BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Fiksi : Pengertian dan Hakikat
Dalam
pengertian kesusastraan prosa
juga
disebut fiksi (fikcion), teks naratif (narative text) atau wacana naratif (narrative
discourse) . istilah fiksi dalam pengertian ini adalah cerita rekaan, cerita
khayalan. Hal ini disebabkan karena fiksi merupakan karya naratif yang isinya
tidak menyaran pada kebenaran sejarah (Abrams,1981:61). Karya fiksi
menceritakan suatu yang bersifat rekaan, khayalan, sesuatu yang tidak terjadi
sungguh-sungguh sehingga ia tidak perlu dicari kebenarannya pada dunia nyata.
Istilah fiksi digunakan dalam pertentangan realitas, sesuatu yang benar ada dan
terjadi di dunia nyata sehingga kebenarannya pun dapat dibuktikan dengan data
empiris. Hal ini yang membedakan karya fiksi dan nonfiksi. Tokoh, peristiwa,
dan tempat yang disebut-sebut dalam fiksi adalah tokoh, peristiwa, dan tempat
yang bersifat imajinatif, sedangkan pada karya nonfiksi bersifat faktual.
Sebuah karya imajiner, fiksi menawarkan
berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan, dan kehidupan.Pengarang menghayati
berbagai permasalahan tersebut dengan penuh kesungguhan yang kemudian
diungkapkannya kembali melalui sarana fiksi sesuai dengan pandangannya. Menurut
Altenbernd dan Lewis (1966: 4), fiksi dapat diartikan sebagai ’’Prosa Naratif’’
yang bersifat imajinatif, namun biasanya masuk akal dan mengandung kebenaran
yang mendramatisasikan hubungan-hubungan antarmanusia. Pengarang mengemukakan
hal itu berdasarkan pengalaman dan pengamatannya terhadap kehidupan. Namun, hal
itu dilakukan secara selektif dan dibentuk sesuai dengan tujuannya yang
sekaligus memasukkan unsur hiburan dan penerangan terhadap pengalaman kehidupan
manusia.
Fiksi merupakan cerita yang memiliki
tujuan memberikan hiburan kepada pembaca disamping adanya tujuan estetik.
Membaca sebuah karya fiksi berarti menikmati cerita, menghibur diri untuk
memeperoleh kepuasan batin. Betapa pun saratnya pengalaman dan permasalahan
kehidupan yang ditawarkan, sebuah karya fiksi haruslah tetap merupakan cerita
yang menarik, tetap merupakan bangunan struktur yang koheren dan tetap
mempunyai tujuan estetik (Wellek & Werren, 1956: 212).
Kebenaran dunia fiksi adalah kebenaran yang sesuai
dengan keyakinan pengarang.kebenaran yang telah diyakini ‘’keabsahannya’’
sesuai dengan pandangannya terhadap masalah hidup dan kehidupan. Kebenaran
dalam karya fiksi tidak harus sejalan dengan kebenaran yang berlaku di dunia
nyata, misalnya kebenaran dari segi hukum, moral, agama (dan bahkan
kadang-kadang) logika, dan sebagainya. sesuatu yang tidak mungkin terjadi dan
tidak dianggap benar di dunia, dapat saja terjadi dan dianggap benar di dunia
fiksi. Sebagai contohnya, dalam peristiwa pencurian, misalnya seorang laki-laki
yang melakukan pencurian karena terpaksa dia kelaparan tidak makan lebih dari 2
hari, menurut hukum yang berlaku di dunia nyata laki-laki tersebut tetap
dinyatakan bersalah karena telah mencuri barang seseorang, dan karenaya harus dihukum. Namun,
dalam karya fiksi, dapat saja hal itu tidak terjadi. Karena alasan-alasan
manusiawi, si ‘’pencuri’’ itu mungkin dibebaskan dari segala tuntutan hukum,
bahkan perlu dikasihani.
Wellek & Warren ( 1989: 278-279) mengemukakan
bahwa realitas dalam karya fiksi merupakan ilusi kenyataan dan kesan yang
menyakinkan yang ditampilkan, tidak selalu merupakan kenyatan sehari-hari.
Saran untuk menciptakan ilusi yang dipergunakan untuk memikat pembaca agar mau
memasuki situasi yang tidak mungkin atau luar biasa, adalah dengan cara patuh
pada detil-detil kenyataan kehidupan sehari-hari.
2.2
Pembedaan Fiksi
Fiksi seperti dikemukakan di atas, dapat
diartikan sebagai cerita rekaan. Akan tetapi, pada kenyatanya tidak semua karya
yang mengandung unsur rekaan disebut sebagai karya fiksi.Penyebutan karya fiksi
ditujukan terhadap karya yang berbentuk prosa naratif ( atau juga bisa disebut
teks naratif ).
Karya-karya yang penulisanya tidak berbentuk prosa (karya
fiksi), misalnya berupa dialog dalam drama dan sandiwara,sekenario untuk film,dan
puisi,bentuk-bentuk karya ini dipandang sebagai genre berbeda walaupun
didalamnya ada unsur rekaan.
Karya fiksi, seperti halnya dalam
kesastraan Inggris dan Amerika, menunjuk pada karya yang berjudul novel dan
cerita pendek. Novel dan cerita pendek ( juga roman ) sering dibedakan orang,
meski bersifat teoritis. Di samping itu, orang juga membedakan antara novel
serius dan novel populer yang bersifat teoritis dan tentatif.
2.2.1
Novel dan cerita Pendek
Novel dan cerita pendek merupakan dua
bentuk karya sastra yang sekaligus disebut fiksi. Bahkan novel dalam perkembangannya
dianggap bersinonim dengan fiksi. Novel adalah karangan prosa yang panjang
mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang disekelilingnya
dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku.
Perbedaan antara novel dan cerita pendek
dapat dilihat dari segi panjang cerita. Cerpen adalah sebuah cerita yang
selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai
dua jam, suatu hal yang kiranya tak mungkin dilakukan untuk sebuah novel.
Membaca sebuah novel, untuk sebagaian
besar orang hanya ingin menikmati cerita disuguhkan. Mereka hanya akan dapat
kesan secara umum dan samar tentang plot dan bagian cerita tertentu yang
menarik.
Plot
Novel
berhubungan dengan adanya ketidakterikatan pada panjang cerita yang memberi
kebebasan pada pengarang, umumnya memiliki lebih dari satu plot: terdiri dari
satu plot utama dan sub plot. Plot utama berisi konflik utama yang menjadi inti
persoalan yang diceritakan sepanjang karya itu, sedangkan sub-plot adalah
berupa (munculnya konflik-konflik) tambahan yang bersifat menopang,
mempertegas, dan mengintensifkan konflik utama untuk sampai ke klimaks.
Plot cerpen pada umumnya tunggal, hanya
terdiri dari satu urutan peristiwa yang diikuti sampai cerita berakhir (bukan
selesai, sebab banyak cerpen yang tidak berisi penyelesaian yang jelas,
penyelesaian diserahkan kepada interpretasi pembaca)
Tema.
Novel lebih dari satu tema, mengingat ada plot tambahan. Ada konflik utama dan
ada juga konflik pendukung. Cerpen memiliki satu tema., plotnya tunggal, pelakunya
pun terbatas.
Penokohan.
Dalam novel dan cerpen terbatas, apa lagi yang berstatus tokoh utama. tokoh-tokoh
cerita novel biasanya ditampilkan lebih lengkap, misalnya yang berhubungan
dengan ciri fisik, keadaan sosial, tingkah laku, sifat dan kebiasaan, dan
lain-lain. Tokoh cerpen lebih terbatas dibandingkan dengan tokoh novel, baik
yang menyangkut jati diri tokoh, khususnya yang berkaitan dengan perwatakan,
sehingga pembaca harus merekontruksi sendiri gambaran yang lebih lengkap
tentang tokoh itu.
Latar.
Pelukisan
latar dan cerita untuk novel dan cerpen dilihat secara kuantitatif terdapat
perbedaan yang menonjol. Novel
menuliskan keadaan latar secara rinci sehingga dapat memberikan gambaran yang
lebih jelas,kongkrit dan pasti, cerpen tidak memerlukan
detil-detil yang khusus tentang keadaan latar,
misalnya yang menyangkut keadan tempat dan sosial.
Kepaduan.
Novel atau cerpan yang baik haruslah memenuhi kriteria kepaduan atau unity. Artinya
segala sesuatu yang diceritakan bersifat dan berfungsi mendukung tema.
Penampilan berbagai peristiwa yang saling menyusul yang membentuk plot, walau
tidak bersifat kronologis, namun haruslah tetap saling berkaitan secara logika.
Kepaduan dalam novel merupakan skala yang lebih besar dan kompleks, mencakup
berbagai pengalaman kehidupan yang dipandang aktual. Sedangkan dunia imajiner
yang ditampilkan cerpen hanya menyangkut salah satu sisi kehidupan saja.
Roman
dan Novel. Dalam bahasa Inggris dua ragam fiksi naratif yang
utama disebut romance (romansa) dan novel. Novel bersifat realistis, sedangkan
romansa puitis dan epik. Novel berkembang dari bentuk-bentuk naratif nonfiksi,
misalnya surat, biografi, kronik atau sejarah. Jadi novel berkembang dari
dokumen-dokumen, dan secara stilistik menekankan pentingnya detil dan bersifat
mimesis. Novel lebih mengacu pada realitas yang lebih tinggi dan psikologi yang
lebih mendalam. Romansa, merupakan kelanjutan epik dan romansa abad
pertengahan, mengabaikan kepatuhan pada detil ( Wellek & Warren, 1989: 282-
3).
Sebenarnya Roman itu sendiri lebih tua
dari pada novel (Frey, dalam Stevick, 1967:33-6). Menurut Frey, tidak berusaha
menggambarkan tokoh secara nyata, secara lebih realitis. Ia lebih merumpamakan
gambaran angan, dengan tokoh yang lebih bersifat introvert, dan subjektif.
2.2.2
Novel serius dan novel populer
Dalam karya sastra Indonesia, novel
berdasarkan karakternya dibedakan menjadi dua, yaitu novel serius dan novel
popular. Lalu, apa sebenarnya yang membedakan antara novel popular dan novel
serius, Apakah novel serius bisa dikatakan
lebih baik dibandingkan novel popular, Sejatinya, analisis sastra tidak pernah
memungkiri bahwa novel serius lebih baik dibandingkan novel popular. Hal ini
dikarenakan novel serius dinilai memiliki unsur sastra yang kompleks dan lebih
berkarakter. Membaca novel
serius diperlukan daya konsentrasi yang tinggi karena pengalaman dan
permasalahan diungkapkan sampai ke inti kehidupan yang bersifat
universal,hakikat kehidupan yang tetap bertahan dan tidak ketinggalan zaman
sehingga novel serius tetap menarik untuk dibaca dan dibicarakan contoh novel
serius Romeo dan Juliet,Atheis dan Mahabarata dan Ramayana.
Sedangkan novel popular adalah novel
yang diminati banyak orang saat pada zamannya dan dianggap sebagai kebudayaan
bersama. Novel populer
lebih muda dibaca dan lebih muda dinikmati karena semata-mata meyampaikan
sebuah cerita dan hiburan ,novel populer pun ada yang
disajikan secara baik, ada pula yang tidak. Ada novel populer yang bagus, ada
pula yang buruk masalah
yang disampaiakan megenai efek estetis mengenai kehidupa remaja, cinta
asmara yang terkadang berbau pornografi.
Meskipun
demikian, menurut para pakar kebudayaan populer (popular culture), novel
populer dan semua karya kebudayaan populer, berangkat dari niat komersial.
Tujuan utamanya adalah menghasilkan sesuatu yang bersifat materi. Mengingat
tujuan utamanya komersial, maka karya-karya populer ditujukan untuk berbagai
lapisan masyarakat.
Dari segi latar tempat dan latar
peristiwa, novel populer cenderung menampilkan latar kontemporer dengan berbagai
peristiwa yang aktual. Karena mengejar aktualitas dan kontemporer itu, maka
latar dalam novel-novel populer akan terus berubah sesuai dengan zamannya. Contoh novel populer Cintaku di
Kampus Biru,
Lupus
(dunia SMP/SMA). Mengingat sastra populer lebih mementingkan kesenangan,
kesederhanaan, pe-nyelesaian persoalan yang gampang dan selalu tuntas, dan
tidak merangsang pembacanya untuk berpikir serius. Novel popular hingga
saat ini masih menjadi produk kesenangan-masyarakat. Disamping sifatnya yang
menghibur (entertainment), novel popular sering mengangakat tema yang memang
menjadi perbincangan khalayak.
2.3 Unsur-unsur Fiksi
karya fisik dapat dibedakan dalam
berbagai macam bentuk, baik itu roman, novel, maupun cerpen. Perbedaan berbagai
macam bentuk dalam karya fiksi itu pada dasarnya hanya terletak pada kadar
panjang pendeknya isi cerita, kompleksitas isi cerita, serta jumlah pelaku yang
mendukung cerita itu sendiri. Akan tetapi element-element yang terkandung oleh
setiap bentuk karya fiksi maupun cara pengarang memaparkan isi cerita memiliki
kesamaan meskipun dalam unsur-unsur tertentu mengandung pembeda. Oleh sebab itu
hasil telaah suatu roman, misalnya pemahaman ataupun keterampilan lewat telaah
itu, dapat juga diterapkan baik dalam rangka menelaah novel maupun cerpen.
Sebuah novel merupakan sebuah totalitas
, suatu kemenyeluruhan yang bersifat artistik. sebagai suatu totalitas, novel
mempunyai bagian-bagian, unsur-unsur, yang saling berkaitan satu dengan yang
lain secara erat dan saling menguntungkan. Pembicara unsur fiksi berikut
dilakukan menurut pandangan tradisional dan diikuti pandangan menurut Stanto
(1965) dan Chapman
( 1980).
2.3.1 Intrinsik dan Ekstrinsik
a. Intrinsik
Yang
dimaksud unsur-unsur intrinsik dalam sebuah karya sastra adalah unsur-unsur
pembangun karya sastra yang dapat ditemukan di dalam teks karya sastra itu
sendiri. Untuk karya sastra dalam bentuk prosa, seperi roman, novel, dan
cerpen, unsur-unsur intrinsiknya ada tujuh: 1) tema, 2) amanat, 3) tokoh, 4)
alur (plot), 5) latar (setting), 6) sudut pandang, dan 7) gaya bahasa.
1) Tema
Gagasan, ide, atau pikiran utama
yang mendasari suatu karya sastra disebut tema. Tema merupakan jiwa dari
seluruh bagian cerita. Karena itu, tema menjadi dasar pengembangan seluruh
cerita. Tema dalam banyak hal bersifat ”mengikat” kehadiran atau ketidakhadiran
peristiwa, konflik serta situasi tertentu, termasuk pula berbagai unsur
intrinsik yang lain.Tema ada yang dinyatakan secara eksplisit (disebutkan) dan
ada pula yang dinyatakan secara implisit (tanpa disebutkan tetapi
dipahami).Dalam menentukan tema, pengarang dipengaruhi oleh beberapa faktor:
minat pribadi, selera pembaca, dan keinginan penerbit atau penguasa. Dalam
sebuah karya sastra, disamping ada tema sentral, seringkali ada pula tema
sampingan. Tema sentral adalah tema yang menjadi pusat seluruh rangkaian
peristiwa dalam cerita. Adapun tema sampingan adalah tema-tema lain yang
mengiringi tema sentral.
2) Amanat
Amanat
adalah ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui
karyanya. Sebagaimana tema, amanat dapat disampaikan secara implisit yaitu
dengan cara memberikan ajaran moral atau pesan dalam tingkah laku atau
peristiwa yang terjadi pada tokoh menjelang cerita berakhir, dan dapat pula
disampaikan secara eksplisit yaitu dengan penyampaian seruan, saran,
peringatan, nasehat, anjuran, atau larangan yang berhubungan dengan gagasan
utama cerita.
3) Tokoh
Tokoh adalah individu ciptaan/rekaan
pengarang yang mengalami peristiwa-peristiwa atau lakuan dalam berbagai
peristiwa cerita. Pada umumnya tokoh berwujud manusia, namun dapat pula
berwujud binatang atau benda yang diinsankan
4)
Alur (Plot)
Alur adalah urutan atau rangkaian
peristiwa dalam cerita. Alur dapat disusun berdasarkan tiga hal, yaitu:
- Berdasarkan urutan waktu terjadinya
(kronologi). Alur yang demikian disebut alur linear.
- Berdasarkan hubungan sebab
akibat (kausal). Alur yang demikian disebut alur kausal.
- Berdasarkan tema cerita. Alur
yang demikian disebut alur tematik. Dalam cerita yang beralur tematik,
setiap peristiwa seolah-olah berdiri sendiri. Kalau salah satu episode
dihilangkan cerita tersebut masih dapat dipahami.
Adapun hal yang harus dihindari
dalam alur adalah lanturan (digresi). Lanturan adalah peristiwa atau episode
yang tidak berhubungan dengan inti cerita atau menyimpang dari pokok persoalan
yang sedang dihadapi dalam cerita.
5) Latar (setting)
Latar adalah segala keterangan,
petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, suasana, dan situasi
terjadinya peristiwa dalam cerita. Latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur
pokok:
a.
Latar tempat, mengacu pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam
sebuah karya fiksi.
b.
Latar waktu, berhubungan dengan masalah ‘kapan’ terjadinya peristiwa-peristiwa
yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
c.
Latar sosial, mengacu pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku sosial
masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Latar sosial
bisa mencakup kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan
hidup, cara berpikir dan bersikap, serta status sosial.
6) Sudut pandang (point of view)
Sudut pandang adalah cara memandang
dan menghadirkan tokoh-tokoh cerita dengan menempatkan dirinya pada posisi
tertentu. Dalam hal ini, ada dua macam sudut pandang yang bisa dipakai:
a.
Sudut pandang orang pertama (first person point of view)
Dalam pengisahan cerita yang
mempergunakan sudut pandang orang pertama, ‘aku’, narator adalah seseorang yang
ikut terlibat dalam cerita. Ia adalah si ‘aku’ tokoh yang berkisah, mengisahkan
kesadaran dirinya sendiri, mengisahkan peristiwa atau tindakan, yang diketahui,
dilihat, didengar, dialami dan dirasakan, serta sikapnya terhadap orang (tokoh)
lain kepada pembaca. Jadi, pembaca hanya dapat melihat dan merasakan secara
terbatas seperti yang dilihat dan dirasakan tokoh si ‘aku’ tersebut.
b.
Sudut pandang orang ketiga (third person point of view)
Dalam cerita yang menpergunakan
sudut pandang orang ketiga, ‘dia’, narator adalah seorang yang berada di luar
cerita, yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata
gantinya: ia, dia, mereka. Nama-nama tokoh cerita, khususnya yang utama, kerap
atau terus menerus disebut, dan sebagai variasi dipergunakan kata ganti.
7) Gaya bahasa
Gaya
bahasa adalah teknik pengolahan bahasa oleh pengarang dalam upaya menghasilkan
karya sastra yang hidup dan indah. Pengolahan bahasa harus didukung oleh diksi
(pemilihan kata) yang tepat. Namun, diksi bukanlah satu-satunya hal yang
membentuk gaya bahasa.
Gaya
bahasa merupakan cara pengungkapan yang khas bagi setiap pengarang. Gaya
seorang pengarang tidak akan sama apabila dibandingkan dengan gaya pengarang
lainnya, karena pengarang tertentu selalu menyajikan hal-hal yang berhubungan
erat dengan selera pribadinya dan kepekaannya terhadap segala sesuatu yang ada
di sekitamya.
Gaya
bahasa dapat menciptakan suasana yang berbeda-beda: berterus terang, simpatik, menjengkelkan, emosional,
dan sebagainya. Bahasa dapat menciptakan suasana yang tepat bagi adegan seram,
adegan cinta, adegan peperangan dan lain-lain.
b.
Ekstrinsik
Di pihak lain unsur ekstrinsik adalah
unsur-unsur yang berada diluar karya sastra itu, tapi secara tidak langsung
mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Atau secara lebih
khusus ia dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi bangunan cerita
sebuah karya sastra, namun sendiri tidak ikut menjadi bagian didalamnya. walau
demikian, unsur ekstrinsik cukup berpengaruh terhadap totalitas bangun cerita
yang dihasulkan. oleh karena itu, unsur intrinsik sebuah novel haruslah tetap
dipandang sebagai sesuatu yang penting.
2.3.2 Fakta, Tema, dan Sarana Cerita
Stanton (1965: 11-36) membedakan unsur pembangun sebuah novel ke dalam tiga bagian; fakta, tema, dan sarana pengucapan (sastra).
- Fakta
(facts) dalam sebuah cerita meliputi karakter (tokoh cerita), plot, dan
setting merupakan unsur faktual yang dapat dibayangkan peristiwanya,
eksistensinya, dalam sebuah novel.
- Tema
adalah sesuatu yang menjadi dasar cerita, yang berkaitan dengan berbagai
pengalaman kehidupan seperti masalah cinta, kasih, rindu, takut, maut,
religius dll. Tema bersinonim dengan ide atau tujuan utama cerita.
- Sarana
pengucapan sastra, adalah teknik yang digunakan oleh pengarang untuk
memilih dan menyusun detil-detil cerita (peristiwa dan kejadian) menjadi
pola yang bermakna. Macam sarana sastra antara lain, sudut pandang
penceritaan, gaya (bahasa), dan nada, simbolisme, dan ironi.
Ketiga unsur tersebut harus dipandang
sebagai satu kesatuan dalam rangkaian keseluruhan cerita, bukan sebagai sesuatu
yang berdiri sendiri dan terpisah satu dengan yang lain. Tema adalah sesuatu
yang menjadi dasar cerita. Ia selalau berkaitan dengan berbagai pengalaman
kehidupan, seperti masalah cinta, kasih, rindu, takut, maut, religius, dan
sebagainya. Dalam hal tertentu sering tema dapat disinonimkan dengan ide atau
tujuan utama cerita.
Setiap novel akan memiliki tiga unsur
pokok, sekaligus merupakan unsur terpenting, yaitu tokoh utama, konflik utama,
dan tema utama. Ketiga unsur ini saling berkaitan erat dan membentuk satu
kesatuan yang padu, kesatuan organismecerita. Ketiga unsur inilah yang terutama
membentuk dan menunjukkan sosok cerita dalam sebuah karya fiksi. Setiap
sub-konflik bersifat menompang, memperjelas, dan mempertegas eksistensi ketiga
unsur utama cerita tersebut.
2.3.3
Cerita dan Wacana
Selain pembedaan unsur fiksi diatas,
menurut pandangan struktualisme, unsur fiksi dapat dibedakan kedalam unsur
cerita dan wacana. pembedaan
tersebut ada kemiripan dengan pembedaan tradisional yang berupa unsur bentuk
dan isi di atas. Cerita merupakan isi dari ekspresi naratif, sedangkan wacana merupakan bentuk dari sesuatu cerita atau isi yang di
ekspresikan.
Cerita terdiri dari peristiwa dan wujud keberadaanya dan
eksistensinya dapat berupa tindakan manusia dan kejadian yang bukan dari hasil
tindakan manusia misalnya peristiwa alam gunung meletus. Wujud eksistensinya
terdiri dari tokoh dan unsur-unsur latar.
Sedangkan wacana merupakan bentuk dari sesuatu cerita atau isi yang di
ekspresikan, dan merupakan
sarana untuk mengungkapkan isi cerita. Menurut pandangan
strukturalisme unsur fiksi dibagi dua yaitu cerita dan wacana. Cerita merupakan
isi dari ekspresi naratif, sedangkan wacana merupakan bentuk dari sesuatu yang
diekspresikan (Chatman, 1980:23).
Aspek cerita terdiri dari peristiwa(
yang berunsur aksi dan kejadian) seperti disebut diatas merupakan bentuk isi.
Unsur merupakan substansi isi, adalah keseluruhan semesta, berbagai bentuk
kemungkinan objek dan peristiwa (kejadian), baik yang ada di dunia nyata maupun
(yang hanya) dunia imajinatif, yang dapat diimitasikan ke dalam karya naratif
sebagaimana yang tersaring lewat kode sosial –budaya pengarang. Aspek wacana
juga terdiri dari unsur bentuk wacana dan substansi wacana. Unsur wacana berupa struktur transmisi naratif
(linearitas) penceritaan atau susunan, modus, kala, frekuensi, perspektif, atau
sudut pandang, dan lain-lain. Unsur substansi wacana berwujud media, sarana,
yang dapat dipergunakan, untuk mengkomunikasikan sesuatu (gagasan, cerita) yang
ingin diungkapkan.
Apa yang dikemukakan di atas dapat
disajikan secara ringkas dalam bentuk diagram sebabagi berikut ( dimodifikasi
dari diagram Chatman, 1980: 19 dan 20)
Aksi
Peristiwa
Cerita Kejadian
Tokoh
Eksistensinya
Teks
Naratif Latar
Bentuk –
Strukturtranmisi naratif
( susunan, frekuensi, perspektif,
dan lain-lain)
Wacana
Substansi – Wujud Ekspresi (verbal, sinematis, pantomin, gambar,
dan lain-lain).
No comments:
Post a Comment