatan memilih peristiwa yang akan diceritakan dan kegiatan menata peristiwa-peristiwa itu ke dalam struktur-linear karya fiksi.
Sedangkan dalam pemahaman plot sangat memerlukan daya kritis, kepekaan fikiran,  perasaan, sikap, tanggapan yang serius untuk dapat memahami jalan cerita dalam karya yang telah kita baca.

2.6 Peristiwa, Konflik, dan Klimaks
Peristiwa, konflik, dan klimaks merupakan tiga unsur yang amat esensial dalam pengembangan sebuah plot cerita. Ekstensi plot sangat ditentukan oleh ketiga unsur tersebut. Maka di sini akan dijelaskan tiga unsur dalam pengembangan sebuah plot cerita.

2.6.1 Peristiwa
Istilah peristiwa atau kejadian dalam pembicaraan tentang fiksi belum dikemukakan apa sebenarnya peristiwa itu. Dalam berbagai literatu berbahasa inggris, sering ditemukan penggunaan istilah action (aksi, tindakan) dan event (peristiwa, kejadian) yang secara bersama atau bergantian. Dalam pengertian kedua istilah tersebut sangat berbeda. Action sendiri merupakan tindakan tokoh dan event merupakan suatu bentuk yang memiliki cakupan yang lebih luas, yaitu dalam cakupan yang selain tokoh manusia juga sesuatu di luar aktivitas manusia, misalnya peristiwa alam seperti banjir dan lain-lain. sedangkan menurut (Luxemburg dkk, 1992:150) peristiwa merupakan peralihan dari satu keadaan ke keadaan lainnya.
 Dan dalam sebuah karya fiksi tentunya tidak terbangun hanya dari satu peristiwa saja, tetapi banyak peristiwa. Namun, tidak semua peristiwa di dalam karya fiksi berfungsi sebagai pembangun plot. Berdasarkan fungsionalnya terhadap pengembangan itulah, peristiwa dapat dibedahkan menjadi peristiwa fungsional, kaitan dan acuan. Berikut macam-macam peristiwa yang merupakan pengembangan cerita.
a. Peristiwa fungsional adalah peristiwa-peristiwa yang sangat mempengaruhi pengembangan plot. Rangkaian peristiwa-peristiwa fungsional merupakan inti dari cerita. Jika sebuah peritiwa fungsional dihilangkan akan menyebabkan cerita itu menjadi lain, atau bahkan menjadi tidak logis.
b. Peristiwa kaitan adalah peristiwa-peristiwa yang berfungsi mengaitkan peristiwa-peristiwa penting dalam pengurutan penyajian cerita.
c. Peristiwa acuan adalah peristiwa-peristiwa yang tidak secara langsung berpengaruh atau berhubungan dengan plot, tetapi lebih mengacu pada unsur-unsur lain seperti perwatakan atau suasana yang melingkupi batin seorang tokoh.
Melalui analisis di atas dapat diketahui jumlah perbandingan ketiga peristiwa tersebut. Dan apakah peristiwa itu berwujud fisik atau batin, dalam sebuah karya fiksi. Dalam peristiwa fungsional, plot karya yang bersangkutan cenderung berplot padat. Sedangkan peristiwa kaitan dan acuan plot karyanya cenderung menjadi longgar. Menurut (Nurgiyantoro, 1991:104-16) menyimpulkan bahwa melalui peristiwa fungsional, kaitan, dan acuan akan dapat diketahui tindakan tokoh, serta interaksi antar tokoh dalam sebuah karya yang semuanya dapat diwujudkan secara kuantitatif.
Selain itu, dari analisis dapat diketahui urutan peristiwa berdasarkan urutan waktu kejadian. Pada umumnya urutan waktu kejadiannya telah dimanipulasi sehingga peristiwa yang dihadirkan pada awal cerita belum tentu merupakan awal peristiwa, melainkan mungkin peristiwa akhir cerita.
Dari macam-macam peristiwa di atas telah digolongkan menjadi dua macam peristiwa. Menurut Roland Barthes peristiwa dapat digolongkan menjadi, (1) peristiwa utama (major events’peristiwa mayor’), (2) peristiwa pelengkap (minor events’peristiwa minor’). Sedangkan menurut Chatman (1980:53) menyebut peristiwa utama itu sebagai kernel (kernels), sedang peristiwa pelengkap sebagai satelit (satelits).

2.6.2 Konflik
Konflik (conflict) merupakan sebuah kejadian yang tergolong penting (jadi ia akan berupa peristiwa fungsional, utama, atau kernel), merupakan unsur-unsur yang esensial dalam pengembangan plot. Penembangan plot naratif ditentukan oleh wujud, isi konflik, dan bangunan konflik yang ditampilkan.
Menurut Meredith dan Fitzegerald (1972:27) mengungkapkan bahwa konflik merupakan sesuatu yang bersifat tidak menyenangkan yang terjadi atau dialami oleh tokoh-tokoh cerita, jika tokoh-tokoh itu mempunyai kebebasan untuk memilih, ia tidak akan memilih peristiwa itu menimpa dirinya. Sedangkan menurut Wellek dan Warren (1989:285) menyatakan, konflik adalah sesuatu yang dramatik, mengacu pada pertarungan antar dua kekuatan yang seimbang dan menyiratkan adanya aksi dan aksi balasan. Jadi dapat disimpulkan bahwa konflik memiliki pengertian pertarungan atau pertentangan antara dua hal yang menyebabkan terjadinya aksi reaksi. Pertentangan itu bisa berupa pertentangan fisik, ataupun pertentangan yang terjadi di dalam batin manusia. Konflik merupakan unsur terpenting dari pengembangan plot. Bahkan bisa dikatakan sebagai elemen inti dari sebuah karya fiksi.
Peristiwa dan konflik biasanya berkaitan erat, dapat saling menyebabkan terjadinya satu dengan yang lain, bahkan konflik pun hakikatnya merupakan peristiwa. Ada peristiwa tertentu yang dapat menimbulkan konflik. Sebaliknya, karena terjadi konflik, peristiwa-peristiwa lain pun dapat bermunculan, misalnya yang sebagai akibatnya. Konflik demi konflik yang disusul oleh peristiwa demi peristiwa akan menyebabkan konflik semakin meningkat. Konflik yang telah sedemikian meruncing, katakan sampai pada titik puncak yang disebut klimaks.
Stanton dalam An Introduction to Fiction membedakan konflik menjadi dua, yaitu konflik eksternal dan konflik internal.
a. Konflik eksternal adalah pertentangan yang terjadi antara manusia dengan sesuatu yang berada di luar dirinya. Konflik ini dibagi lagi menjadi dua macam. Konflik elemental, yaitu konflik yang disebabkan adanya perbenturan antara tokoh dengan lingkungan alam Misalnya saja konflik yang timbul akibat adanya banjir besar, gempa bumi, gunung meletus, dsb. Sedangkan konflik sosial terjadi disebabkan adanya kontak sosial antar manusia, atau masalah yang muncul akibat adanya hubungan sosial antarmanusia. Misalnya saja berupa masalah penindasan, peperangan, penghianatan, pemberontakan.
b. Konflik Internal adalah konflik yang terjadi di dalam hati atau jiwa seorang tokoh cerita. Pertentangan yang terjadi di dalam diri manusia. Manusia lawan dirinya sendiri. Misalnya saja konflik yang terjadi akibat adanya pertentangan antara dua keinginan, keyakinan, pilihan yang berbeda, harapan-harapan dan masalah-masalah lainnya.
Konflik internal dan eksternal yang terdapat dalam sebuah karya fiksi, dapat terdiri dari bermacam-macam wujud dan tingkatan kefungsiannya. Konflik-konflik itu dapat berfungsi sebagai konflik utama atau sub-sub konflik (konflik-konflik tambahan), setiap konflik tambahan haruslah bersifat mendukung, karenanya mungkin dapat juga disebut sebagai konflik pendukung dan mempertegas kehadiran dan eksistensi konflik utama, konflik sentral (central conflict), yang sendiri dapat berupa konflik internal atau eksternal atau keduanya sekaligus. Konflik utama inilah yang merupakan inti plot, inti struktur cerita, dan sekaligus merupakan pusat pengembangan plot karya yang bersangkutan.
Dalam konflik utama internal pada umumnya dialami oleh atau ditimpahkan kepada tokoh utama cerita, tokoh protagonis. Konflik utama eksternal juga dialami dan disebabkan oleh adanya pertentangan antar tokoh utama, yang berwujud tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Adanya pertentangan dan berbagai konflik inilah membawa cerita sampai ke klimaks.  

2.6.3 Klimaks
Menurut Stanton dalam An Introduction to Fiction klimaks adalah saat konflik telah mencapai titik intensitas tertinggi, dan saat itu merupakan sesuatu yang tak dapat dihindari kejadiannnya. Artinya, berdasarkan tuntutan dan kelogisan cerita, peristiwa itu harus terjadi, tidak boleh tidak. Klimaks merupakan titik pertemuan antara dua hal yang dipertentangkan dan menentukan bagaimana konflik itu akan diselesaikan. Namun tidak semua harus mencapai klimaks, hal itu mungkin sejalan dengan keadaan bahwa tidak semua konflik harus mempunyai penyelesaian. Masalah itu masih harus dilihat apakah konflik itu merupakan konflik utama ataukah konflik-konflik tambahan, sebuah konflik yang disebabkan, dialami, dan dilakukan oleh tokoh tambahan. Sebuah konflik akan menjadi klimaks atau tidak tergantung kemauan dan tujuan pokok pengarang dalam membangun konflik sesuai dengan tuntutan koherensi cerita.

2.7 Kaidah Pemplotan
Masalah kreativitas, kebaruan, dan keaslian dapat juga menyangkut masalah pengembangan plot. Pengarang memiliki kebebasan untuk memilih cara untuk mengembangkan plot, membangun konflik, menyiasati penyajian peristiwa, dan sebagainya sesuai dengan selera estetisnya.
Dalam usaha pengembangan plot, pengarang juga mamiliki kebebasan kreativitas. Namun, dalam karya fiksi yang tergolong konvensional, kebebasan itu bukannya tanpa aturan. Ada semacam aturan, ketentuan, atau kaidah pengembangan plot (the laws of plot) yang perlu dipertimbangkan. Kaidah-kaidah pemplotan yang dimaksud meliputi masalah plausibilitas (plausibility), adanya unsur kejutan (surprise), rasa ingin tahu (suspense) dan kepaduan (unity), (Kenny, 1966: 19-22).

2.7.1 Plausibilitas
Plausibilitas memiliki pengertian bahwa suatu hal yang dapat dipercaya sesuai dengan logika cerita. Plot sebuah cerita harus memiliki sifat plausibel atau dapat dipercaya oleh pembaca. Pengembangan cerita yang tak plausibel dapat membingungkan dan meragukan pembaca. Misalnya karena tidak jelasnya unsur kausalitas. Lebih dari itu, orang mungkin akan menganggap bahwa karya yang bersangkutan menjadi kurang bernilai.
Menurut Stanton (1965:13) menyatakan bahwa sebuah cerita dapat dikatakan plausibilitas, jika tokoh-tokoh cerita dan dunianya dapat diimajinasi (imaginable) dan jika para tokoh dan dunianya tersebut serta peristiwa-peristiwa mungkin saja dapat terjadi. Dan sebuah cerita dikatakan berkadar plausibilitas jika memiliki kebenaran untuk dirinya sendiri. Artinya, sesuai dengan tuntutan cerita merupakan peniruan realita belaka, melainkan lebih disebabkan ia memiliki koherensi pengalaman kehidupan.
Sebuah cerita dikatakan berkadar plausibilitas jika memiliki kebenaran untuk dirinya sendiri. Artinya, sesuai dengan tuntutan cerita, dan ia tidak bersifat meragukan. Plausibilitas cerita tidak berarti bahwa cerita merupakam peniruan realitas belaka, melainkan lebih disebabkan ia memiliki koherensi pengalaman kehidupan. Pengalaman kehidupan kita dari yang bersifat sepotong-sepotong itu akan tampak koheren dan menjadi satu pengalaman kehidupan yang padu jika saling berkaitan. Dalam realitas kehidupan, kita sering memperoleh berbagai pengalaman baru dan mungkin kurang berkaitan antara yang satu dengan yang lain.

2.7.2 Suspense atau Rasa Ingin Tahu
Menurut Abrams (1981:138) menyatakan suspense merupakan sebuah perasaan yang semacam kurang pasti terhadap peristiwa-peristiwa yang akan terjadi, khususnya yang menimpa tokoh yang diberi rasa simpati oleh pembaca. Sedangkan menurut Kenny (1966:21) mengungkapkan bahwa suspense adalah menyaran pada adanya harapan ketidaktahuan pembaca terhadap akhir sebuah cerita.  Dan sama halnya dengan Suparman (1979:83) yang menyatakan bahwa suspense dapat diartikan daya pengikat perhatian pembaca. Daya tarik bacaan yang mempunyai gaya khusus dalam penyajiannya, sehingga buah pikiran itu mengalir bergairah dalam plot yang indah. Suspense mempunyai persuasi yang halus, menimbulkan gairah, menarik hati, penasaran. Pembaca tidak bosan membacanya. Pembaca tidak penat menelaahnya. Jadi suspense adalah pendorong gairah membaca.
Sedangkan kuat tidaknya dan terjaganya suspense sangat berpengaruh pada pembaca. Sebab pembaca akan menjadi penasaran jikalau belum menyelesaikannya. Dan untuk membangkitkan suspense dalam sebuah cerita dengan menampilkan foreshadowing.
Foreshadowing merupakan penampilan-penampilan cerita yang mendahului. Dan untuk mempertahankan suspense seorang pengarang menggunakan tahap-tahap penampilan foreshadowing sedikit demi sedikit, hingga intensitasnya meningkat.

2.7.3 Surprise atau Unsur Kejutan
Plot sebuah cerita yang menarik, di samping mampu membangkitkan suspense, rasa ingin tahu pembaca, tetapi juga mampu memberikan kejutan, sesuatu yang bersifat mengejutkan. Plot sebuah karya fiksi dikatakan memberikan  kejutan apabila sesuatu yang dikisahkan atau kejadian-kejadian yang ditampilkan menyimpang, atau bahkan bertentangan dengan harapan sang pembaca (Abrams, 1981: 138). Jadi, dalam karya itu terdapat suatu penyimpangan, pelanggaran atau pertentangan apa yang ditampilkan dalam cerita dengan apa yang “telah menjadi kebiasaan”. Dengan kata lain, sesuatu yang telah mentradisi, yang telah mengkonvensi dalam penulisan karya fiksi, disampingi atau dilanggar dalam penulisan karya fiksi itu.

2.7.4 Kesatupaduan
Kesatupaduan memiliki pengertian keberkaitan unsur-unsur yang ditampilkan, khususnya peristiwa-peristiwa fungsional, kaitan, dan acuan, yang mengandung konflik atau pengalaman kehidupan yang hendak disampaikan. Ada benang merah yang menghubungkan berbagai aspek cerita sehingga seluruhnya dapat terasa sebagai satu kesatuan yang utuh dan padu.
Peristiwa dan konflik atau elemen kalimat atau motif dan sekuen untuk teori semiotik yang membangun karya fiksi tentulah amat banyak. Namun, karya fiksi adalah sebuah karya yang direncana, disiasat, dikreasi, dan diorganisasikan sedemikian rupa dengan sengaja sehingga keseluruhan aspek yang dihadirkan dapat saling berhubungan secara koherensif.
Komposisi penyajian plot dalam sebuah karya fiksi, yang sejak Aristoteles sudah dibedakan ke dalam awal-tengah-akhir, tentu saja tak harus urut secara kronologis awal, tengah, dan akhir itu. Penyajian plot selalu tergantung pada daya kreativitas pengarang yang memang bermaksud mencapai efek keindahan dan kebaruan, khususnya lewat cara-cara pemplotan.

2.8 Penahapan Plot
Peristiwa awal yang ditampilkan dalam sebuah karya fiksi mungkin saja langsung berupa adegan-adegan yang memiliki kadar konflik dan dramatik tinggi, bahkan merupakan konflik yang amat menentukan plot karya yang bersangkutan. Padahal, pembaca belum dibawa masuk dalam suasana cerita, belum tahu awal dan sebab-sebab terjadinya konflik. Hal yang demikian dapat terjadi disebabkan urutan waktu penceritaan yang sengaja dimanipulasi dengan urutan peristiwa untuk mendapatkan efek artistik tertentu yang memberikan kejutan dan membangkitkan rasa ingin tahu pembaca. Kaitan antar peristiwa haruslah jelas, logis dan dapat dikenali urutan kewaktuannya terlepas dari penempatannya yang mungkin di awal, tengah, atau akhir.
Aristoteles mengemukakan bahwa tahapan plot harus terdiri dari tahapan awal, tahapan tengah dan tahapan akhir.

2.8.1 Tahapan Plot: Awal- Tengah- Akhir
Untuk memperoleh keutuhan sebuah plot cerita, Aristoteles mengemukakan bahwa sebuah plot haruslah terdiri dari tahap awal (beginning), tahap tengah (midle), dan tahap akhir (end) (Abrams, 1981: 138). Ketiga tahap tersebut penting untuk dikenali, terutama jika kita bermaksud menelaah plot karya fiksi yang bersangkutan.
Tahap Awal. Tahap awal sebuah cerita merupakan tahap perkenalan. Pada umumnya berisi informasi yang berkaitan dengan berbagai hal yang akan dikisahkan pada tahap-tahap berikutnya. Fungsi pokok tahapan awal adalah memberikan informasi dan penjelasan seperlunya yang berkaitan dengan pelataran dan penokohan. Pada tahapan ini, juga sudah dimunculkan sedikit demi sedikit masalah yang dihadapi tokoh yang menyulut konflik, pertentangan-pertentangan dan lain-lain yang akan memuncak dibagian tengah.
Tahap Tengah. Tahap tengah sebuah cerita sering juga disebut sebagai tahap tikaian. Pada tahap ini konflik yang sudah mulai dimunculkan pada tahap awal mengalami peningkatan, semakin menegangkan, hingga mencapai titik intensitas tertinggi atau klimaks.
Tahap Akhir. Tahap akhir sebuah cerita, biasa juga disebut sebagai tahapan peleraian yang menampilkan adegan tertentu sebagai akibat dari klimaks. Tahapan ini merupakan tahapan penyelesaian masalah atau bisa juga disebut sebagai tahapan anti klimaks. Penyelesaian sebuah cerita dapat dikatagorikan menjadi dua yaitu penyelesaian tertutup dan penyelesaian terbuka. Penyelesaian tertutup menunjuk pada keadaan akhir sebuah karya fiksi yang memang sudah selesai. Sedangkan penyelesaian terbuka lebih membuka peluang bagi kelanjutan cerita sebab konflik belum sepenuhnya selesai dan membuka peluang untuk berbagai penafsiran dari pembacanya.

2.8.2 Tahapan Plot: Rincian Lain
      Tahapan plot mempunyai lima bagian antara lain:
a. Tahap situation: tahap penyituasian, berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar atau tokoh-tokoh cerita.
b. Tahap generating circumstances: tahap pemunculan konflik, masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya konflik mulai dimunculkan.
c. Tahap rising action: tahap peningkatan konflik, konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya.
d. Tahap climax: tahap klimaks, konflik dan pertentangan yang terjadi yang dilakui dan ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak.
e. Tahap denouement: tahap penyelesaian, konflik yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian dan ketegangan dikendorkan.

2.8.3 Diagram Struktur Plot
Tahap-tahap pemplotan seperti di atas dapat juga digambarkan dalam bentuk (gambar) diagram. Diagram struktur yang dimaksud, biasanya, didasarkan pada urutan kejadian atau konflik secara kronologis. Jadi, diagram itu sebenarnya lebih menggambarkan struktur plot jenis prgresif-konvensional-teoritis. Misalnya, diagram yang digambarkan oleh Jones (1968: 32) seperti ditunjukkan di bawah ini.




 



2.9 Pembedaan Plot







2.9 Pembedaan Plot
Setiap cerita memiliki plot yang merupakan kesatuan tindak, yang disebut juga sebagai an artistic whole. Namun, kita tidak akan pernah menemukan dua karya fiksi yang memiliki struktur plot yang sama persis. Secara garis besar mungkin saja ada kesamaan, namun secara lebih rinci pasti lebih banyak memiliki perbedaan. Untuk mengetahui wujud struktur sebuah karya, diperlukan kerja analisis. Dari sinilah, perbedaannya dengan plot karya-karya yang lain, kemungkinan berhipogram dengan karya-karya sebelumnya, dan sebagainya.
Plot dapat dikategorikan ke dalam beberapa jenis yang berbeda dengan berdasarkan urutan waktu, jumlah, dan kepadatan.

      2.9.1  Pembedaan Plot Berdasarkan Urutan Waktu
Berdasarkan kriteria waktu maksudnya adalah plot yang didasarkan pada keadaan waktu si tokoh itu sendiri apakah menceritakan tentang masa sekarang si tokoh ataukan masa lalunya atau mungkin dua duanya. Maka plot berdasarkan kriteria waktu itu dibagi menjadi tiga.
a. Plot maju, pada plot maju sang jalan cerita itu menyoroti kehidupan sang tokoh pada jaman sekarang dan peristiwa-peristiwa yang terjadi itu dialami sang tokoh seiring cerita berjalan. Misal si C ketemu K, mereka bermusuhan lalu memutuskan untuk saling serang, mereka sewa pengacara dan menyelesaikan masalah mereka di meja hijau. Kalau dicerita tadi ceritanya itu bersifat progresif, jadi ceritanya itu terus berjalan ke arah depan atau maju menuju masa depan. Dan contohnya bisa disajikan dengan pembatas garis.
       Kronologis/Lurus/Maju/Progresif
A--------B--------C--------D--------E.
      b. Plot mundur, kalau plot maju menceritakan tentang masa sekarang tokoh, plot mundur itu menceritakan tentang masa lalu si tokoh. Biasanya hal ini terjadi di dalam cerita kalau sang tokoh mengingat kehidupan masa lalunya. Di atheis walau digolongkan memakai plot campuran tapi ada beberapa bagian yang menggunakan plot mundur, hal ini terjadi karena plot mundur merupakan salah satu penyusun dari plot campuran. Dan contohnya bisa disajikan dengan pembatas garis. Tak Kronologis/ Sorotbalik/ mundur/ Flash-back/regresif
D1------A------B------C------D2------E.
c. Plot campuran, plot campuran itu terdiri dari plot maju dan plot mundur artinya ceritanya itu menyoroti masa lalu sekarang sang tokoh sekaligus masa lalu sang tokoh. Novel atheis adalah salah satu karya sastra yang menggunakan plot campuran. Di dalam bagian ada yang menceritakan kehidupan sekarang sang tokoh. Lalu mundur lagi ke masa lalu, lalu kembali lagi ke masa depan. Dan contohnya bisa disajikan dengan pembatas garis. Plot Campuran
E------D1------A------B------C------D2.

      2.9.2 Pembedaan Plot Berdasarkan Kriteria Jumlah
Kemungkinan pertama novel (fiksi) menampilkan plot tunggal, sedangkan yang kedua menampilkan sub-subplot.
a. Plot tunggal, pada plot tunggal biasanya hanya mengembangkan sebuah cerita dengan menampilkan seorang tokoh utama protagonis yang sebagai hero.
b. Plot sub-subplot, memiliki lebih dari satu alur cerita yang dikisahkan, atau terdapat lebih dari seorang tokoh yang dikisahkan perjalanan hidup, permasalahan, dan konflik yang dihadapinya. Dari pengertian di atas didukung juga oleh pendapat Abrams dalam Nurgiyantoro (2005: 158) yang merupakan bagian dari plot utama. Ia berisi cerita ‘kedua’ yang ditambahkan yang bersifat memperjelas dan memperluas pandangan kita terhadap plot utama dan mendukung efek keutuhan cerita.

2.9.3 Pembedaan Plot Berdasarkan Kriteria Kepadatan
Kriteria kepadatan dimaksudkan sebagai padat atau tidaknya pengembangan dan perkembangan cerita pada sebuah karya fiksi.
a.  Plot padat, dalam plot padat menyajikan cerita secara cepat, peristiwa-peristiwa fungsional terjadi susul-menyusul dengan cepat, hubungan antar peristiwa juga terjalin secara erat, dan pembaca seolah-olah selalu dipaksa untuk terus-menerus mengikutinya.
b. Plot longgar, dalam menyajikan cerita pergantian peristiwa demi peristiwa penting berlangsung lambat di samping hubungan antara peristiwa penting yang satu dengan yang lain, diselai oleh berbagai peristiwa tambahan, atau berbagai pelukisan tertentu yang dapat memperlambat cerita.

      2.9.4 Pembedaan Plot Berdasarkan Kriteria Isi
Menurut Nurgiyantoro (2005), pembedaan plot di sini lebih merupakan isi cerita itu sendiri secara keseluruhan daripada sekadar urusan plot. Nurgiyantoro mengutip pendapat Friedman (dalam Stevick, 1967: 157-165), membedakan plot jenis ini ke dalam tiga golongan besar, yaitu plot peruntungan (plot of fortune), plot penokohan (plot of character), dan plot pemikiran (plot of thought).
a. Plot peruntungan, berhubungan dengan cerita yang mengungkapkan nasib, peruntungan, yang menimpa tokoh (utama) cerita yang bersangkutan. Plot peruntungan dibedahkan menjadi: (a) plot gerak (action plot), (b) plot sedih (pathetic plot), (c) plot tragis (tragic plot), (d) plot hukuman (punitive plot), (e) plot sentimental (sentimental plot), (f) plot kekaguman (admiration plot).
b. Plot tokohan, menyaran pada adanya sifat pementingan tokoh, tokoh yang menjadi fokus perhatian. Plot tokohan dibedahkan menjadi: (a) pendewasaan (maturity plot), (b) plot pembentukan (reform plot), (c) plot pengujian (testing plot), (d) plot kemunduran (degeneration plot).
c. Plot pemikiran, dalam plot pemikiran mengungkapkan sesuatu yang menjadi bahan pemikiran, keinginan, perasaan, berbagai macam obsesi, dan lain-lain yang menjadi masalah hidup dan kehidupan manusia. Friedman (dalam Nurgiyantoro, 2005: 163) membedakan plot pemikiran ke dalam (a) plot pendidikan (education plot), (b) plot pembukaan rahasia (revelation plot), (c) plot afektif (affective plot), dan (d) plot kekecewaan (disillusionment plot).



BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Hakekat Cerita Rekaan. Cerita rekaan (cerkan) menceritakan sesuatu yang bersifat imajinatif, khayalan, sesuatu yang tidak ada dan tidak terjadi sungguh-sungguh sehingga membaca prosa fiksi atau cerita rekaan untuk tujuan menangkap isi cerita dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut. Membaca cerita secara keseluruhan. Menandai dan mencari makna kata-kata sulit.
Cerita dan plot merupakan dua unsur fiksi yang amat erat berkaitan sehingga keduanya sebenarnya tidak mungkin dipisahkan. Baik cerita maupun plot sama-sama mendasarkan diri pada rangkaian peristiwa sebagaimana yang disajikan  dalam sebuah karya.
Pokok permasalahan merupakan suatu hal yang diangkat ke dalam sebuah karya fiksi. Pemilihan pokok permasalahan ke dalam sebuah karya fiksi biasanya ada kaitannya dengan pemilihan tema.
Plot ialah alur cerita atau rentetan pikiran yang merupakan garis narasi dalam fiksi atau garis paparan dalam non fiksi. Sedangkan pemplotan ialah unsur-unsur yang membangun plot, antara lain: plausibilitas, surprise atau unsur kejutan,  suspense atau rasa ingin tahu, unity atau kepaduan. Dan plot memiliki berbagai macam untuk membangun plot, dari segi peristiwa dll.

3.2 Saran
Sebagai seorang mahasiswa khususnya kita mahasiswa jurusan bahasa indonesia dan sastra selayaknya harus bisa memahami hakikat sebuah karya fiksi baik dari segi cerita, alurnya, pokok permasalahan, dan pemplotan dalam cerita tersebut, dan dapat membedakan antara fakta dan imajinasi dalam cerita tersebut.


           



DAFTAR PUSTAKA

Abrams, M.H. 1981. A Glossary of Literary Terms. New York: Holt, Rinehart and Winshon.
Aminuddin. 1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Malang: CV Sinar Baru.
Chatman, Syemour. 1980. Story and Discourse, Narrative Structure in fiction and film. Itacha: Cornell University Press.
Foster, E.M. 1970. Aspect of the Novel. Harmondswort: Penguin Book.
Jones, Edward H. 1968. Outlines of Literature: Short Stories, Novels, and Poems. New York: The Macmillan Company.
Kartahadimaja, aoh. 1978. Seni Mengarang. Jakarta: Pustaka Jaya.
Kenny, William. 1966. How to Analze Fiction. New York: Monarch Press.
Luxemburg, Jan Van, Mieke Bal, dan Willem G. Weststeijn. 1992 (1984). Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia (Terjemahan Dick Hartoko).
Nurgiyanto, Burhan. 1991. “Peristiwa dalam Trilogi Novel Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jantera Bianglala”, Jurnal Kependidikan, No. 3, Th. XXI, hlm. 104-16.
Stanton, Robert. 1965. An Introduction to Fiction. New York: Holt, Rinehart and Winston.
Stevick, Philip (ed). 1967. The Theory of the Novel. New York: The Free Press.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1956. Theory of Literature. New York: Harcourt, Brace & World, Inc. (Terjemahan dalam Bahasa Indonesia oleh Melani Budiyanto. 1989. Teori Kesustraan. Jakarta: Gramedia).

No comments:

Post a Comment