SENJA
YANG MENGANTAR IMPIANKU
Karya
Wardatul Adawiyah
Lambat
laun dingin semakin menusuk, masuk kesegala rongga tubuhku, dingin ini beradu
kuat dengan suhu tubuhku yang semakin panas terasa. Aku masih dalam
kesakitanku! Sudah 2 hari aku terbaring lemas diatas kasur berselimut kain
tebal berwarna merah dengan sedikit motif bunga tulip disetiap ujungnya.
Tanpa
kusadari, mutiara hangat mulai jatuh, mengairi kedua pipiku. Semakin deras
mengucur dikedua muara anak pipi. Aku menangis malam ini bukan alasan karena
cinta, rasa sakit hati, bukan pula karena sakitku yang tiap harinya tidak
menunjukkan perubahan kearah yang lebih baik. Tapi malam ini, kesedihan itu
datang karena rasa rinduku yang membuncah mendengar suara lemah lembut beliau.
Setelah
magrib usai, ibu menelfonku di seberang sana. Ia menanyakan perihal kabarku
disini, menanyakan kabarku dalam perantauan selama sebulan terakhir. Aku
sedikit gugup menjawab, dengan nada ragu-ragu kujawab bahwa diriku baik-baik
saja ditanah kampung orang. Aku berbohong Allah, maafkan hamba Ya Allah, tidak
ada niat sedikitpun untuk membohongi beliau.
Semenit
berlau, dua, tiga, dan dimenit ke enam, ibuku merasakan kejanggalan dalam
percakapanku malam ini.
“nak,
kamu sakitkah ?” kupejamkan mataku sesaat, merasakan getaran suara yang mulai
berubah.
“mm..
Amani baik-baik saja bu’, tidak apa kok”
“jangan
bohong sama ibu, ibu tahu kau sedang sakit, suaramu melemas begitu, belum lagi
batukmu yang selalu terdengar” aku hanya terdiam, mendengar suara beliau yang
mulai diiringi dengan tangisan kecil.
“sudah
berapa hari kamu sakit ?, apa ibu bilang, tidak usah sekolah jauh-jauh, kalau
begini siapa yang mau menjagamu ?, pulang sajalah, tidak usah pikir beasiswa
yang kau terima disana, ibu dan bapakmu disini masih bisa membiayai kuliahmu.!
Aku menarik nafasku dalam. Sedikit kesal mendengar perkataan ibu barusan.
Segera
kututup telefon ibuku diseberang sana, tanpa ada salam penutup yang sering
mengakhiri pembicaraan seperti biasanya. Fisikku tidak sanggup mendengar semua
keluh kesah ibu, tidak sanggup mendengar suaranya kian parau yang memecah jadi
tangis. Maafkan Amani bu! Ini sudah keputusan Amani. Sekali lagi maaf.
Malam
ini benar-benar membuatku sedih, sakitku ditambah kejadian barusan membuatku
sedikit menitihkan air mata lagi. Jadi rindu kampung halaman, jadi rindu sosok
luar biasa nan bersahaja dirumah sana, jadi rindu kecerian berbagi tawa dan
canda bersama adik-adik, jadi rindu mereka yang jauh disana.
Kepalaku
masih pening! Sepertinya sakitnya kambuh! Beban pikiranku ditambah satu lagi.
Teringat malam yang telah lalu, saat esok kepergianku merantau di tanah kampung
orang. Ah, mengingatnya membuat air mataku kembali bercucuran deras. Saat ayah,
ibu, nenek, kakek, paman, bibi dan keempat saudaraku duduk melantai diruang TV.
Malam itu kebahagiaanku terasa lengkap, semuanya hadir memberikanku pesan dan
kesan sebelum esok aku pergi jauh untuk waktu yang lama.
Ini
impianku, ini cita-citaku, bersekolah diluar kota dengan jurusan dan fakultas
yang saya inginkan. Ayah dan ibuku bersih keras melarangku bersekolah
jauh-jauh. Kesempatan itu sempat menjadi mimpi nyata yang nyaris terbuang
begitu saja.
“kan
bisa sekolah di Makassar saja nak! Masuk negerilah dulu, disini juga masih
banyak universitas bagus! Tidak usah pikirkan beasiswa itu, ayah masih bisa
membiayai, cita-citamu jadi seorang penulis juga bisa dimulai disini nak!”
“lantas
kenapa Ayah mengizinkanku mendaftar disana ? Ah, bagi Amani perguruan Tinggi
Negeri ataupun Swasta sama saja yah! Tergantung pribadinya kita sendiri, Amani
juga dari sekolah swasta, tapi masih bisa bersaing dengan anak negeri. Pokoknya
niat Amani sudah bulat! Amani ingin kuliah disana!” nada biacaraku sedikit
meninggi.
“iya
Ayah paham, ayah masih ingat jelas dengan cerita-cerita impianmu bahwa kamu
ingin bersekolah diluar kota dengan jurusan psikologi dan ingin menjadi penulis
muda, ya! Ayah masih ingat jelas itu nak. Tapi ayah tetap saja khawatir, kamu
masih kecil untuk mengenal kehidupan diluar sana, bagaimana kerasnya kehidupan
luar, kamu masih terlalu muda nak untuk kuliah jauh-jauh”.
“Belum
lagi kamu sering sakit, lantas siapa yang akan menjagamu nak ? siapa yang akan
menyiapkan makananmu ?” ibuku menambahkan. “pokoknya Amani ingin sekolah
disana! Amani ingin kejar impian Amani. Huh!”
Jauh
sebelum malam itu, sering sekali Ayah dan Ibu mengurungkan niatku untuk
bersekolah diluar kota. Tapi malam sebelum hari keberangkatanku, aku menyadari
alasan mereka melarangku pergi! Kehidupan luar memang terlalu ganas untuk
kulalui seorang diri ditanah kampung orang. Akan banyak rindu yang tumpah tiap
malamnya, akan banyak rasa cemas yang selalu hadir, akan banyak air mata yang
jatuh karena perpisahan ini. Namun, ini tetap cita-cita dan impian yang harus
mengorbankan segalanya. Termasuk rasa egoisme diri kita masing-masing.
“ayah
hanya berpesan, agar Amani disana tetap menjaga sholat, pergaulan serta akhlak
Amani, bersekolah yang rajin, jangan kecewakan kami semua disini nak,
kepergianmu besok adalah langkah awal dari mimpi-mimpimu, tetap hadirkah
Tuhanmu ditiap langkahmu nak.!” Seraya tertunduk dengan mata yang sembab, Ayah
mengecup keningku, memeluk anak sulungnya sangat erat dengan penuh perasaan
cinta.
“ingat!
jaga kesehatanmu, ibu tidak mau kalau sampai disana sering sakit lagi, jangan
lupa sering minum vitaminmu, minum susulah biar gejala tipus mu itu tidak
kambuh-kambuh lagi”
“ibuku
sayang, kalau urusan minum susu, Amani nggak janji yah? Hehe ” sambil mengecup
kadua pipi beliau. Malam ini kebahagianku lengkap sekali, doaku malam ini
“Allah
izinkan keduanya tetap dalam naungan kasih-Mu, limpahkan kelapangan serta
kesehatan bagi keduanya.”
Senja
datang beriringan bersama jingga yang mulai menguning disudut kaki langit, sore
itu, sebelum berangkat kebandara, aku datang ke ma’had yang membesarkanku, sore
itu juga, aku benar-benar merasakan bahwa mereka semua, adik-adikku di ma’had,
teman-teman, sahabatku bahkan guru-guruku turut menangisi kepergian kami
berempat. Mendengar nasihat dan salam selamat tinggal rasanya tidak ingin jauh
dari mereka semua. Namun, inilah takdirku, inilah impianku yang harus kukejar,
yang harus kuraih, meskipun perpisahan memang kadang menyakitkan.
“Amani
ini.!” Kulirik dari belakang sahabatku Mhiza.
“apa
ini ?” seraya menerima bungkusan didalam kantongan plastik putih.
“hadiah
dari sahabatmu disebelah rumah, yang dia janjikan itu loh! yang satunya lagi
kenang-kenangan dariku” kubuka plastik putih itu dan kutemukan sebuah novel
tentang ‘persahabatan’ dan satunya lagi buku diary yang lumayan besar berwarna
cokelat muda.
“makasih
ya Zaa..” Mhiza tersenyum. Aku berlari kearah ibuku yang berada didalam mobil,
sejam lagi aku akan berangkat meninggalkan kota kelahiranku. Kota penuh
kenangan dalam hidupku.
Bandara
Internasional Hasanuddin 17: 25 WITA
Suasana
bandara itu sesak, dipenuhi kerumunan manusia. Ada orang-orang yang sedang
bergembira melihat sanak saudara serta kerabat mereka berdatangan dari
persinggahan yang lama ditanah kampung orang, namun disisi lain, tidak sedikit
juga mereka bersedih melihat keluarga serta kerabat mereka pergi untuk waktu
yang lama.
Inilah
seni kehidupan, dimana kita dihadapkan antara dua pilihan, kanan dan kiri, atas
dan bawah, baik dan buruk serta pertemuan dan perpisahan adalah salah satu seni
kehidupan yang selalu memberikan kesan berarti dan mendalam. Engkau akan
mengenal seseorang ketika pertemuan itu datang menyapa, dan engkau akan merasa
seseorang itu berarti dalam hidupmu ketika perpisahan datang menghampirimu,
namun segalanya akan indah pada waktunya, baik yang buruk sekalipun akan terasa
indah ketika engkau mengenang masa-masa dimana kita saling berbagi.
“Amani
kutitip ke-3 temanmu, saling mengingatkan disana nak!, ingat tiga pesan
ustadzah, jaga sholatmu, jaga pakaianmu, dan jaga hatimu nak, ingat!
pergaulanmu yang salah bisa merusak dirimu sendiri” Ustadzahku memelukku erat,
mengusap kepalaku serta mengelus lembut punggungguku.
Sedikit
lagi, senja akan menghilang...
Kupeluk
erat wanita perkasa itu, ah! Rasanya air mataku ingin tumpah lagi melihat
beliau kembali menitihkan air mata. nenek ,adik-adikku , ustadzahku,
sahabat-sahabatku yang turut mengantar, kuucapkan selamat tinggal, doakan kami
semoga selamat dalam perantauan ini. Senja itu tak menghadirkan ayahku. Tidak
apalah mungkin tugasnya kali ini benar-benar penting! Tapi, aku yakin dari
kejauhan sana beliau tidak berhenti mendoakan anaknya ini.
Aku
masuk! Perlahan bayangan nyata mereka mulai hilang dari pandanganku. Senjapun
demikian, garis-garis jingga yang menghiasi kaki langit mulai samar. Kini
siluet hadir menggantikan senja yang mengantarku pergi, yang membawa imipianku kesebuah
tempat yang mengharuskanku berpisah dengan orang-orang yang kusayang untuk
waktu yang lama.
Semoga
pada senja berikutnya aku akan hadir bersama kalian, berbagi cerita, berbagi
tawa dan canda dibawah langit penuh jingga itu. Ataukah senja yang hadir
bersama gerimis manja yang melukis senyum indah pelangi. Aku akan bersabar
bersama rinduku disini, bersama doa-doa kalian yang selalu mengalun ditiap
sujudmu. Akan kubawa pulang sebuah amanah yang telah dititipkan diatas kedua
pundakku yang telah menjadi mimpi nyata dalam kehidupan kelak.
“auu...”
seberkas cahaya jingga masuk menembus jendela kamarku dari arah barat, kali ini
senja membangunkanku. Menyilaukan kedua mataku yang telah menangis semalam
suntuk. Masyaallah hampir lupa aku! Hari ini ada agenda penting dikampus,
setengah jam lagi aku akan terlambat!.
Senja
temani aku mengukir mimpiku disini, tetap bersamaku dalam kelapangan maupun
kesakitanku. Berjanjilah padaku! Aku akan pulang bersamamu kembali. Kekampung
kelahiranku dengan membawa sejuta harapan-harapan nyata bagi mereka. Pulang!
Dan kau bersamaku akan menatap senyum tulus bahagia mereka dibawah naungan
kasih Tuhan. Kabulkanlah ya Rabb! Amin, Amin ya Rabbul Izzati.
No comments:
Post a Comment