FEMINISME PADA NOVEL IBUK
KARYA IWAN SETYAWAN :KAJIAN STRUKTURAL
Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Apresiasi Prosa Fiksi
Dosen
pengampu:
Syamsun
M.A.
Oleh
:
Irna Ardiana
NIM:
5.11.06.13.0.008
PROGRAM
STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
ISLAM MAJAPAHIT
2013
Sinopsis Novel Ibuk
Karya Iwan Setyawan
Masih belia usia Tinah
saat itu. Ia tak bisa menyeleseikan sekolah karena jatuh sakit menjelang ujian
akhir kelas 6. Ketika berusia 16 tahun, ia membantu neneknya, Mbok Pah,
berdagang baju bekas di Pasar Batu. Semakin lama ia juga semakin pandai dalam
berdagang apalagi tawar menawar. Ia jarang berbicara dengan penjaga kios-kios
lain. Apalagi dengan Cak Ali, pemuda penjual tempe disebelah kios Mbok Pah. Cak
Ali sering memberi tempe kepada Tinah sebelum menutup kiosnya. Begitu pula
Tinah sering membawakan sarapan buat Cak Ali. matanya tak
pernah lepas dari Tinah. Cak Ali menawarkan untuk mengantarkan Tinah pulang
dengan sepeda pancal, tapi Tinah lebih memilih berjalan kaki dengan Mbok Pah.
Disaat usia Tinah sudah 17 tahun Mbok Pah ingin menjodohkan dengan Cak Ali tapi
Tinah hanya diam saja.
Suatu pagi di Pasar
Batu, di depan kios Mbok Pah, jajaran angkot mulai menurunkan penumpangnya.
Para sopir angkot dan kernet pun banyak yang turun untuk sarapan. Salah satunya
pemuda berusia sekitar 23 tahun. Seorang kernet yang telah lebih dari setahun
datang dan pergi bersama angkotnya di Pasar Batu. Ia memang terlihat berbeda
dengan sopir dan kernet lain. Ia dekat dengan semua orang, dari ibu-ibu sampai
preman. Ia juga dicap sebagai playboy pasar. Seperti biasa, playboy pasar
bersama sopir angkotnya mencari sarapan di warung langganannya yang terletak sekitar
lima kios dari kios kecil Mbok Pah. Saat sopirnya pergi ke toilet, ia disuruh
menunggunya. Lalu ia menunggunya di depan kios Mbok Pah, tetapi Mbok Pah entah
kemana mungkin ia pergi mencari sego empok buat Tinah. Di balik tumpukan
baju, Tinah melihat kernet angkot itu sedang menatapnya. Tatapannya membekas di
hati Tinah. Lalu ada yang memanggil kernet angkot itu dengan sebutan Sim, Tinah
berpikir kalau namanya adalah Sim.
Keesokannya pada malam
hari entah dari mana Sim mendapat alamat Tinah. Dan datang kerumah Tinah
padahal dia sudah mempunyai pacar di Malang. Tinah terkejut akan kedatangan
Sim. Lalu Tinah pergi ke dapur untuk menyuguhkan teh hangat, kemudian duduk di
samping Mbok Pah. Lalu Mbok Pah meninggalkan ruang tamu, menyiapkan makan malam
untuk suaminya. Kini tinggal mereka berdua. Mereka tak tahu harus memulai
pembicaraan dari mana. Kemudian Tinah bertanya tempat tinggal Sim untuk
mengawali pembicaraan. Ternyata Sim tinggal bersama kakak angkatnya, Mbak Gik,
di Jalan Darsono, Desa Ngaglik. Baru 4 tahun. Sebelumnya dia tinggal di Malang
bersama orang tua angkatnya. Karena orang tua angkatnya meninggal dia harus
ikut kakak angkatnya di Batu. Dia juga tak pernah melihat orang tua kandungnya
yang tinggal di Yogya karena ketika dia berumur 3 bulan diasuh oleh saudara
bapaknya di Malang.
Semenjak pertemuan itu
kini telah mengubah hidupnya seorang playboy pasar yang bernama Abdul Hasyim
(Sim) yang juga kernet angkot akhirnya mendaratkan hatinya pada gadis penjual
pakaian bekas bermata teduh yang bernama Ngatinah (Tinah) di Pasar Batu. Mereka
sering keluar untuk nonton layar tancep. Suatu ketika Sim mengajak Tinah narik
angkot, saat sampai di kota malang tiba-tiba Tinah muntah karena dia tak
terbiasa naik angkot, setelah narik angkot mereka pun langsung pulang, saat
mereka tiba dirumah Tinah, Sim memberanikan diri untuk mengatakan keinginannya
melamar Tinah. Tetapi, pada saat pagi tiba Mbok Pah mengatakan bahwa ada orang
lain yang juga ingin melamar Tinah. Tetapi, sepertinya Tinah sudah yakin hidup
bersama Sim.
Tanpa persiapan, tanpa
rasa takut, dengan ketulusan, dan kesederhanaan mereka memulai hidup baru.
Gadis itu tidak lulus SD dan sang playboy pun tidak lulus SMP. Namun begitulah
hidup, mereka melawan rasa takut dan menantang dunia untuk kehidupan yang lebih
baik. Keduanya menjadi Ibuk dan Bapak kini. Ibuk telah melahirkan 5 orang anak
dengan tahun yang berbeda. Dan Ibuk juga pernah mengalami keguguran setelah
melahirkan anak ke-2 nya. Anak pertama Ibuk bernama Isa, kemudian anak ke-2
bernama Nani, ke-3 bernama Bayek, ke-4 bernama Rini dan anak ke5 bernama Mira.
Dengan berjalannya waktu anak-anaknya semakin besar, semakin besar pula
pundi-pundi uang yang harus mereka kumpulkan. Tak hanya itu untuk urusan
sekolah, makan sehari-hari, rumah yang bocor, angkot yang selalu ngadat, hingga
rapot yang tertahan mengharuskan Ibuk mengirit pengeluaran dan memastikan
anak-anak dan suami tidak mengeluh meski dirinya mengalah tak kebagian. Harta
baginya adalah anak-anaknya dan suaminya.
Anak-anaknya adalah
anak yang rajin dan pintar. Mereka membantu Ibuk untuk membersikan rumah saat
akan berangkat sekolah dan setelah sepulang sekolah, tanpa ada perintah ataupun
peraturan yang mengharuskan anak-anaknya untuk melakukan itu. Nilai-nilai yang
dicapai oleh anak-anaknya pun selalu tak ada yang jeblok, meraka semua pun
selalu mendapatkan rangking. Padahal sewaktu mereka berumur 6 bulan, hanya
dikasih Ibuk makan bubur beras merah. Ibuk memang tak punya pemikiran apa-apa
akan masa depan anak-anaknya kelak. Ibuk merawat anak-anaknya belajar dari
ibunya yang ketika Ibuk masih kecil dan Ibuk selalu memperhatikan Ibunya
merawat adik-adiknya. Setiap anak-anak Ibuk akan menjalankan ujian, mereka
selalu minta didoakan agar ujianya berjalan lancar dan mendapat nilai yang
memuaskan. Isa adalah seorang kakak yang baik, dia tak pernah letih untuk
mengajari adik-adiknya mengerjakan PR dan membantu meringankan beban orang
tuanya.
Saat Bayek meminta
untuk dibelikan buku baru dan Nani meminta dibelikan sepatu karena sepatunya
sudah jebol. Sedangkan Isa hanya mengutarakan keinginannya untuk melanjutkan ke
SMP. Ibuk hanya menjawabnya dengan jawaban yang sederhana, ia berusaha agar
mereka tidak mengeluh karena Ibuk masih mengumpulkan uang. Terkadang ibu juga
pinjam uang kepada Bang Udin, tukang kredit asli Bandung. Dari Bang Udin, Ibuk
selalu berbelanja peralatan dapur dan mencicilnya setiap hari. Suatu ketika
Bayek ingin ikut les bahasa Inggris tetapi Ibuk tidak mempunyai uang untuk
membayarnya. Lalu Ibuk menyuruh Bayek untuk belajar dengan Isa, kakanya. Ibuk
memang mempunyai tekad agar anak-anaknya pandai dan bisa menyeleseikan sekolah
sampai sarjana agar mereka tidak seperti dirinya. Bayek tetap saja seperti dulu
selalu merengek ketika minta sesuatu, ia baru diam kalau permintaannya
terpenuhi dan selalu menemani ibunya memasak di dapur.
Sebulan setelah ulang
tahun Bayek yang kedua, dia tak sadarkan diri. Padahal dia tidak demam, batuk
ataupun pilek. Lalu Mak Gini, ibu Tinah menyarankan untuk dikompres tetapi
tetap saja dia tidak bangun akhirnya Bayek dibawa ke Dokter Etik. Dengan
rangsangan-rangsangan yang diberikan dokter Etik ternyata tak membangunkan
Bayek dan Ibuk semakin panik. Akhirnya Bayek dibawa pulang kembali dan bergegas
ke rumah Mbah Carik, seseorang yang dikenal sebagai orang pinter di Gang Buntu,
dan Mbah Carik mengatakan bahwa Bayek telah mati suri dan menyarankan untuk
menunggunya sampai Zuhur tiba. Tiba-tiba Ibuk teringat akan perkataan Mbah
Carik bahwa suatu saat nanti Bayek lah yang akan mengangkat hidup keluarganya
nanti. Agak lama kemudian azan Zuhur pun berkumandang dan Bayek pun membuka
mulut lalu matanya. Semua itu terlihat tak terjadi apa-apa, dia terlihat
seperti biasanya ketika bangun dipagi hari.
Pada suatu hari
tiba-tiba Bapak pulang kerja agak siang dengan belepotan oli dan wajah yang
terlihat capek sekali, bayek bertanya saja tak dihiraukannya. Lalu Ibuk
bertanya kenapa Bapak pulang cepat tapi tak dihiraukan juga. Agak lama kemudian
saat Ibuk bertanya tentang mobil angkot, Bapak membuka mulutnya, beliau
mengeluh karena angkotnya akhir-akhir ini sering mogok ditambah lagi besok
adalah waktunya bayar SPP. Setelah mengucapkan keluhannya beliau langsung pergi
lagi. Ibuk pun menangis tiba-tiba Bayek menghampirinya. Kemudian Ibuk mengajak
Bayek ke hutan bambu, disitulah Ibuk meluapkan kesedihannya dan Bayek ikut
menangis. Dalam hati Bayek, dia telah berjanji bahwa jika dia sudah besar dia
akan membahagiakan Ibuk dan mengubah hidup keluarganya.
Saat Bayek melewati
tahun pertama di SMP Negeri 1 Batu, ibunya berpesan untuk tidak merengek lagi
ketika ingin dibelikan sesuatu. Waktu itu dia hanya diam di pojok dapur sambil
menemani Ibuk memasak seperti biasanya. Lalu Ibuk mengatakan kepada Bayek bahwa
Ibuk harus mengumpulkan uang buat sunatan Bayek. Kemudian Bayek bilang kepada
ibunya bahwa dia ingin segera disunat karena teman-temannya sudah disunat.
Akhirnya hari yang dinantikan Bapak tiba. Anak lelaki satu-satunya telah
disunat. Memang tak ada perayaan besar dan tak ada undangan tapi rumah Bayek
dipenuhi saudara dan tetangga. Isa, Nani, Rini sibuk menyajikan nasi rawon dan
teh manis kepada tamu-tamu. Mira juga ikutan sibuk. Bayek hanya duduk di ruang
tamu. Banyak tetangga dan saudaranya yang memberinya amplop. Lalu amplop
diberikan kepada Ibuk tapi Ibuk menyuruh Bayek untuk menabung uang itu untuk
masa depannya.
Waktu pun terus
berjalan, dengan kesabaran, kesederhanaan, dan jerih payah Bapak dan Ibuk dalam
mendidik anak-anaknya begitu kuat. Janji Ibuk untuk menyekolahkan anak-anaknya
begitu sacral. Setelah lulus SMA, Isa kursus computer di Malang dan memberikan
les privat di Batu. Ibuk sedih karena Isa belum berhasil kuliah. Nani, anak
kedua, lulus SMA setahun kemudian dan kuliah di Universitas Brawijaya. Isa juga membantu biaya kuliah dan
keperluan Nani. Dua tahun kemudian Bayek lulus SMA dan mendapatkan PMDK di
Jurusan Statistika IPB. Bayek merasa
lega karena takut menjadi sopir seperti Bapaknya. Dan Ibuk merasa senang karena
anak lelaki satu-satunya mendapatkan undangan untuk kuliah di Bogor. Tetapi
Bayek takut kalau Ibuk tidak kuat membiayainya. Lalu Ibuk meyakinkan Bayek
untuk berangkat ke Bogor. Angkot pun dijual untuk membiayai kuliah Bayek dan
Bapak pindah kerja menjadi sopir truk. Di Bogor Bayek berjuang melawan rasa
takut, kangen akan keluarga dan rumah kecilnya. Hampir setiap hari ia menelpon
Ibuk. Empak tahun pun berlalu Bayek telah menjadi sarjana, ini merupakan
kebahagian buat dirinya dan keluarganya ditambah lagi dia adalah lulusan
terbaik dari Jurusan MIPA dengan nilai IPK 3,52.
Beberapa hari kemudian
Bayek mendapat panggilan kerja di Jakarta. Seperti biasa Bayek selalu meminta
dan mengingatkan Ibuk untuk selalu mendoakannya. Wawancara pun berjalan lancar
dan dia diterima. Setiap gajian dia selalu mengirim sedikit penghasilannya
untuk keluarganya. Meskipun dia sibuk, dia selalu berusaha menelpon ibunya. Dan
ibunya tak pernah letih mengingatkan untuk menabung dan tidak meninggalkan
solat dan makan. Tiga tahun sudah dia di Jakarta, benih yang ia tanam selama
tiga tahun telah mendatangkan kesempatan besar yaitu sebuah tawaran kerja di
New York. Dengan restu dari orang tuanya ia pun langsung berangkat. Ini adalah
pertama kalinya ia menghirup udara musim gugur. Dari Bandara John F. Kennedy,
mobil menjemputnya menuju kota kecil di luar New York City.
Dia terperangah melihat
keindahan Manhattan yang terlihat seperti sebuah berlian besar dari kejauhan.
Ribuan gedung pencakar langit berdiri berhimpitan seperti hutan rimba. Saat
mobil melewati Bronx, melintasi gedung-gedung yang sebagian besar lebih tua dan
tak setinggi gedung-gedung di Manhattan. Setelah melewati Bronx, ia telah
memasuki daerah Westchester, dan disitulah tak lagi terlihat deretan gedung
tapi deretan pohon. Akhirnya ia pun sampai di Westchester Avenue. Sesampai di
apartemennya dia langsung menelpon ibunya. Seseorang yang bernama Mbak Ati
menemaninya beberapa bulan di New York, Mbak Ati juga memperkenalkan kehidupan
di New York. Rindu akan keluarganya semakin besar ketika dua bulan di New York
Isa menikah, ia tak bisa menghadiri acara akad nikah kakak pertamanya. Dia hanya
bisa mengikuti akad nikah lewat telepon. Pada bulan ketiga Mbak Ati teman
Indonesia satu-satunya pindah ke Australia dan Bayek pun harus memulai hidup
baru sendiri. Dan bekerja di Pleasantville. Meskipun dengan komunikasi yang
kurang bagus, pada bulan keempat dan kedelapan dia telah mendapatkan
penghargaan “Employee of the Month”.
Setahun sudah dia tak
pulang, meski bahasa Inggrisnya belum lancar, di bulan Januari 2001, dia
dipromosikan menjadi senior data processing executive. Dia tak pernah
lupa untuk mengirim sebagian gajinya untuk keluarganya di Batu. Dua bulan
setelah mendapat promosi, kantornya pindah ke East Village, Manhattan dan
apartemennya juga pindah di 34th Street. Suatu ketika kejadian yang
menggetarkan hidupnya pada tanggal 4 Juli 2001, dia telah dirampok ketika
memasuki stasiun K.A. Fleetwood di Westchester, saat akan melihat pesta kembang
api di Manhattan. Dua orang menghentikan langkahnya, sebuah pisau ditempelkan
di perutnya. Uangnya dirampas dan mukanya ditonjok beberapa kali saat ia tak mau
menyerahkan ATM-nya. Tapi untung dia selamat meskipun mukanya biru-biru bekas
tonjokan.
Belum selesei trauma
akibat perampokan, sebuah peristiwa mengentak perjalanan Bayek. Sebuah pesawat
menabrak salah satu tower World Trade Center. Beberapa saat kemudian
South Tower dan North Tower telah runtuh gedung-gedung disekitarnya juga.
Jaringan komunikasi sibuk sehingga dia tak bisa menghubungi keluarganya. Ibunya
semakin cemas karena juga tak bisa menghubungi Bayek. Suasana duka cita tak
hanya di New York City tapi di seluruh Amerika. TV menyiarkan kejadian tanpa
jeda. Agak lama kemudian Bayek bisa menghubungi keluarganya untuk memberikan
kabar bahwa dia baik-baik saja, hati Ibuk lega.
Beberapa tahun dia di
Amerika, dia semakin rindu akan kehangatan keluarganya. Dia ingin sekali pulang
tetapi misinya belum selesei. Awal tahun 2003 dia mendapat promosi menjadi manager
data processing executive. Dan dia juga semakin mempunyai banyak pegawai.
Lalu dia mengirim uang untuk membangun satu lantai dirumahnya. Setelah tiga
bulan rumah jadi Nani menikah dan dia nekat pulang meski hanya seminggu, demi
mengikuti acara pernikahan kakaknya dan rumah kecil barunya. Lalu dia kembali
ke New York. Di New York dia mempunyai banyak teman yang sangat baik dan peduli
dengan Bayek. Tetapi banyak teman-temannya meninggalkan New York dan kembali ke
negaranya untuk memulai hidup baru di negaranya sendiri. Suatu ketika dia telah
berdebat dengan salah satu pegawainya yang bernama Victor, karena beda
pendapat. Karena sering terjadi perdebatan antara keduanya, Bayek belajar untuk
memahami karakter anak buahnya. Semakin lama hubungan mereka kembali membaik.
Lebaran tinggal
seminggu lagi. Beberapa kali lebaran dia tak bisa pulang, saat pagi tiba ia
bekerja seperti biasanya, tiba-tiba Enzu, pegawainya datang terengah-engah
karena disamping apartemennya terdapat seorang nenek tergeletak dalam membusuk
di sofa ruang tamu. Dari hasil autopsi nenek itu meninggal karena usia tuanya.
Seminggu setelah mendengar cerita kematian Enzu, lebaran pun tiba ia hanya bisa
merayakan lebaran sendiri di NYC. Setelah Bayek salat Id di masjid Indonesia di
Queens, ia kembali ke kantor dan bekerja seperti biasa. Ada semangat ketika ia
mendapat telpon dari orangtua dan saudara-saudaranya.
Pada awal tahun 2005,
ia mendapatkan promosi menjadi senior manager operations. Kali ini dia
merayakan dengan membantu Nani membeli rumah, sementara dia berlibur ke
Prancis. Dulu ia setelah membangun kos di Yogya untuk Bapak, ia pergi ke
Italia. Titik demi titik kehidupan ia
lalui. Dari apartemennya di Westchester Avenue, ia pindah ke Manhattan dua
tahun kemudian. Apartemen pertamanya terletak di persimpangan 34th
Street dan 9th Avenue. Karena ia ingin mencoba area yang berbeda, ia
pindah ke studio di 88th Street Upper East Side. Setelah dua tahun
di Upper East Side, ia pindah ke Newport, New Jersey. Di Newport ini pula ia
mendapat cobaan baru. Ia terjatuh di trotoar disebelah gedung apartemennya, ia
merasa kepalanya pusing. Lalu ia memeriksakan ke dokter dan ternyata ia terkena
vertigo. Ibunya hanya bisa menguatkan semangatnya. Selama di Newport, ia juga
membantu Isa dan Rini untuk kuliah lagi. Kini keduanya telah sarjana dan
menjadi guru SD.
Di musim semi keenam ia
kembali ke Manhattan. Ia menemukan semangat baru disana. Di musim semi ketujuh
ia memberikan kejutan untuk keluarganya bahwa ia telah mengirim uang untuk
pernikahan adiknya, Rini. Tapi, ia tak bisa menghadiri pernikahannya karena
kerjaannya saat itu lagi padat. Setelah kerjaanya sudah beres, kali ini ia
berlibur ke Rio de Jainero, Brazil, setelah berbagi dengan keluarganya. Di
musim semi ketujuh, ia pulang ke Indonesia. Kali ini ia menghadiri pernikahan
Mira. Setelah menhadiri pernikahan itu, semakin besar keinginannya untuk segera
menyeleseikan misinya. Setelah 1,5 tahun di SoHo, ia berpikir untuk kembali ke
Indonesia dan bekerja di Jakarta atau Singapura. Tiba-tiba sebuah kejutan
datang, ia dipromosikan menjadi Director Internal Client Management.
Anak buahnya semakin banyak dan tersebar di New York, Chicago, san Franscisco
dan India.
Di musim semi
kedelapan, ia meminta izin untuk tidak masuk kerja 1 hari. Kali ini ia membantu
Mira membeli rumah di Karawang. Di musim semi kesembilan, ia memutuskan untuk
pulang ke Indonesia. Ia menyerahkan surat pengunduran diri, tapi atasanya meminta
untuk mempertimbangkan lagi. Ia diberikan waktu 2 bulan pulang dan memikirkan
keputusannya. Selama di rumah ia bersama keluarganya bersama
keponakan-keponakannya. Ia juga pergi backpacking ke Bali dan Lombok, dan
terakhir Gunung Rinjani. Setelah 2 bulan di Indonesia, ia kembali ke New York
dan ia tak langsung mengundurkan diri karena atasanya sangat baik hati. Di
musim semi kesepuluh hatinya kini telah bulat untuk mengundurkan diri meskipun
atasannya menawarkan jabatan lebih tinggi yaitu menjadi direktur di North
Amerika.
Setelah melalui 9 musim
panas dan 10 musim gugur, akhirnya ia pulang kampung bulan juni 2010. Bapak
menjemputnya di Bandara Juanda Surabaya dan keponakannya sengaja meliburkan
diri dari sekolah. Kini ia kembali dengan membawa 5 buah koper dan 40 kardus
berisi barang-barang yang ia kumpulkan selama hidup di NYC. Seminggu setelah
pulang, ia mendapat tawaran kerja sebagai Director Marketing Science di sebuah
perusahaan marketing research multinational di Singapura. Ia dipercaya
mengawasi operasi departemen Marketing Science di enam Negara di Asia Tenggara,
gajinya pun ditawarkan lebih besar daripada saat kerja di New York. Tapi sehari
sebelum menandatangani kontrak ia berpikir lagi. Akhirnya perusahaan Singapura
pun meminta mempertimbangkan keputusannya dnn mereka menunggu sampai bulan
Desember 2010.
Selama di Batu ia
membuat sebuah buku fotografi yang disusun bersama dua temannya, Herman Aga dan
Abdul Sukur. Sebuah buku berjudul Melankoli Kota Batu dan akhirnya
berkelanna hingga New York City, San Francisco, Singapura, Chicago dan Quebec.
Malam itu, ia berjanji menulis sejarah keluarga buat keponakan-keponakannya.
Sejak semalam ia menghabiskan waktunya untuk menulis, kadang ia sampai lupa
makan siang, kadang sampai jam 2 siang. Kadang sampai tak sempat mandi. Empat
bulan berlalu. Akhirnya tulisan Bayek selesei, ia memang tak punya foto
keluarga tapi ia punya buku keluarga begitulah katanya. Dan dia juga mempunyai
kemauan untuk jadi penulis. Beberapa minggu setelah novel diterbitkan, ia sering
pergi keluar kota untuk talkshow. Disaat ia dirumah, ia sering menghabiskan
waktu di kamar untuk menulis dan membaca. Ibu, Bapak dan keempat saudaranya
juga pernah membaca buku karya Bayek.
Setahun semenjak
bukunya terbit. Ia berkeliling Indonesia dan Ia juga menjadi storyteller.
Jadwal talkshowx semakin padat pula. Ada beberapa tawaran kerja di Jakarta atau
Singapura, tapi ia masih belum ingin kembali ke dunia korporat. Bulan September
2011, Bayek dan Ibuk mengunjungi Mira, Mira telah melahirkan anak keduanya.
Lalu Bapak menyusul. Saat itu Bapak bingung karena tidak ada yang ngurus
cucunya di Batu karena Rini lagi bangun rumah. Akhirnya Bapak pulang dan Ibuk
tinggal di Karawang. Saat itu pembantunya pulang kampung dan Mira harus kembali
kuliah mengambil S2 di IPB. Lalu tiba-tiba di Batu da berita bahwa Bapak sakit
saat hasil ronsen tiba ternyata ada pengapuran di jantung Bapak. Seminggu
setelah minum obat kondisinya membaik. Seminggu kemudian Bapak terkena serangan
stroke. Meskipun sakit, beliau masih saja memikirkan cucu-cucunya. Lalu Bapak
menyuruh Ibuk untuk mengambil surat tanah di Yogya. Seminggu kemudian, Ibuk dan
Nani mengambil surat itu.
Saat sakit mata kanan
Bapak berkurang tiba-tiba Bapak berkata “Nah, sebelum aku meninggal, aku ingin
melihat tangga yang dibangun Isa di rumahnya”. Meski masih lemas, Bapak
mengunjungi rumah Isa dan memastikan rumah anaknya sudah dilengkapi dengan
tangga ke lantai 2. Ibuk pun membuat selamatan kecil-kecilan, tanggal 1
Januari. Bapak berhasil melewati masa kritisnya. Dua minggu kemudian, ia sakit
lagi, ia tak bisa berdirii ketika menjaga cucunya. Kondisinya semakin melemah.
Bapak pun digotong oleh Ibuk, Isa dan Nani. Dan Bayek pun langsung pulang ke
Batu. Keesokannya Bayek ada urusan kerja di Jakarta, saat ia pamit, Bapak
mengatakan kepada Bayek untuk tidak pergi jauh-jauh.
Lalu Bapak di bawa ke
beberapa dokter dari semua hasil lab menyatakan bahwa semua baik-baik saja
tetapi dokter tak tahu kenapa Bapak menjadi lemas akhirnya diputuskan Bapak
untuk menjalani terapi medik 3x dalam seminggu. Rabu, 25 Januari 2012
adalah sesi pertama menjalani terapi. Ibu hanya bisa menguatkan hati Bapak. Jumat,
27 Januari 2012 adalah sesi kedua terapi Bapak. Pada saat itu Bapak meminta
baju putih kotak-kotak seperti yang dipakai dokter yang membatunya terapi.
Sepulang terapi Nani langsung membelikannya dan 2 kaos putih. Senin, 30
Januari 2012 Bapak terbangun tengah malam dan meminta satu dua sendok nasi
putih, tapi pada saat itu nasi sudah habis ketika ibu hendak memasak nasi buat
Bapak, Bapak melarangnya. Lalu Bapak bertanya siapa yang ngaji barusan. Ibu
kaget padahal disitu suasananya hening,. Selasa, 31 Januari 2012 ini
adalah terapi ketiga. Di akhir terapi, beliau tertidur pulas. Sesampai dirumah,
beliau semakin lemas. Setelah Magrib, beliau ingin melihat foto-foto yang
berisi cucu-cucunya. Setelah melihat foto beliau meminta Ibuk untuk menciumnya.
Lalu Ibuk menyuruh semua anak dan cucunya untuk menciumnya, hanya Bayek dan
Mira yang tak ada disana. Lalu mereka beramai-ramai berdoa untuk kesembuhan
Bapak dan Nani memimpin membaca Surat Yasin. Setelah membaca Surat Yasin ia
bertanya “foto siapa di sampul buku Yasin”. Lalu Bapak meminta untuk memasang
fotonya di sampul buku Yasin. Lalu Bayek telpon kalau dia dan Mira pulang hari
Sabtu.
Kamis,2 Februari 2012
Bapak melanjutkan terapi. Ibu dengan kesabarannya mencoba menyuapi tapi mulut
Bapak tak bergerak dan tidak meresponnya. Ternyata beliau tak sadarkan diri.
Dengan segera Bapak dibawa ke UGD rumah sakit di Malang. Para dokter segera
bergerak dari hasil pemeriksaan gulanya menurun tajam. Setelah mendapat
treatment gula, kadar gulanya kembali normal dan beliau mulai sadar. Lalu
dokter memeriksa kesadaran Bapak, beliau masih bisa menjawab meskipun dengan
terbata-bata. Semenjak itu beliau kesulitan berbicara. Ia hanya bisa
berkomunikasi lewat tatapan matanya.
Jumat,3 februari 2012
dari hasil lab dan CT scan semuanya terlihat normal, dokter bingung mengapa
Bapak seperti tidak punya tenaga. Dan ia masih belum bisa berbicara makan saja
harus lewat selang infus, ia juga tidak bisa ke kamar mandi. Pada malam itu
Bapak menunjuk giginya dan meminta Nani untuk menyikat giginya. Lalu tiba-tiba
ia melipat-lipat selimutnya. Mulutnya terbuka sepertinya ia ingin berkata
“pulang. pingin pulang”. Ketika Isa pamitan pulang, ia tak bisa berkata apa-apa
lagi air mata pun menetes. Kemudian tertidur pulas. Ibuk dan Rini menjaga
Bapak.
Sabtu,4 Februari 2012
pukul 2 dini hari. Rini bangun dan memeriksa kondisi Bapak. Tangan Rini
mengelus tangan dan juga dada Bapak. Bapak masih tertidur pulas. Rini kembali
tidur di kursi di samping ranjang. Tangan kiri Rini masih memegang tangannya
dan tangan kanan memegang dadanya. Pada pukul 02:30 pagi. Rini bangun kembali
untuk memeriksanya lagi. Tanggannya masih memegang tangan Bapak. Ada air mata
yang meleleh di mata kiri Bapak. Rini kemudian memeriksa napasnya ternyata
sudah tidak bernafas lagi. Rini menjerit dan Ibuk terbangun. Ibuk membacakan
doa di telinga Bapak tapi ia tak bangun juga. Kemudian Rini memanggil suster
tapi Bapak sudah pergi. Malam itu ia belum sempat memakai baju hem putih yang
dibelikan Nani.
Rini langsung menelpon
Isa dan Nani. Sesampai dirumah sakit Ibuk, Isa, nani dan Rini memindahkan jasad
Bapak dari kamar rawat ke kamar jenazah. Ibuk mengelus rambut Bapak dan air
matanya tak berhenti mengalir. Rini hamper tak sadarkan diri. Nani pun menelpon
Bayek untuk menyuruhnya agar cepet pulang. Bayek kaget karena tak biasanya Nani
menelpon jam 3 pagi apalagi dia baru saja tidur jam 1 pagi. Dan biasanya Bayek
mematikan Hp-nya, entah kenapa malam itu tidak dimatikan. Karena Bayek
mendengar tangisan Rini memanggil Bapak, kini dia tahu bahwa Bapak sudah
berpulang.
Jam 4 pagi ia berangkat
ke bandara, sebelum pergi ia menelpon Mira. Seperti janji Mira dan Bayek,
mereka pulang hari sabtu untuk menjenguk Bapak. Mira sekeluarga sudah dalam
perjalanan pulang ke Batu membawa mobil mereka sendiri. dan untungnya Bayek
mendapatkan tiket penerbangan paling pagi di hari Sabtu itu. Tiba di bandara
Malang, bayek djemput tetangganya dan Ridho, keponakannya yang masih berumur 6
tahun. Kenangan bersama Bapak terbawa dalam setiap perjalanan pulang itu.
Kira-kira jam setengah Sembilan, Bayek tiba di Gang Buntu. Bendera kuning telah
terpasang dan para pelayat berjejerdari depan gang sampai rumah Bapak. Jasad
Bapak telah disalatkan sebelum Bayek datang. Rini di samping Ibuk menangis,
berteriak dan akhirnya tak sadarkan diri. Badan Ibuk gemetar. Isa memeluk Ibuk
dari belakang. Mata Isa sembap. Nani yang memakai kerudung hitam tersedu.
Tangannya memegang kamera. Ia mengabadikan kepergian Bapak, sesekali di tengah
isak tangisnya. Lalu Bayek ingin melihat wajah Bapak untuk terakhir kalinya,
dan keranda pun di buka pelan-pelan.
Mira masih dalam
perjalanan dan baru saja memasuki Semarang. Ia belum sempat melihat wajah Bapak
sebelum pemakaman. Akhirnya, keranda Bapak digotong menuju pemakaman. Para
peziarah bergantian menggotong, bayek juga. Air mata menetes sepanjang perjalanan. Bajunya hamper
basah oleh keringat dan tetesan air mata.
Bayek dan dua menantu
Bapak turun ke liang kubur. Bayek sesenggukan. Akhirnya ia diangkat lagi ke
atas lagi, karena menurut kercayaan air mata tidak boleh menetes disana. Jasad
Bapak diturunkan ke liang kubur. Bayek semakin terisak. Suara Rini dan Isa
terdengar dari kejauhan. Nani, dengan kokohnya mengabadikan kepulangan ini.
Papik, suami Isa, mengumandangkan azan dengan lantang. Setelah Bapak di kubur,
satu per satu pelayat meninggalkan pemakaman. Tinggal Ibuk dan keluarga
dekatnya. Bayek tak kuasa melihat Ibuk. Istri dan sahabat Bapak selama 40 tahun
ini tak akan melihat sang playboy pasar esok harinya. Semua pelayat telah
pulang. Bayek ingin sendiri di depan makam Bapak. Ia berdoa dan berbicara
dengan Bapak. “Bayek pulang untuk Bapak, dan Bapak telah berpulang”.
Setelah itu dia pun meninggalkan pemakaman.
Semenjak kepergian
Bapak, anak dan cucu Ibuk bergantian menemani Ibuk. Kadang mereka menggelar
kasur di depan TV dan tidur disana beramai-ramai. Bayek kini sering meluangkan
waktu di Batu, dan mira selalu menelpon Ibuk setiap hari. Mereka ingin menemani
Ibuk dan tak ingin Ibuk sendiri. Foto Bapak kini dipajang di ruang tamu
berukuran sekitar 60 cm x 50 cm dengan pigura kayu warna emas. Sebelumnya tak
pernah ada foto sebesar ini di rumah mereka. Hampir setiap hari mereka membicarakan
Bapak. Ibuk dan anak-anaknya kadang masih belum percaya. Bapak yang baru saja
hidup enak harus pergi secepat itu.
Bapak yang biasanya
menyiapkan makanannya sendiri, sementara Ibuk menyiapkan makan buat anak
cucunya. Ibuk memang meminta untuk selalu menyiapkan makan buat anak dan
cucunya karena dia akan bosan bila tidak mengerjakan sesuatu. Bapak yang selalu
antar jemput cucu, membantu menggati seragam mereka. Disaat ia sakit, ia tetap
saja memikirkan cucu-cucunya. Kini Bapak sudah tiada lagi diantara mereka,
hanya kenangan bersama Bapak yang tertinggal dalam memori mereka.
Di hari ke-40 setelah
Bapak meninggal, jam setengan enam Bayek menemani Ibuk pergi ke pasar untuk
membeli keperluan tahlilan 40 hari. Pagi yang terang benderang. Pagi yang
sejuk. Semakin banyak mobil yang lalu-lalang. Para pedagang mulai menurunkan
barang dagangannya. Semua masih segar. Tawar-menawar disana sini. Tiba-tiba
Ibuk menggenggam tangan Bayek, matanya berkaca-kaca. Deretan angkot dan
took-toko baju mungkin telah membawanya ke pagi yang dingin, di Pasar Batu, 40
tahun yang lalu. Setelah 40 hari tahlilan Bapak, Ibuk mulai berjalan pagi ke
kaki Gunung Panderman sehabis menanak nasi dan salat Subuh.
Sampai saat ini, hampir
tiap hari anak dan cucu bergantian mengunjunngi makam Bapak. Bunga segar selalu
ditaburkan di sana. Kuburan Bapak selalu wangi. Nani selalu mengaji di kamar
Bapak. Ibuk setiap malam selalu memimpin pengajian kecil bersama anak dan
cucunya dan mengirim doa kepada Bapak. Ibuk selalu mengingatkan untuk tabah.
Cinta Ibuk selalu segar untuk keluarga dan selalu terang untuk Bapak. Dari
pertemuanya di Pasar Batu 40 tahun yang lalu sampai kepergiannya yang telah
menjadi suami, sahabat setia dan belahan jiwanya. 40 tahun lalu mereka mulai
membangun keeping-kepingan hidup. Mulai perjalanan yang saling memperkaya,
memperkuat, dan melengkapi satu sama lain. Cinta mereka telah melahirkan
anak-anak yang penuh cinta.
JOKIBET.COM Agen Casino Online Terpercaya
bang boleh copy.??
ReplyDeletebuat tugas disuruh guru
ReplyDeleteIzin copas ya kak
ReplyDeleteizin copas kak, utk tugas
ReplyDelete