Saturday, March 1, 2014

DASPEN


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Kurikulum Pendidikan agama dan pembinaan keimanan-ketakwaan yang berlangsung di sekolah-sekolah selama ini masih sarat dengan kelemahan– kelemahan praktik pendidikan dinilai hanya memperhatikan aspek kognitif. Pertumbuhan kesadaran nilai-nilai agama belum tersentuh. Selain itu, pembinaan aspek afektif dan konasif-volutif, yakni kemauan dan tekad untuk mengamalkan nilai-nilai ajaran agama juga masih terabaikan. Ada hal yang sangat menarik dan patut kita cermati dari sebuah cerita nabi Sulaiman as. Ketika suatu saat beliau ditawari beberapa pilihan oleh Allah swt untuk dikasih ilmu, harta atau tahta. Namun apa jawabannya? Beliau lebih memilih ilmu ketimbang yang lain. Dan ternyata setelah ilmu beliau pilih, harta dan tahta dengan sendirinya Allah swt kasihkan juga pada beliau.
Ini menggambarkan betapa ilmu adalah suatu hal yang sangat berharga dibandingkan dengan yang lain. Suatu Negara tidak akan mengalami kemajuan dalam berbagai segi manakala tidak didukung dengan kualitas manusianya yang berilmu dan berdedikasi tinggi. Saat ini hal itu dapat kita lihat, bahwa kita tidak bisa meghindar dari percaturan dunia global yang semakin hari semakin maju dan canggih. Suatu kejadian yang ada diseberang dunia sana dapat kita saksikan lewat akses tehnologi yang serba canggih dan mutakhir.
Negara sebagai lembaga resmi penyelenggara pendidikan tentunya tidak bisa begitu saja membiarkan apalagi lepas tangan dalam maju mundurnya kualitas pendidikan bangsa ini. Pemerintah, dalam hal ini Depag seharusnya sejak dini respon dengan realitas yang ada. Mengapa lembaga sekolah dan pondok pesantren yang bernuansa agama sejak dulu tidak pernah mendapat perhatian serius dari pemerintah. Sehingga mengakibatkan kurang mampunya para lulusan madrasah dan pondok pesantren merespon gejolak dunia global yang penuh dengan serba system teknologi mutakhir.


Menurunya kualitas pendidikan Negara kita juga sangat tidak lepas dari factor mahalnya biaya pendidikan. Bisa kita bayangkan saja untuk bisa daftar jadi siswa sekolah atau mahasiswa harus mengeluarkan uang pelican agar namanya bisa terdaftar. Belum lagi nanti setelah resmi masuk sekolah atau universitas, berapa banyak lagi uang yang harus kita keluarkan untuk beli buku, diktat, praktikum dan lain-lainnya.

1.2  Rumusan Masalah

1.2.1   Apakah penerapan Sisitem Nilai dan moral Agama ke Dalam Proses Kependidikan?
1.2.2   Apa yang dimaksud dengan Nilai Relatif kebudayaan, Nilai Absolut Agama,Nilai Sekuler, Dan nilai-nilai Humanisme dalam pendidikan?           
1.2.3     Bagaimana cara-Cara Mentransformasikan dan Menginternalisasikan Nilai-nilai Agama ke Dalam Pribadi Peserta Didik?   

1.3  Tujuan Pembahasan

1.3.1   Mengetahui bagaimana penerapan Sisitem Nilai dan moral Agama ke Dalam Proses Kependidikan
1.3.2   Mengetahui apa yang dimaksud dengan Nilai Relatif kebudayaan, Nilai Absolut Agama,Nilai Sekuler, Dan nilai-nilai Humanisme dalam pendidikan.        
1.3.3     Mengetahui cara-cara Mentransformasikan dan Menginternalisasikan Nilai-nilai Agama ke Dalam Pribadi Peserta Didik     

1.4  Manfaat

1.4.1   Umum
     Untuk mengetahui pendidikan agama di Indinesia.
1.4.2   Khusus
1)   Mengidentifikasi penerapan pendidikan agama di Indonesia,
2)   Menganalisa penerapan cara-cara mentransformasikan dan menginternalisasikan nilai-nilai agama ke dalam pribadi peserta didik.







BAB II
PENDIDIKAN AGAMA DI INDONESIA

2.1  Penerapan Sistem Nilai dan Moral Agama ke dalam Proses Kependidikan

Manusia menurut ajaran Islam terdiri dari dua unsur yaitu:
1.    Unsur ardi adalah jasmaniah.
Jasmaniah meliputi seluruh jasad manusia, baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan (terdapat di bagian dalam tubuh kita). Semuanya terdiri dari zat materi, ia pun membatuhkan makanan pula seperti makan, minum, vitamin dan sebagainya. Jasmani mempunyai dorongan dan hawa nafsu, bila tidak dikembalikan ia dapat membuat kesalahan atau keonaran, atau melanggar peraturan.
2.      Unsur samawi adalah rohaniah.
Rohani juga membutuhkan makan berupa santapan rohani seperti pendidikan agama, bimbingan, penyuluhan, rekreasi, istirahat, dan sebagainya.
Rohani, walaupun selalu mengajak manusia ke jalan yang lurus dan kepada perbuatan yang benar. Tapi karena pengaruh lingkungan ia dapat tergelincir dan melaksanakan perbuatan yang melanggar ketentuan, sebab itu ia memerlukan pendidikan.
Keduanya unsur tersebut dapat menyeret manusia pada kelalaian, kealpaan, dan lupa diri. Kelalaian dan kealpaan ini dapat disebabkan oleh kesibukan dalam rangka memenuhi tuntutan kebutuhan materi yang tak kunjung puas. Sebagian manusia yang dulunya kuat imannya kadangkala terpeleset dan melupakan ajaran yang selama ini dipegangnya dengan teguh. Melalui media massa dapat kita temukan orang-orang yang melakukan berbagai kejahatan walaupun ia korupsi, membunuh, menjambret, menggelapkan harta negara dan sebagainya. Akibatnya merugikan orang banyak ulah nafsu yang tidak terkendalikan. Sebagian orang yang melakukan tindak kejahatan seperti dikemukakan di atas, tingkah laku ataupun sikapnya, dapat ditelusuri melalui pendidikan dan lingkungannya. Biasanya bila pendidikan baik, ia akan bertingkah laku baik pula sesuai dengan pengaruh lingkungannya karena telah menginternalisasikan nilai-nilai luhur agama yang diajarkan kepadanya sejak kecil sampai ia memasuki usia kedewasaannya. Begitu pula pendidikan agama yang pernah diterimanya di sekolah akan mempengaruhi -perkembangan jiwanya dan mewarnai kepribadiannya.
Kehidupan ini tak ubahnya seperti air yang keluar dari sumbernya yang bersih dan bening. Dalam perjalanannya menuju samudera, ia menemui berbagai air yang lain yang telah kena polusi, sehingga akhirnya ia tercampur dengan air-air yang beraneka ragam tersebut. Kadangkala warna dan baunya berubah. Namun bila ia ditenangkan atau dalam keadaan tenang dan disaring, maka dasar air bersih dan bening itu akan kembali muncul. Demikianlah keadaannya manusia dalam perjalanan hidupnya di alam fana ini. Menurut Sigmund Freud (tokoh psikoanalisis) bahwa tingkah laku seseorang dalam kehidupannya dalam masyarakat atau pergaulan, dapat dicari asal usulnya dari keadaan pendidikan dan kehidupan rumah tangganya ataupun lingkungannya.
Pendidikan moral ini dalam Islam berjalan sangat sistematika dan kontinu, yaitu mulai dari lingkungan keluarga, sampai ke lingkungan sekolah dan masyarakat dengan berbagai aturan.
Penerapan ajaran nilai dan moral agama ini antara melalui rukun Islam yang lima diantaranya sebagai berikut:
1)        Pengakuan yang tulus dalam islam dikenal dengan mengucap dua kalimat syahadat yaitu pengakuan secara tulus dan sadar akan ke-Esaan Allah dan Muhammad sebagai Rasul-Nya yang membawa semua ajaran-ajaran-Nya yang benar dan mutlak yang kesemuanya adalah untuk kebaikan umat manusia itu sendiri.
Bila pengakuan yang diucapkan secara lisan ini keluar dari hati nurani yang bersih tanpa paksaan atau motivasi tanda selain Allah, maka semua aturan dan larangan-Nya akan dipatuhi dan dikerjakan tanpa argumentasi untuk menolaknya dan akan dilakukan secara konsekuen dan murni. Semua larangan tidak akan dikerjakan atau ditinggalkàn sebagai perwujudan dari pengakuan paripurna sebagai umat-Nya. Tetapi kebanyakan umat-Nya atau sebagian mereka kesadaran akan pengakuan ini tampaknýa kurang mentap, karena masihbanyak larangan-Nya yang dilanggar dan suruhan-Nya tidak dikerjakan secara utuh. Nilai luhur dua kalimat syahadat ini dapat mengontrol tingkah laku dan perilaku seseorang dalam kehidupannya.
2)        Mengerjakan salat wajib lima waktu sehari semalam. Dengan ibadah salat dapat membawa seseorang (umat Islam) sangat dekat dengan Allah, karena selama ibadah ini dilakukannya selalu dalam keadaan siap sedia menerima dialognya dan mendengarkannya setiap waktu di mana saja di muka bumi ini.
Melalui ibadah salat umat-Nya memuja, mengagungkan-Nya serta,menyatakan kehambaan di hadapan-Nya. Dengan salat seseorang menyatakan kesetiaannya dan menyatakan penyerahan diri sambil memohon pertolongan serta perlindungan-Nya.
Menurut Prof. Dr. Harun Nasution guru besar IAIN Jakarta di dalam bukunya Pengantar Ilmu Agama Islam, bahwa melaiui ibadah salat seseorang melakukan berbagai kegiatan    secara berhadap-hadapan dengan Allah. Kepada-Nya memohon supaya dilindungi dari godaan setan, mohon diberi ampun dan dibersihkan dari segala dosa, mohon supaya diberi petunjuk ke jalan yang benar, dijauhkan dari kesesatan dan perbuatan-perbuatan yang tidak baik dan sebagainya. Bila amal ini dilakukan secara kontinu selama hayat masih dikandung badan secara sadar dengan hanya mengharapkan rida-Nya serta berusaha ke arah itu, maka mustahil kiranya permohonan untuk kesucian ini tidak akan menaapatkan perkenan-Nya; karena melalui ibadah salat ini seseorang dapat terhindar darisegala perbuatan yang terlarang dan melakukan perbuatan yang disuruh-Nya. Penegasan  Allah ini dinyatakan-Nya dalam surat Al-Ankabut ayat 45 yaitu sebagai berikut:

"Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu.yaitru Qur'an dan dirikanlah salat, sesungguhnya salat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Dan sesurigguhnya mengingat Allah melalui salat adalah lebih besar keuntungannya dari ibadah-ibadah lainnya. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan."

Tingkat Sekolah Dasar ibadah salat perlu mendapat perhatian utama dari setiap guru agama. Bila sejak dari SD peserta didik telah mulai malas melakukannya, maka pada masa perkembangan selanjutnya rasa malas ini akan makin besar. Sebab itulah Nabi bersabda dalam hadisnya yang amat masyhur sebagai berikut :

"Suruhlah olehmu anakmu itu melakukan salat apabila ia telah berumur 7 tahun dan apabila telah berumur 10 tahun tidak  mau melakukan salat atau meninggalkannya maka lecutlah dia " (H R. Tzrmizi)

3)        Ibadah puasa juga merupakan amal yang dapat menyucikan diri dari ruh kotor.
       Melalui ibadah puasa seseorang akan berupaya sekuat tenaga menahan hawa nafsu makan minum dan hubungan suami istri.
       Nilai tinggi yang dikandung oleh ibadah puasa antara lain adalah kemampuan  menahan diri, keinginan untuk mengalahkan orang lain. Nilai luhur yang dapat ditanamkan kepada peserta didik melalui ibadah puasa adalah mendekatkan diri kepada Allah dan sesama manusia, terutama golongan umat Islam yang bernasib kurang baik seperti fakir miskin yang berada dalam kekurangan gizi.
       Dengan berpuasa anak-anak dan peserta didik dilatih menumbuhkan rasa solidaritas, kesetiakawanan sosial dan ikut merasakan penderitaan orang lain, suka beramal, membantu dan introspeksi. Dalam ibadah puasa ini juga mengandung nilai luhur mengeluarkan sebagian kecil harta yang dimilikinya berupa zakat fitrah, sebagai rasa syukur dan bergembira sesama umat Islam tanpa pandang derajat sebagai tanda bersihnya diri dari dosa setelah melakukan ibadah puasa selama satu bulan penuh.
       Kesadaran mengeluarkan zakat fitrah ini dmulai dari kecil walaupun ia masih berada dalam tanggung jawab orang tuanya. Mengeluarkan zakat fitrah ini harus dikemukakan kepada mereka akan arti dan makna luhur yang dikandungnya. Kesadaran merasakan penderitaan orang lain di saat bersuka cita ini besar nilainya bagi pembentukan kepribadian muslim sejati. Kesadaran merasakan penderitaan orang lain perlu ditularkan kepada peserta didik dengan mengajak mereka memperhatikan lingkungan sosiainya. Dengan melihat kenyataan sosial.ini diharapkan dalam dirinya akan terbentuk sikap mau mengerti dan merasakan apa yang dirasakan orang lain.
Selama satu bulan mereka dilatih menjadi orang yang tahu berterima kasih kepada Tuhan dengan jalan menyantuni orang lemah. Kaum duafa dan fakir miskin atau orang terlantar. Bila latihan penanaman moral sosial ini berlangsung sejak dari kecil secara teratur setiap tahun, mulai dari usia Taman Kanak-kanak sampai tamat SD, yaitu selama 10 tahun maka dapat diharapkan di dalam diri mereka akan tertanam dengan baik sikap sosial altruistis dan ekstrovet yaitu sikap diri terbuka untuk dunia luar dan merasakan penderitaan orang lain. Bila mereka telah dewasa kelak diharapkan warna kepribadian Muslim akan tampil dalam tingkal laku kesehariannya dalam hidup bersama dalam marsyarakat.
4)        Menunaikan zakat.
       Melalui ibadah zakat ini akan tertanam pula sifat diri dan sikap jiwa mau menolong sesama dan menolong agama Allah dengan rezeki yang diberikan-Nya. Nilai luhur zakat dapat menghilangkan sifat bakhil dan akan tumbuh sifat penyantun kepada sesama manusia yang lemah yang memerlukan bantuan dan pertolongan. Dalam diri akan timbul kesadaran, bahwa rezeki yang diberikan Allah itu merupakan titipan-Nya untuk diberikan sebagian kepada pihak-pihak tertentu menurut ketentudhnya.
Sebab itu bagi orang yang diberi Allah rezeki lebih, agar ia segera menyadari bahwa hal itu menjadi per-tanda baginya sebagai salah seorang hamba Allah yang dipercaya untuk segera menunaikan Syariah Islamiah dengan jalan membantu orang lain yang sedang menunggunya, sehingga dapat secara bersama-sama menikmati nikmat Allah sebagaimana Allah dalam surat An-Nahl ayat 71 sebagai berikut:

"Dan Allah melebihkan rezeki sebagian kamu dari lainnya, maka orang-orang yang diberikan lebih rezekinya itu tidak mau memberikan rezeki yang dilebihkan itu kepada hamba sahaya yang mereka miliki, agar mereka sama-sama merasakan rezeki tersebut. Mengapa mereka mengingkari nikmat Allah itu?"

Kepada peserta didik ditanamkan perasaan peka terhadap penderitaan umat ini sejak dari kecil, agar ia kelak menjadi manusia Indonesia yang santun akan penderitaan bangsanya dan umat di tempat lain dan merupakan kewajiban moral untuk membantunya, kepekaan terhadap penderitaan umat ini ditekankan Allah dalam surat Al-Kausar yaitu :
"Sesungguhya kami telah memberikan kepada kamu nikmat yang amat banyak sekali. Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu dan berkorbanlah dengan mengeluarkan harta itu sebagian. Sesungguhnya orang-orang yang membencimu akan hancur."

Dengan pendidikan zakat yang ditanamkan kepada peserta didik ini, diharapkan mereka setelah dewasa nanti bila mendapat rezeki lebih akan segera ingat akan nilai-nilai luhur yäng dikandung rezeki tersebut dan segera mengeluarkan sebagian untuk orang-orang yang memerlukan santunan. Diharapkan ia akan menjadi umat yang mampu serta sadar menghitung dan mengeluarkan zakat hartanya sesuai dengan   ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Bila sikap dan moral agama ini diinternalisasikannya sejak dini, kita dapat mengharapkan bahwa generasi muda umat Islam Indonesia tanggap terhadap kesenjangan sosial di tanah airnya. Di samping itu tentu kita juga mengharapkan hatinya akan tergerak menjadi pelopor untuk ménanggulangi masalahumasalah sosial ini pada masanya kelak Bilä hal ini bisa menjadi kenyataan maka berarti usaha yang dilakukan dalam bidang agama menampakan hasilnya. Hal ini juga berarti, bahwa tujuan pendidikan nasional mulai terwujud pada diri masing-masing peserta didik.
5)        Ibadah haji adalah rukun Islam yang ke lima yang mempunyai kedudukan khusus dibandingkan dengan ibadah-ibadah lainnya, yaitu ia baru wajib melaksanakan bila mukmin yang bersangkutan telah dapat memenuhi persyaratan untuk menunaikannya ke tanah suci. Antara lain kemampuan ekonomi dan kesehatan.
       Melalui ibadah haji banyak sekali nilai lulfur agama Islam yang dapat ditanamkan kepada para peserta     didik kita antara lain adalah ulet, dalam berusaha untuk mencapai tujuan secara halal, sabar dan tekun dalam suatu pekerjaan, mempunyai tenggang rasa yang tinggi, mempunyai sikap diri yang tidak membedakan derajat dan kedudukan seseorang dalam pandangan agama, mawas diri dalam setiap pekerjaan dan tidak menyombongkan diri dalam pergaulan sosial.
Bagi orang yang telah menunaikan ibadah haji dalam jiwanya timbul kesadaran akan kecilnya ia dihadapan Tuhan, terutama di kala bersujud di depan Ka'bah. Secara spontan akan timbul rasa simpati yang mendalam dan rasa kagum akan keuletan para Nabi di kala menjalankan misinya menyampaikan agama Allah kepada umat yang diserunya. Dengan melakukan ibadah haji akan dapat mengubah sikap dan sifat-sifat yang selama ini tidak baik menjadi baik sehingga ia akan menjadi muslim sejati dengan haji yang mabrur. Ia menjadi deang yang rendah hati, tidak lekas gusar menghadapi berbagai cobaan yang datang menimpa dirinya dan dijadikannya pegangan, bahwa itu pertanda Allah dekat dengannya.
Ibadah haji mempunyai nilai pembentukan diri yang tinggi. Misalnya untuk menunaikan ibadah ini ia menjadi manusia yang tidak pemboros dalam kehidupannya. Jiwa menabung dapat ditanamkan melalui ibadah ini. Begitu pula sikap jiwa yang cenderung senang kepada kebersihan, karena kebersihan merupakan sebagian dari iman seseorang. Secara implisit ibadah haji ini mendidik seseorang untuk segera menunaikan niat baiknya, sebab itu orang yang bersangkutan berupaya semaksimal mungkin niatnya terlaksana. Untuk hidup sehat, ibadah haji mendidik orang untuk tetap hidup sehat dengan makanan-makanan yang bergizi. Begitu pula tertanam sikap dan jiwa senang kepada pakaian yang bersih yang dilambangkan dengan pakaian ihram yang bersih berlengan warna putih.
Ibadah haji mengandung nilai luhur yang dapat kita gali bagi pembentukan diri, yaitu menyucikan diri lahir dan batin. Manifestasi nilai ini akan tampil dalam tingkah laku sehari-hari seperti tidak berbuat bohong, penyabar, tabah menghadapi berbagai kesukäran s'ebagaimana yang dilambangkan selama menunaikan ibadah haji. Sikap sabar dan mampu menahan diri ini sangat dituntut dalam menunaikan ibadah haji dan merupakan kunci sukses ibadah selama di tanah suci, mengingat jutaan manusia dari berbagai sukti bangsa dan perangai.
Untuk mencapai tingkat haji mabrur diperlukan persyaratan jiwa atau rohani yang dapat dijadikan panutan lingkungan, meninggalkan semua perbuatan yang tercela, sehingga menjadi manusia yang bersih dari dosa dan noda. Ini yang dituju oleh semua haji yang menunaikan ibadah haji. Bebas dari dosa dan noda dapat dimulai dari usia kecil melalui pendidikan agama.
Melalui ibadah haji dapat ditimbulkan kesadara untuk menjadi satu umat beriman dan bertakwa kepada Allah Yang Maha Esa. Secara tidak langsung Allah telah mewujudkan firmannya yang menyuruh umat-Nya berkenalan satu dengan yang lainya walaupun mereka berasal dari berbagai suku dan bangsa.

2.2   Nilai Relatif Kebudayaan, Nilai Absolut Agama, Nilai Sekuler dan Nilai-Nilai Humanisme dalam Pendidikan.

Kebudayaan adalah hasil daya, karsa dan interaksi manusia dengan sesamanya, dan dengan lingkungannya. Untuk mengadakan interaksi ini manusia menciptakan aturan-aturan dan. nilai-nilai tertentu. Aturan dan nilai tertentu ini dapat berbentuk tata tertib, etika, adat dan aturan perundang-undangan atau konsensus. Semua yang d hasilkan manusia dalam bentuk aturan ini, hanya berlaku untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan situasi dan kondisi yang melingkungi manusia tersebut.
Secara umum dapat kita lihat di mana pun di dunia ini aturan dan nilai yang dianggap luhur oleh manusia itu adakalanya dihasilkan atas dasar pengalaman yang berulang kali, ide atau kekuasaan manusia sendiri. Hasil aturan dan nilai yang dibuat ini berlaku turun temurun dengan diadakan perombakan dan penyesuaian di sana-sini. Oleh para pewarisnya diadakan perubahan karena tidak sesuai dengan zamannya, bahkan perombakan atau pergantian melalui konsensus dan mufakat pula atau melalui kekuasaan yang diberikan untuk mengubah hal itu. Kenyataan ini diakui oleh pepatah Indonesia yang terkenal, yaitu: "Sekali air besar (banjir) sekali tepian berubah, habis adat karena berkerelaan." Artinya adat aturan yang berlaku buat terdahulu dapat diubah melalui mutakat untuk disetujui.
Menurut Dr. Daoed Joesoef (malang, 1982) "Kebudayaan adalah sistem nilai dan gagasan penting yang dihayati oleh sekelompok manusia di suatu lingkungan hidup tertentu di satu kurun waktu tertentu. Konsep sistem nilai ini dalam kenyataannya memang demikian  keadaannya. Sebagai contoh misalnya peraturanean- undangan dengan dalil-dalil dalam ilmu pengetahuan. Semuanya mengalami perubahan dan penyempurnaan sebagai hasil penelitian dan pengalaman atau penemuan dan perubahan sosial.
Sedangkan nilai dan aturan yang terdapat dalam agama Islam bersifat kekal, kaku dan mutlak, tidak dapat diubah oleh tangan-tangan manusia, karena bukan ciptaan manusia. Ia dibuat oleh yang Maha Pencipta dan Maha Kuasa. Maka dikatakan nilai kebudayaan itu sifatnya relatif, yaitu tidak kekal, ia berubah sesuai dengan kondisi dan kemauan manusia itu sendiri untuk mengubah sesuai dengan kebutuhan. Allah sendiri mengakui, bahwa dunia ini tidak kekal, ia fana dan berubah, sebab itu alam selalu bersifat baru. Hanya sunatullah, serta aturan Allah yang tidak berubah.
Demikian pula aturan dalam dunia pendidikan tidak luput dari perubahan dan penyempurnaan. Sebagai contoh dapat kita lihat tJndang-undang Pokok Pendidikan Nomor 4 Tahun 1950 dan Undang-undang No. 12 Tahun 1954. Dengan ditetapkannya UU No. 2 Tahun 1989 mengenai Sistem Pendidikan Nasional maka semua aturan yang berlaku sebelum UU ini diundangkan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Agama yang dimaksudkan di sini adalah agama Islam yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad dengan perantaraan Malaikat-Jibril yang termaktub di dalam Al-Qur'an. Nilai-nilai agama ini terdapat dalam perintah dan larangan Allah yang berlaku sepanjang zaman, sampai hari kiamat. Agama Islam ini adalah agama yang sempurna yang dinyatakan sendiri oleh Allah dalam firman-Nya yang terdapat dalam surat Al-Maidah ayat 3 yang artinya:
"Pada hari ini telah Kusempurnakan unfukmu agamamu dan telah Kucukupkan nikmat-Ku setta Kuridai bagimu Islam sebagai agamamu."

Dengan sempurnanya agama Islam dan diridai Allah, maka semua aturan dan nilai-nilai yang dikandung didalamnya sempurna pula dan bersifat mutlak dan tidak dapat diubah-ubah oleh siapa pun juga. Sebelum ayat terakhir ini turun, Allah telah berfirman pula dalam surat Ali Imran ayat 19, yaitu:
"Sesungguhnya agama (yang diri ai) di sisi Allah hanyalah Islam."
       
Kemudian Nabi Muhammad mengatakan dalam hadisnya yang artinya:
"Aku tinggalkan untukmu dua buah pedoman hidup dan kamu tidak tersesat selama kamu berpegang kepada keduanya, yaitu Al-Qur'an dan Sunah Nabi-Nyä."
                
Sebagai pendidik Islam, kita sangat meyakini ketentuan Allah ini, karena Ia- dengan semua aturan-Nya telah mengantisipasi alam beserta  isinya yang cenderung berubah. Untuk menghadapi perubahan ini, maka Allah memberi pedoman dan petunjuk kepada umat-Nya dengan tata nilai dan aturan yang dijadikan pegangan dalam menghadapi semua perubahan tersebut, mengingat otak dan pikiran manusia sangat terbatas untuk mengantisipasi perubahan yang bakal terjadi.

2.3    Cara-cara Mentransformasikan dan Menginternalisasikan Nilai-nilai Agama ke dalam Pribadi,Peserta Didik
Para ahli didik telah sepakat,' bahwa salah satu tugas yang diemban oleh pendidikan adalah mewariskan nilai-nilai luhur budaya kepada peserta didik dalam upaya membentuk kepribadian yang intelek bertanggung jawab melàlui jalur pendidikan yang diproses secara formal, nilai-nilai luhur tersebut termasuk i nilai-nilai luhur agama akan menjadi bagian dari kepribadiannya.
Upaya mewariskan nilai-nilai sehingga menjadi miliknya disebut mentransformasikan nilai, sedangkan upaya yang dilakukan untuk memasukkan nilai-nilai itu ke dalam jiwanya sehingga menjadi miliknya disebut menginternalisasikan nilai. Kedua upaya ini dalam pendidikan dilakukan asecara bersama-sama dan serempak.
Untuk melaksanakan kedua kegiatan pendidikan ini, banyak cara yang dilakukan oleh setiap pendidik. Antara lain dengan jalan :
1.    Pergaulan
Pendidikan terpokok pangkal kepada pergaulan yang bersifat edukatif antara pendidik dengan peserta didik. Melalui pergaulan, pendidik dan peserta didik saling berinteraksi dan saling menerima dan memberi. Pendidik dalam pergaulan memegang peranan penting. Melalui pergaulan, pendidik mengkomunikasikan nilai-nilai luhur agama, baik dengan jalan berdiskusi maupun tanya jawab.
Sebaliknya peserta didik pergaulan ini mempunyai kesempatan banyak untuk menanyakan hal-hal yang kurang jelas baginya. Dengan demikian wawasan mereka mengenai nilai-nilai agama itu hkan diinternalisasikannya dengan baik, karena pergaulan yang erat itu akan menjadikan keduanya tidak merasakan adanya jurang. Kelemahan pendidikan adanya antara pendidik dan peserta didik seolah-olah ada jurang yang menganga karena keduanya kurang dekat secara kejiwaan.
Bagi pendidik yang berpengalaman akan arif, bahwa ada di antara peserta didiknya yang kurang menghayati nilai-nilai agama yang dikomunikasikannya, dan ia akan segera mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memperbaiki hubungan. Misalnya peserta didik yang kurang mengerti diajaknya berjalan bersama ketika pulang dari sekolah atau dipanggilnya ke kantor atau ke rumahnya. Melalui pergaulan demikian peserta didik yang bersangkutan akan leluasa mengadakan dialog dengan gurunya. Caranya yang ditempuh pendidik ini sangat efektif menanamkan nilai-nilai. agama. Keakraban ini yang penting di dalam proses pendidikan, dan harus diciptakan oleh pendidik.
2.        Memberikan suri tauladan;
Suri teladan adalah alat pendidikan yang sangat efektif bagi kelangsungan komunikasi nilai-nilai agama. Konsep suri teladan dalam pendidikan Ki Hajar Dewantoro mendapat tekanan utamanya yaitu ing ngarso sung tulodo, metalui ing ngarso sung tulodo pendidik menampilkan suri teladannya, dalam bentuk tingkah laku, pembicaraan, cara bergaul, amal ibadah, tegur sapa dan sebagainya. Nilai-nilai agama yang ditampilkan dalam bentuk pembicaraan dapat didengar langsung oleh peserta didiknya. Melalui contoh-contoh ini nilai-nilai luh'ur agama tersebut akan diinternalisasikannya sehingga menjadi bagian dari dirinya, yang kemudian ditampilkannya pula dalam pergaulannya di lingkungan rumah tangga atau di tempat la bermain bersama dengan teman-temannya.
Suri teladan dapat menjadi alat peraga langsung bagi peserta didiknya. Bila guru agama yang memberikan contoh aplikasi nilai-nilai luhur agama, maka peserta didiknya akan mempercayainya, karena yang mencontohkannya adalah orang kedua yang dipercayainya sesudah orang tuanya.
Muhammad Qutb dalam bukunya Manhajut Tarbiyatul Islamiyah, mengemukakan bahwa Rasulullah adalah benar-benar interpretasi praktis yang manusiawi dalam menghidupkan akibat ajaran adab dan tasyri' Al-Qur'an yang melandasi perbuatan pendidikan agama Islam serta penerapan metode pendidikan yang Qurani.
Secara pedagogis, semua manusia sejak kecilnya diberi fitrah Allah untuk cenderung mencari suri teladan yang dapat dijadikannya pedoman untuk berbuat.
Fitrah untuk mencari suri teladan ini harus dapat dimanfaatkan oleh pendidik. Apabila keteladanan ini kita analisis secara pedagogis, ia bertumpu pada unsur-unsur pembentukan diri, karena keteladanan yang disuriteladankan oleh pendidik, secara tidak langsung akan diinternalisasikan atau diserap secara langsung oleh peserta didik.
Pada hakikatnya di lembaga pendidikan ini peserta didik haus akan suri teuladan, karena sebagian besar hasil pembentukan kepribadian adalah keteladanan yang diamatinya dari para pendidiknya. Di rumah, keteladanan ini diterimanya dari kedua orang tuanya dan dari orang-orang dewasa dalam keluarga. Begitu pula keteladanan yang dilihatnya di lingkungan sosial di tempat ia berinteraksi dengan lingkungmya.
Sebagai peserta didik, murid-murid ini secara pasti meyakinkan semua yang dilihat, didengarkannya dari cara pendidiknya adalah suatu kebenaran, sebab itu ditirunya.
Secara psikologis atau dari sudut ilmu jiwa, bahwa peserta didik secara garizah atau bakat potensial ingin meniru yang dikaguminya, bahkan mungkin ia bertàklid atau menerima sebagaimana adanya tingkah laku para pendidiknya karena guru-gurunya adalah orang-orang yang dipercayainya memberikan pelajaran dan pendidikan kepada mereka. Taklid garizi (meniru secara naluriah) ini mencapai puncaknya bila penampilan orang yang hendak dijadikan panutan ini menimbulkan rasa kagumnya, baik dalam berbicara, gerak-geriknya maupun perbuatannya.
Keùntungan taklid garizi ini dalam pendidikan adalah karena dalam diri setiap peserta didik terdapat keinginan untuk meniru. Pengaruh suri teladan dalam penanaman nilai-nilai agama dapat secara langsung dan disengaja.
Nilai-nilai luhur agama Islain yang diajarkan kepada peserta didik bukan untuk dihafal menjadi ilmu pengetahuan atau kognitif, tapi adalah untuk dihayati (afektif) dan diamalkan (psikomotor) dalam kehidupan sehari-hari. Islam adalah agama yang menuntut kepada pemeluknya untuk mengerjakannya sehingga menjadi umat yang beramal saleh.
Islam mengakui bahwa manusia adalah makhluk dualisme yang menyatu di dalam dirinya unsur jasmani dan rohani yang harus dijaga perkembangannya secara seimbang. Amal saleh merupakan aplikasi dari penghayatan terhadap nilai-nilai luhur agama.
3.        Mengajak dan mengamalkan.
Dalam teori pendidikan terdapat metode belajar yang bernama Learning by daing yaitu belajar dengan mempraktekan teori yang dipelajari. Dengan mengamalkan ilmu yang dipelajari akan menimbulkan kesan yang mendalam sehingga menjadi milik sendiri (internalisasi). Hasil belajar terletak dalam psikomotor yaitu mempraktekkan ilmu yang dipelajari seperti nilai luhur agarna di dalam praktek kehidupan sehari-hari.
Secara pedagogis agama Islam yang dipelajari itu dituntut diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Dari itu kepada semua guru agama, harus dapat memberi motivasi agar semua ajaran Islam itu diamalkan dalam kehidupan pribadi peserta didik, agar nilai-nilai luhur agama ini tampak dalam perilaku mereka.
Dalam hadis Rosulullah terdapat implikasi pedagogisnya sebagai berikut:
1.    Pendidik harus berusaha memberi motivasi dan merangsang perhatian peserta didiknya untuk mau mengamalkan nilai-nilai agama secara penuh kesadaran,
2.    Pendidik berusaha membetulkan kesalahan dan kekeliruan pemahaman terhadap nilai-nilai agama yang telah diketahui,
3.    Cara mendidik seperti yang dilakukan Nabi itu memberikan kepada jiwa peserta didik dalam upaya menginternalisasikan nilai-nilai agama yang ditransfer kepada mereka,
4.    Pendidik dituntut secara pedagogis menggunakan metode mengajak dan mengamalkan.


















BAB III
PENUTUP

3.1  Simpulan
Menurut ajaran islam manusia terdiri dari duaa unsur yaitu unsur ardi “jasmaniah” dan samawi “rohaniah”.
Penerapan nilai dan moral agama ke dalam pendidikan  melalui rukun islam diantaranya: Syahadat yang menyatakan pengakuan secara sadar akan ke-Esaan Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, salat dapat membawa seseorang sangat dekat dengan Allah, menunaikan ibadah puasa dimana akan mengajarkan pada pendidik untuk bisa menahan hawa nafsu serta menahan rasa lapar dan dahaga, menunaikan zakat yaitu mengajarkan kepada peserta didik untuk menanamkan sifat penyantun terhadap sesama manusia yang lemah dan menimbukan kesadaran bahwa rizki yang diberikan hanyalah titipan Allah semata, serta menunaikan ibadah haji dapat ditanamkan kepada peserta didik antara lain ulet dalam berusaha mencapai tujuan yang halal, sabar dan tekun dalam bekerja, mempunyai tenggang rasa yang tinggi, mempunyai sikap yang tidak membedakan derajatdan lain sebagainya.
Kebudayaan merupakan hasil budi daya, karsa dan interaksi manusia dengan lingkungannya. Timblnya kebudayaan yang dapat memudahkan kehidupan manusia, karena digunakan untuk menunjang kehidupan baik secara mandiri maupun secara bersama-sama.
Manusia dengan kebudayaan harus mengontrol nilai-nilai luhur yang terdapat dalam agama, sebab manusia akan rusak karena aturan-aturan yang disebutkan tidak normatif  dan tidak konstantif baku apabila tidak dikontrol.
Nilai-nilai luhur agama yang bersifat mutlak amat diperlukan dalam kehidupan dan berguna bagi umat manusia dalam upaya memperoleh rida Allah sebagai perwujudan menaati perintah dan larangan-Nya.
Upaya-upaya yang dilakukan pendidik untuk menjadikan nilai-nilai luhur agama bagi peserta didik anatar lain dengan jalan menciptakan pergaulan yang bersifat mendidik, keteladanan yang mencerminkan perilaku dan tingkah laku yang dapat dihayati baik secara individu maupun bersama-sama, dan mereka diajak mengamalkannya dengan berbagai cara seperti salat berjamaah dan mengadakan perayaan hari besar islam.

3.2  Saran
1.        Sangatlah diperlukan keseriusan peran serta dari pemerintah, para pakar pendidikan, juga para ulama untuk duduk bersama mencari solusi bagaimana mengatur agar kualitas pendidikan kita semakin hari tambah maju dan berbobot, khususnya dalam bidang agama. Karena tanpa basic pendidikan agama, kita akan hancur dan hanyut dalam kenistaan dan kemewahan dunia yang hanya bersifat sementara.
2.        Disamping itu pula, minimal kurikulum pendidikan agama yang diajarkan di lembaga-lembaga swasta atau negeri harus segera diselaraskan dengan konteks perkembangan zaman saat ini tanpa menghilangakn identitas kita sebagai orang muslim. Demikian halnya dengan system dan pengelolaannya yang membutuhkan pola dan management modern.





DAFTAR PUSTAKA

2.      Ikhsan, Fuad, 2005, “Dasar-dasar Pendidikan”, Reneka Cipta, Jakarta


No comments:

Post a Comment