BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kurikulum
Pendidikan agama dan pembinaan keimanan-ketakwaan yang berlangsung di
sekolah-sekolah selama ini masih sarat dengan kelemahan– kelemahan praktik pendidikan
dinilai hanya memperhatikan aspek kognitif. Pertumbuhan kesadaran nilai-nilai
agama belum tersentuh. Selain itu, pembinaan aspek afektif dan konasif-volutif,
yakni kemauan dan tekad untuk mengamalkan nilai-nilai ajaran agama juga masih
terabaikan. Ada hal yang sangat menarik dan patut kita cermati dari sebuah
cerita nabi Sulaiman as. Ketika suatu saat beliau ditawari beberapa pilihan
oleh Allah swt untuk dikasih ilmu, harta atau tahta. Namun apa jawabannya?
Beliau lebih memilih ilmu ketimbang yang lain. Dan ternyata setelah ilmu beliau
pilih, harta dan tahta dengan sendirinya Allah swt kasihkan juga pada beliau.
Ini
menggambarkan betapa ilmu adalah suatu hal yang sangat berharga dibandingkan
dengan yang lain. Suatu Negara tidak akan mengalami kemajuan dalam berbagai
segi manakala tidak didukung dengan kualitas manusianya yang berilmu dan
berdedikasi tinggi. Saat ini hal itu dapat kita lihat, bahwa kita tidak bisa
meghindar dari percaturan dunia global yang semakin hari semakin maju dan
canggih. Suatu kejadian yang ada diseberang dunia sana dapat kita saksikan
lewat akses tehnologi yang serba canggih dan mutakhir.
Negara
sebagai lembaga resmi penyelenggara pendidikan tentunya tidak bisa begitu saja
membiarkan apalagi lepas tangan dalam maju mundurnya kualitas pendidikan bangsa
ini. Pemerintah, dalam hal ini Depag seharusnya sejak dini respon dengan
realitas yang ada. Mengapa lembaga sekolah dan pondok pesantren yang bernuansa
agama sejak dulu tidak pernah mendapat perhatian serius dari pemerintah.
Sehingga mengakibatkan kurang mampunya para lulusan madrasah dan pondok
pesantren merespon gejolak dunia global yang penuh dengan serba system
teknologi mutakhir.
Menurunya kualitas pendidikan Negara
kita juga sangat tidak lepas dari factor mahalnya biaya pendidikan. Bisa kita
bayangkan saja untuk bisa daftar jadi siswa sekolah atau mahasiswa harus
mengeluarkan uang pelican agar namanya bisa terdaftar. Belum lagi nanti setelah
resmi masuk sekolah atau universitas, berapa banyak lagi uang yang harus kita
keluarkan untuk beli buku, diktat, praktikum dan lain-lainnya.
1.2
Rumusan Masalah
1.2.1 Apakah penerapan Sisitem Nilai dan moral
Agama ke Dalam Proses Kependidikan?
1.2.2 Apa yang dimaksud dengan Nilai Relatif
kebudayaan, Nilai Absolut Agama,Nilai Sekuler, Dan nilai-nilai Humanisme dalam
pendidikan?
1.2.3 Bagaimana cara-Cara Mentransformasikan
dan Menginternalisasikan Nilai-nilai Agama ke Dalam Pribadi Peserta Didik?
1.3
Tujuan Pembahasan
1.3.1 Mengetahui bagaimana penerapan Sisitem
Nilai dan moral Agama ke Dalam Proses Kependidikan
1.3.2 Mengetahui apa yang dimaksud dengan Nilai
Relatif kebudayaan, Nilai Absolut Agama,Nilai Sekuler, Dan nilai-nilai
Humanisme dalam pendidikan.
1.3.3 Mengetahui cara-cara Mentransformasikan
dan Menginternalisasikan Nilai-nilai Agama ke Dalam Pribadi Peserta Didik
1.4
Manfaat
1.4.1
Umum
Untuk
mengetahui pendidikan agama di Indinesia.
1.4.2 Khusus
1) Mengidentifikasi penerapan pendidikan
agama di Indonesia,
2) Menganalisa penerapan cara-cara mentransformasikan
dan menginternalisasikan nilai-nilai agama ke dalam pribadi peserta didik.
BAB
II
PENDIDIKAN
AGAMA DI INDONESIA
2.1
Penerapan Sistem Nilai dan Moral Agama ke dalam
Proses Kependidikan
Manusia
menurut ajaran Islam terdiri dari dua unsur yaitu:
1. Unsur ardi adalah jasmaniah.
Jasmaniah
meliputi seluruh jasad manusia, baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan
(terdapat di bagian dalam tubuh kita). Semuanya terdiri dari zat materi, ia pun
membatuhkan makanan pula seperti makan, minum, vitamin dan sebagainya. Jasmani
mempunyai dorongan dan hawa nafsu, bila tidak dikembalikan ia dapat membuat
kesalahan atau keonaran, atau melanggar peraturan.
2.
Unsur samawi adalah rohaniah.
Rohani
juga membutuhkan makan berupa santapan rohani seperti pendidikan agama,
bimbingan, penyuluhan, rekreasi, istirahat, dan sebagainya.
Rohani, walaupun selalu
mengajak manusia ke jalan yang lurus dan kepada perbuatan yang benar. Tapi
karena pengaruh lingkungan ia dapat tergelincir dan melaksanakan perbuatan yang
melanggar ketentuan, sebab itu ia memerlukan pendidikan.
Keduanya
unsur tersebut dapat menyeret manusia
pada kelalaian, kealpaan, dan lupa diri. Kelalaian dan kealpaan ini dapat
disebabkan oleh kesibukan dalam rangka memenuhi tuntutan kebutuhan materi yang
tak kunjung puas. Sebagian manusia yang dulunya kuat imannya kadangkala
terpeleset dan melupakan ajaran yang selama ini dipegangnya dengan teguh.
Melalui media massa dapat kita temukan orang-orang yang melakukan berbagai
kejahatan walaupun ia korupsi, membunuh, menjambret, menggelapkan harta negara
dan sebagainya. Akibatnya merugikan orang banyak ulah nafsu yang tidak
terkendalikan. Sebagian orang yang melakukan tindak kejahatan seperti dikemukakan di
atas, tingkah laku ataupun sikapnya, dapat ditelusuri melalui pendidikan dan
lingkungannya. Biasanya bila pendidikan baik, ia akan bertingkah laku baik pula
sesuai dengan pengaruh lingkungannya karena telah menginternalisasikan
nilai-nilai luhur agama yang diajarkan kepadanya sejak kecil sampai ia memasuki
usia kedewasaannya. Begitu pula pendidikan agama yang pernah diterimanya di
sekolah akan mempengaruhi -perkembangan jiwanya dan mewarnai kepribadiannya.
Kehidupan
ini tak ubahnya seperti air yang keluar dari sumbernya yang bersih dan bening.
Dalam perjalanannya menuju samudera, ia menemui berbagai air yang lain yang telah
kena polusi, sehingga akhirnya ia tercampur dengan air-air yang beraneka ragam
tersebut. Kadangkala warna dan baunya berubah. Namun bila ia ditenangkan atau
dalam keadaan tenang dan disaring, maka dasar air bersih dan bening itu akan
kembali muncul. Demikianlah keadaannya manusia dalam perjalanan hidupnya di
alam fana ini. Menurut Sigmund Freud (tokoh psikoanalisis) bahwa tingkah laku seseorang
dalam kehidupannya dalam masyarakat
atau pergaulan, dapat dicari asal usulnya
dari keadaan pendidikan dan kehidupan rumah tangganya ataupun lingkungannya.
Pendidikan
moral ini dalam Islam berjalan sangat sistematika dan kontinu, yaitu mulai dari
lingkungan keluarga, sampai
ke lingkungan sekolah dan masyarakat dengan berbagai aturan.
Penerapan
ajaran nilai dan moral agama ini antara melalui rukun Islam yang lima diantaranya sebagai berikut:
1)
Pengakuan yang tulus dalam islam dikenal dengan mengucap dua kalimat
syahadat yaitu pengakuan secara tulus dan sadar akan ke-Esaan Allah dan
Muhammad sebagai Rasul-Nya yang membawa semua ajaran-ajaran-Nya yang benar dan
mutlak yang kesemuanya adalah untuk kebaikan umat manusia itu sendiri.
Bila pengakuan yang diucapkan secara lisan ini keluar
dari hati nurani yang bersih tanpa paksaan atau motivasi tanda selain Allah,
maka semua aturan dan larangan-Nya akan dipatuhi dan dikerjakan tanpa
argumentasi untuk menolaknya dan akan dilakukan secara konsekuen dan murni. Semua
larangan tidak akan dikerjakan atau ditinggalkàn sebagai perwujudan dari
pengakuan paripurna sebagai umat-Nya. Tetapi kebanyakan umat-Nya atau sebagian
mereka kesadaran akan pengakuan ini tampaknýa kurang mentap, karena masihbanyak
larangan-Nya yang dilanggar dan suruhan-Nya tidak dikerjakan secara utuh. Nilai
luhur dua kalimat syahadat ini dapat mengontrol tingkah laku dan perilaku
seseorang dalam kehidupannya.
2)
Mengerjakan
salat wajib lima waktu sehari semalam. Dengan ibadah salat dapat membawa
seseorang (umat Islam) sangat dekat dengan Allah, karena selama ibadah ini dilakukannya
selalu dalam keadaan siap sedia menerima dialognya dan mendengarkannya setiap waktu di mana saja di muka
bumi ini.
Melalui ibadah
salat umat-Nya memuja, mengagungkan-Nya serta,menyatakan kehambaan di hadapan-Nya. Dengan salat seseorang
menyatakan kesetiaannya dan menyatakan penyerahan diri sambil memohon
pertolongan serta perlindungan-Nya.
Menurut Prof. Dr. Harun
Nasution guru besar IAIN Jakarta di dalam bukunya Pengantar Ilmu Agama Islam, bahwa
melaiui ibadah salat seseorang melakukan berbagai kegiatan secara berhadap-hadapan dengan Allah.
Kepada-Nya memohon supaya dilindungi dari godaan setan, mohon diberi ampun dan
dibersihkan dari segala dosa, mohon supaya diberi petunjuk ke jalan yang benar,
dijauhkan dari kesesatan dan perbuatan-perbuatan yang tidak baik dan
sebagainya. Bila amal ini dilakukan secara kontinu selama hayat masih dikandung
badan secara sadar dengan hanya mengharapkan rida-Nya serta berusaha ke arah itu, maka mustahil kiranya permohonan
untuk kesucian ini tidak akan menaapatkan perkenan-Nya; karena melalui ibadah salat
ini seseorang dapat terhindar darisegala perbuatan yang terlarang dan melakukan
perbuatan yang disuruh-Nya. Penegasan
Allah ini
dinyatakan-Nya dalam surat Al-Ankabut ayat 45 yaitu sebagai berikut:
"Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu.yaitru
Qur'an dan dirikanlah salat, sesungguhnya salat itu mencegah dari perbuatan
keji dan mungkar. Dan sesurigguhnya
mengingat Allah melalui salat adalah lebih besar keuntungannya dari
ibadah-ibadah lainnya. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan."
Tingkat Sekolah Dasar
ibadah salat perlu mendapat perhatian utama dari setiap guru agama. Bila sejak
dari SD peserta didik telah mulai
malas melakukannya, maka pada masa perkembangan selanjutnya rasa malas ini akan
makin besar. Sebab itulah Nabi bersabda
dalam hadisnya yang amat masyhur sebagai
berikut :
"Suruhlah olehmu anakmu itu melakukan salat apabila
ia telah berumur 7 tahun dan apabila telah berumur 10 tahun tidak mau melakukan salat atau meninggalkannya maka
lecutlah dia " (H R. Tzrmizi)
3)
Ibadah
puasa juga merupakan amal yang dapat menyucikan diri dari ruh kotor.
Melalui
ibadah puasa seseorang akan berupaya sekuat tenaga menahan hawa nafsu makan
minum dan hubungan suami istri.
Nilai
tinggi yang dikandung oleh ibadah puasa antara lain adalah kemampuan menahan diri, keinginan untuk mengalahkan
orang lain. Nilai luhur yang dapat ditanamkan kepada peserta didik melalui ibadah
puasa adalah mendekatkan diri kepada Allah dan sesama manusia, terutama golongan
umat Islam yang bernasib kurang baik seperti fakir miskin yang berada dalam
kekurangan gizi.
Dengan
berpuasa anak-anak dan peserta didik dilatih menumbuhkan rasa solidaritas,
kesetiakawanan sosial dan ikut merasakan penderitaan orang lain, suka beramal,
membantu dan introspeksi. Dalam ibadah puasa ini juga mengandung nilai luhur
mengeluarkan sebagian kecil harta yang dimilikinya berupa zakat fitrah, sebagai
rasa syukur dan bergembira sesama umat Islam tanpa pandang derajat sebagai
tanda bersihnya diri dari dosa setelah melakukan ibadah puasa selama satu bulan
penuh.
Kesadaran
mengeluarkan zakat fitrah ini dmulai dari kecil walaupun ia masih berada dalam
tanggung jawab orang tuanya. Mengeluarkan zakat fitrah ini harus dikemukakan kepada
mereka akan arti dan makna luhur yang dikandungnya. Kesadaran merasakan
penderitaan orang lain di saat bersuka cita ini besar nilainya bagi pembentukan
kepribadian muslim sejati. Kesadaran merasakan penderitaan orang lain perlu ditularkan
kepada peserta didik dengan mengajak mereka memperhatikan lingkungan sosiainya.
Dengan melihat kenyataan sosial.ini diharapkan dalam dirinya akan terbentuk
sikap mau mengerti dan merasakan apa yang dirasakan orang lain.
Selama
satu bulan mereka dilatih menjadi orang yang tahu berterima kasih kepada Tuhan
dengan jalan menyantuni orang lemah. Kaum duafa dan fakir miskin atau orang terlantar.
Bila latihan penanaman moral sosial ini berlangsung sejak dari kecil secara
teratur setiap tahun, mulai dari usia Taman Kanak-kanak sampai tamat SD, yaitu
selama 10 tahun maka dapat diharapkan di dalam diri mereka akan tertanam dengan
baik sikap sosial altruistis dan ekstrovet yaitu sikap diri terbuka untuk dunia
luar dan merasakan penderitaan orang lain. Bila mereka telah dewasa kelak
diharapkan warna kepribadian Muslim akan tampil dalam tingkal laku
kesehariannya dalam hidup bersama dalam marsyarakat.
4)
Menunaikan zakat.
Melalui
ibadah zakat ini akan tertanam pula sifat diri dan sikap jiwa mau menolong
sesama dan menolong agama Allah dengan rezeki yang diberikan-Nya. Nilai luhur
zakat dapat menghilangkan sifat bakhil dan akan tumbuh sifat penyantun kepada sesama
manusia yang lemah yang memerlukan bantuan dan pertolongan. Dalam diri akan
timbul kesadaran, bahwa rezeki yang diberikan Allah itu merupakan titipan-Nya
untuk diberikan sebagian kepada pihak-pihak tertentu menurut ketentudhnya.
Sebab
itu bagi orang yang diberi Allah rezeki lebih, agar ia segera menyadari bahwa
hal itu menjadi per-tanda baginya sebagai salah seorang hamba Allah yang
dipercaya untuk segera menunaikan Syariah Islamiah dengan jalan membantu orang
lain yang sedang menunggunya, sehingga dapat secara bersama-sama menikmati
nikmat Allah sebagaimana Allah dalam surat An-Nahl ayat 71 sebagai berikut:
"Dan
Allah melebihkan rezeki sebagian kamu dari lainnya, maka orang-orang yang
diberikan lebih rezekinya itu tidak mau memberikan rezeki yang dilebihkan itu
kepada hamba sahaya yang mereka miliki, agar mereka sama-sama merasakan rezeki
tersebut. Mengapa mereka mengingkari nikmat Allah itu?"
Kepada
peserta didik ditanamkan perasaan peka terhadap penderitaan umat ini sejak dari
kecil, agar ia kelak menjadi manusia Indonesia yang santun akan penderitaan
bangsanya dan umat di tempat lain dan merupakan kewajiban moral untuk
membantunya, kepekaan terhadap penderitaan umat ini ditekankan Allah dalam
surat Al-Kausar yaitu :
"Sesungguhya
kami telah memberikan kepada kamu nikmat yang amat banyak sekali. Maka
dirikanlah salat karena Tuhanmu dan berkorbanlah dengan mengeluarkan harta itu
sebagian. Sesungguhnya orang-orang yang membencimu akan hancur."
Dengan
pendidikan zakat yang ditanamkan kepada peserta didik ini, diharapkan mereka
setelah dewasa nanti bila mendapat rezeki lebih akan segera ingat akan
nilai-nilai luhur yäng dikandung rezeki tersebut dan segera mengeluarkan sebagian
untuk orang-orang yang memerlukan santunan. Diharapkan ia akan menjadi umat
yang mampu serta sadar menghitung dan mengeluarkan zakat hartanya sesuai
dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya.
Bila sikap dan moral agama ini diinternalisasikannya sejak dini, kita dapat
mengharapkan bahwa generasi muda umat Islam Indonesia tanggap terhadap kesenjangan
sosial di tanah airnya. Di samping itu tentu kita juga mengharapkan hatinya
akan tergerak menjadi pelopor untuk ménanggulangi masalahumasalah sosial ini
pada masanya kelak Bilä hal ini bisa menjadi kenyataan maka berarti usaha yang
dilakukan dalam bidang agama menampakan hasilnya. Hal ini juga berarti, bahwa
tujuan pendidikan nasional mulai terwujud pada diri masing-masing peserta
didik.
5)
Ibadah
haji adalah rukun Islam yang ke lima yang mempunyai kedudukan khusus
dibandingkan dengan ibadah-ibadah lainnya, yaitu ia baru wajib melaksanakan
bila mukmin yang bersangkutan telah dapat memenuhi persyaratan untuk menunaikannya
ke tanah suci. Antara lain kemampuan ekonomi dan kesehatan.
Melalui
ibadah haji banyak sekali nilai lulfur agama Islam yang dapat ditanamkan kepada
para peserta didik kita antara lain
adalah ulet, dalam berusaha untuk mencapai tujuan secara halal, sabar dan tekun
dalam suatu pekerjaan, mempunyai tenggang rasa yang tinggi, mempunyai sikap
diri yang tidak membedakan derajat dan kedudukan seseorang dalam pandangan
agama, mawas diri dalam setiap pekerjaan dan tidak menyombongkan diri dalam
pergaulan sosial.
Bagi
orang yang telah menunaikan ibadah haji dalam jiwanya timbul kesadaran akan
kecilnya ia dihadapan Tuhan, terutama di kala bersujud di depan Ka'bah. Secara
spontan akan timbul rasa simpati yang mendalam dan rasa kagum akan keuletan
para Nabi di kala menjalankan misinya menyampaikan agama Allah kepada umat yang
diserunya. Dengan melakukan ibadah haji akan dapat mengubah sikap dan
sifat-sifat yang selama ini tidak baik menjadi baik sehingga ia akan menjadi
muslim sejati dengan haji yang mabrur. Ia menjadi deang yang rendah hati, tidak
lekas gusar menghadapi berbagai cobaan yang datang menimpa dirinya dan
dijadikannya pegangan, bahwa itu pertanda Allah dekat dengannya.
Ibadah
haji mempunyai nilai pembentukan diri yang tinggi. Misalnya untuk menunaikan
ibadah ini ia menjadi manusia yang tidak pemboros dalam kehidupannya. Jiwa menabung
dapat ditanamkan melalui ibadah ini. Begitu pula sikap jiwa yang cenderung
senang kepada kebersihan, karena kebersihan merupakan sebagian dari iman
seseorang. Secara implisit ibadah haji ini mendidik seseorang untuk segera menunaikan
niat baiknya, sebab itu orang yang bersangkutan berupaya semaksimal mungkin
niatnya terlaksana. Untuk hidup sehat, ibadah haji mendidik orang untuk tetap
hidup sehat dengan makanan-makanan yang bergizi. Begitu pula tertanam sikap dan
jiwa senang kepada pakaian yang bersih yang dilambangkan dengan pakaian ihram
yang bersih berlengan warna putih.
Ibadah
haji mengandung nilai luhur yang dapat kita gali bagi pembentukan diri, yaitu
menyucikan diri lahir dan batin. Manifestasi nilai ini akan tampil dalam
tingkah laku sehari-hari seperti tidak berbuat bohong, penyabar, tabah
menghadapi berbagai kesukäran s'ebagaimana yang dilambangkan selama menunaikan
ibadah haji. Sikap sabar dan mampu menahan diri ini sangat dituntut dalam
menunaikan ibadah haji dan merupakan kunci sukses ibadah selama di tanah suci,
mengingat jutaan manusia dari berbagai sukti bangsa dan perangai.
Untuk
mencapai tingkat haji mabrur diperlukan persyaratan jiwa atau rohani yang dapat
dijadikan panutan lingkungan, meninggalkan semua perbuatan yang tercela, sehingga
menjadi manusia yang bersih dari dosa dan noda. Ini yang dituju oleh semua haji
yang menunaikan ibadah haji. Bebas dari dosa dan noda dapat dimulai dari usia
kecil melalui pendidikan agama.
Melalui
ibadah haji dapat ditimbulkan kesadara untuk menjadi satu umat beriman dan
bertakwa kepada Allah Yang Maha Esa. Secara tidak langsung Allah telah
mewujudkan firmannya yang menyuruh umat-Nya berkenalan satu dengan yang lainya
walaupun mereka berasal dari berbagai suku dan bangsa.
2.2
Nilai Relatif Kebudayaan, Nilai Absolut Agama, Nilai
Sekuler dan Nilai-Nilai Humanisme dalam Pendidikan.
Kebudayaan
adalah hasil daya, karsa dan interaksi manusia dengan sesamanya, dan dengan
lingkungannya. Untuk mengadakan interaksi ini manusia menciptakan aturan-aturan
dan. nilai-nilai tertentu. Aturan dan nilai tertentu ini dapat berbentuk tata
tertib, etika, adat dan aturan perundang-undangan atau konsensus. Semua yang d
hasilkan manusia dalam bentuk aturan ini, hanya berlaku untuk jangka waktu tertentu
sesuai dengan situasi dan kondisi yang melingkungi manusia tersebut.
Secara
umum dapat kita lihat di mana pun di dunia ini aturan dan nilai yang dianggap
luhur oleh manusia itu adakalanya dihasilkan atas dasar pengalaman yang
berulang kali, ide atau kekuasaan manusia sendiri. Hasil aturan dan nilai yang
dibuat ini berlaku turun temurun dengan diadakan perombakan dan penyesuaian di
sana-sini. Oleh para pewarisnya diadakan perubahan karena tidak sesuai dengan
zamannya, bahkan perombakan atau pergantian melalui konsensus dan mufakat pula
atau melalui kekuasaan yang diberikan untuk mengubah hal itu. Kenyataan ini
diakui oleh pepatah Indonesia yang terkenal, yaitu: "Sekali air besar
(banjir) sekali tepian berubah, habis adat karena berkerelaan." Artinya
adat aturan yang berlaku buat terdahulu dapat diubah melalui mutakat untuk
disetujui.
Menurut Dr. Daoed Joesoef (malang, 1982) "Kebudayaan
adalah sistem nilai dan gagasan penting yang dihayati oleh sekelompok manusia
di suatu lingkungan hidup tertentu di satu kurun waktu tertentu. Konsep
sistem nilai ini dalam kenyataannya memang demikian keadaannya. Sebagai
contoh misalnya peraturanean- undangan dengan dalil-dalil dalam ilmu
pengetahuan. Semuanya mengalami perubahan dan penyempurnaan sebagai hasil
penelitian dan pengalaman atau penemuan dan perubahan sosial.
Sedangkan nilai dan aturan yang terdapat dalam agama
Islam bersifat kekal, kaku dan mutlak, tidak dapat diubah oleh
tangan-tangan manusia, karena bukan ciptaan manusia. Ia dibuat oleh yang Maha
Pencipta dan Maha Kuasa. Maka dikatakan nilai kebudayaan itu sifatnya relatif,
yaitu tidak kekal, ia berubah sesuai dengan kondisi dan kemauan manusia itu
sendiri untuk mengubah sesuai dengan kebutuhan. Allah sendiri mengakui, bahwa
dunia ini tidak kekal, ia fana dan berubah, sebab itu alam selalu bersifat
baru. Hanya sunatullah,
serta aturan Allah yang tidak
berubah.
Demikian
pula aturan dalam dunia pendidikan tidak luput dari perubahan dan
penyempurnaan. Sebagai contoh dapat kita lihat tJndang-undang Pokok Pendidikan
Nomor 4 Tahun 1950 dan Undang-undang No. 12 Tahun 1954. Dengan ditetapkannya UU
No. 2 Tahun 1989 mengenai Sistem Pendidikan Nasional maka semua aturan yang
berlaku sebelum UU ini diundangkan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Agama
yang dimaksudkan di sini adalah agama Islam yang diwahyukan kepada Nabi
Muhammad dengan perantaraan Malaikat-Jibril yang termaktub di dalam Al-Qur'an.
Nilai-nilai agama ini terdapat dalam perintah
dan larangan Allah yang
berlaku sepanjang zaman, sampai
hari kiamat. Agama Islam ini adalah agama yang sempurna yang dinyatakan sendiri
oleh Allah dalam firman-Nya yang terdapat dalam surat Al-Maidah ayat 3 yang artinya:
"Pada hari ini telah Kusempurnakan unfukmu agamamu
dan telah Kucukupkan nikmat-Ku setta Kuridai bagimu Islam sebagai
agamamu."
Dengan
sempurnanya agama Islam dan diridai Allah, maka semua aturan dan nilai-nilai
yang dikandung didalamnya sempurna
pula dan bersifat mutlak dan tidak dapat diubah-ubah oleh siapa pun juga.
Sebelum ayat terakhir ini turun, Allah telah berfirman pula dalam surat Ali
Imran ayat 19, yaitu:
"Sesungguhnya
agama (yang diri ai) di sisi Allah hanyalah Islam."
Kemudian
Nabi Muhammad mengatakan dalam hadisnya yang artinya:
"Aku tinggalkan untukmu dua buah pedoman hidup dan kamu tidak tersesat
selama kamu berpegang kepada keduanya, yaitu Al-Qur'an dan Sunah
Nabi-Nyä."
Sebagai
pendidik Islam, kita sangat meyakini ketentuan Allah ini, karena Ia- dengan semua
aturan-Nya telah mengantisipasi alam beserta isinya
yang cenderung berubah. Untuk menghadapi
perubahan ini, maka Allah memberi pedoman dan petunjuk kepada umat-Nya dengan
tata nilai dan aturan yang dijadikan pegangan dalam menghadapi semua perubahan
tersebut, mengingat otak dan pikiran manusia sangat terbatas untuk
mengantisipasi perubahan yang bakal terjadi.
2.3 Cara-cara
Mentransformasikan dan Menginternalisasikan Nilai-nilai Agama ke dalam
Pribadi,Peserta Didik
Para
ahli didik telah sepakat,' bahwa
salah satu tugas yang diemban oleh pendidikan adalah mewariskan nilai-nilai luhur budaya kepada
peserta didik dalam upaya membentuk kepribadian yang intelek bertanggung jawab
melàlui jalur pendidikan yang diproses
secara formal, nilai-nilai luhur tersebut termasuk i nilai-nilai luhur agama akan menjadi
bagian dari kepribadiannya.
Upaya mewariskan nilai-nilai sehingga menjadi miliknya
disebut mentransformasikan nilai, sedangkan upaya yang dilakukan untuk
memasukkan nilai-nilai itu ke dalam jiwanya sehingga menjadi miliknya disebut
menginternalisasikan nilai. Kedua upaya ini dalam
pendidikan dilakukan asecara bersama-sama
dan serempak.
Untuk
melaksanakan kedua kegiatan pendidikan ini, banyak cara yang dilakukan oleh
setiap pendidik. Antara lain dengan jalan :
1. Pergaulan
Pendidikan
terpokok pangkal kepada pergaulan yang bersifat edukatif antara pendidik dengan
peserta didik. Melalui pergaulan, pendidik dan peserta didik saling
berinteraksi dan
saling menerima dan memberi. Pendidik dalam pergaulan memegang peranan penting.
Melalui pergaulan, pendidik mengkomunikasikan nilai-nilai luhur agama, baik
dengan jalan berdiskusi maupun tanya jawab.
Sebaliknya
peserta didik pergaulan
ini mempunyai kesempatan banyak untuk menanyakan hal-hal yang kurang jelas
baginya. Dengan demikian wawasan mereka mengenai nilai-nilai agama itu hkan
diinternalisasikannya dengan baik, karena pergaulan yang erat itu akan
menjadikan keduanya tidak merasakan adanya jurang. Kelemahan pendidikan adanya
antara pendidik dan peserta didik seolah-olah ada jurang yang menganga karena
keduanya kurang dekat secara kejiwaan.
Bagi pendidik
yang berpengalaman akan arif, bahwa ada di antara peserta didiknya yang kurang menghayati
nilai-nilai agama
yang dikomunikasikannya, dan ia akan segera mengambil langkah-langkah yang
diperlukan untuk memperbaiki hubungan. Misalnya peserta didik yang kurang
mengerti diajaknya berjalan bersama ketika pulang dari sekolah atau dipanggilnya
ke kantor atau ke rumahnya. Melalui pergaulan demikian peserta didik yang
bersangkutan akan leluasa mengadakan dialog dengan gurunya. Caranya yang
ditempuh pendidik ini sangat
efektif menanamkan nilai-nilai. agama. Keakraban ini yang penting di dalam proses
pendidikan, dan harus diciptakan oleh pendidik.
2.
Memberikan
suri tauladan;
Suri teladan
adalah alat pendidikan yang sangat efektif bagi kelangsungan komunikasi
nilai-nilai agama. Konsep suri teladan dalam pendidikan Ki Hajar Dewantoro
mendapat tekanan utamanya yaitu ing ngarso sung tulodo, metalui ing ngarso sung
tulodo pendidik menampilkan suri teladannya, dalam bentuk tingkah laku,
pembicaraan, cara bergaul, amal ibadah, tegur sapa dan sebagainya. Nilai-nilai
agama yang ditampilkan dalam bentuk pembicaraan dapat didengar langsung oleh
peserta didiknya. Melalui contoh-contoh ini nilai-nilai luh'ur agama tersebut
akan diinternalisasikannya sehingga menjadi bagian dari dirinya, yang kemudian
ditampilkannya pula dalam pergaulannya di lingkungan rumah tangga atau di
tempat la bermain bersama dengan teman-temannya.
Suri teladan
dapat menjadi alat
peraga langsung bagi peserta didiknya. Bila guru agama yang memberikan contoh
aplikasi nilai-nilai luhur agama, maka peserta didiknya akan mempercayainya,
karena yang mencontohkannya adalah orang kedua yang dipercayainya sesudah orang
tuanya.
Muhammad Qutb dalam bukunya Manhajut
Tarbiyatul Islamiyah, mengemukakan bahwa Rasulullah adalah benar-benar interpretasi praktis
yang manusiawi dalam menghidupkan akibat ajaran adab dan tasyri' Al-Qur'an yang
melandasi perbuatan pendidikan agama Islam serta penerapan metode pendidikan
yang Qurani.
Secara
pedagogis, semua manusia sejak kecilnya diberi fitrah Allah untuk cenderung
mencari suri teladan yang dapat dijadikannya pedoman untuk berbuat.
Fitrah untuk
mencari suri teladan ini harus dapat dimanfaatkan oleh pendidik. Apabila
keteladanan ini kita analisis secara pedagogis, ia bertumpu pada unsur-unsur
pembentukan diri, karena keteladanan yang disuriteladankan oleh pendidik,
secara tidak langsung akan diinternalisasikan atau diserap secara langsung oleh
peserta didik.
Pada hakikatnya
di lembaga pendidikan ini peserta didik haus akan suri teuladan, karena sebagian
besar hasil pembentukan kepribadian adalah keteladanan yang diamatinya dari
para pendidiknya. Di rumah, keteladanan ini diterimanya dari kedua orang tuanya
dan dari orang-orang dewasa dalam keluarga. Begitu pula keteladanan yang
dilihatnya di lingkungan sosial di tempat ia berinteraksi dengan lingkungmya.
Sebagai peserta
didik, murid-murid ini secara pasti meyakinkan semua yang dilihat,
didengarkannya dari cara pendidiknya adalah suatu kebenaran, sebab itu
ditirunya.
Secara
psikologis atau dari sudut ilmu jiwa, bahwa peserta didik secara garizah atau
bakat potensial ingin meniru yang dikaguminya, bahkan mungkin ia bertàklid atau
menerima sebagaimana adanya tingkah laku para pendidiknya karena guru-gurunya
adalah orang-orang yang dipercayainya memberikan pelajaran dan pendidikan
kepada mereka. Taklid garizi (meniru secara naluriah) ini mencapai puncaknya
bila penampilan orang yang hendak dijadikan panutan ini menimbulkan rasa kagumnya,
baik dalam berbicara, gerak-geriknya maupun perbuatannya.
Keùntungan taklid garizi ini
dalam pendidikan adalah karena dalam diri setiap peserta didik terdapat
keinginan untuk meniru. Pengaruh
suri teladan dalam penanaman nilai-nilai agama dapat secara langsung dan
disengaja.
Nilai-nilai
luhur agama Islain yang diajarkan kepada peserta didik bukan untuk dihafal
menjadi ilmu pengetahuan atau kognitif, tapi adalah untuk dihayati (afektif)
dan diamalkan (psikomotor) dalam kehidupan sehari-hari. Islam
adalah agama yang menuntut kepada pemeluknya untuk mengerjakannya sehingga menjadi
umat yang beramal
saleh.
Islam mengakui
bahwa manusia adalah makhluk dualisme yang menyatu di dalam dirinya unsur
jasmani dan rohani yang harus dijaga perkembangannya secara seimbang. Amal
saleh merupakan aplikasi dari penghayatan terhadap nilai-nilai luhur agama.
3.
Mengajak
dan mengamalkan.
Dalam teori
pendidikan terdapat metode belajar yang bernama Learning by daing
yaitu belajar dengan mempraktekan teori yang dipelajari. Dengan mengamalkan
ilmu yang dipelajari akan menimbulkan kesan yang mendalam sehingga menjadi
milik sendiri (internalisasi). Hasil belajar terletak dalam psikomotor yaitu
mempraktekkan ilmu yang dipelajari seperti nilai luhur agarna di dalam praktek
kehidupan sehari-hari.
Secara pedagogis
agama Islam yang dipelajari itu dituntut diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Dari itu kepada semua guru agama, harus dapat memberi motivasi agar semua
ajaran Islam itu diamalkan dalam kehidupan pribadi peserta didik, agar
nilai-nilai luhur agama ini tampak dalam perilaku mereka.
Dalam
hadis Rosulullah terdapat implikasi pedagogisnya sebagai berikut:
1.
Pendidik harus berusaha memberi motivasi dan merangsang perhatian peserta
didiknya untuk mau mengamalkan nilai-nilai agama secara penuh kesadaran,
2.
Pendidik berusaha membetulkan kesalahan dan kekeliruan pemahaman terhadap
nilai-nilai agama yang telah diketahui,
3.
Cara mendidik seperti yang dilakukan Nabi itu memberikan kepada jiwa
peserta didik dalam upaya menginternalisasikan nilai-nilai agama yang
ditransfer kepada mereka,
4.
Pendidik dituntut secara pedagogis menggunakan metode mengajak dan
mengamalkan.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Simpulan
Menurut ajaran islam manusia terdiri dari duaa unsur
yaitu unsur ardi “jasmaniah” dan samawi “rohaniah”.
Penerapan nilai dan moral agama ke dalam
pendidikan melalui rukun islam
diantaranya: Syahadat yang menyatakan pengakuan secara sadar akan ke-Esaan
Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, salat dapat membawa seseorang sangat
dekat dengan Allah, menunaikan ibadah puasa dimana akan mengajarkan pada
pendidik untuk bisa menahan hawa nafsu serta menahan rasa lapar dan dahaga,
menunaikan zakat yaitu mengajarkan kepada peserta didik untuk menanamkan sifat
penyantun terhadap sesama manusia yang lemah dan menimbukan kesadaran bahwa
rizki yang diberikan hanyalah titipan Allah semata, serta menunaikan ibadah
haji dapat ditanamkan kepada peserta didik antara lain ulet dalam berusaha mencapai
tujuan yang halal, sabar dan tekun dalam bekerja, mempunyai tenggang rasa yang
tinggi, mempunyai sikap yang tidak membedakan derajatdan lain sebagainya.
Kebudayaan merupakan hasil budi daya, karsa dan
interaksi manusia dengan lingkungannya. Timblnya kebudayaan yang dapat
memudahkan kehidupan manusia, karena digunakan untuk menunjang kehidupan baik
secara mandiri maupun secara bersama-sama.
Manusia dengan kebudayaan harus mengontrol
nilai-nilai luhur yang terdapat dalam agama, sebab manusia akan rusak karena
aturan-aturan yang disebutkan tidak normatif
dan tidak konstantif baku apabila tidak dikontrol.
Nilai-nilai luhur agama yang bersifat mutlak amat
diperlukan dalam kehidupan dan berguna bagi umat manusia dalam upaya memperoleh
rida Allah sebagai perwujudan menaati perintah dan larangan-Nya.
Upaya-upaya yang dilakukan pendidik untuk menjadikan
nilai-nilai luhur agama bagi peserta didik anatar lain dengan jalan menciptakan
pergaulan yang bersifat mendidik, keteladanan yang mencerminkan perilaku dan
tingkah laku yang dapat dihayati baik secara individu maupun bersama-sama, dan
mereka diajak mengamalkannya dengan berbagai cara seperti salat berjamaah dan
mengadakan perayaan hari besar islam.
3.2
Saran
1.
Sangatlah diperlukan keseriusan
peran serta dari pemerintah, para pakar pendidikan, juga para ulama untuk duduk
bersama mencari solusi bagaimana mengatur agar kualitas pendidikan kita semakin
hari tambah maju dan berbobot, khususnya dalam bidang agama. Karena tanpa basic
pendidikan agama, kita akan hancur dan hanyut dalam kenistaan dan kemewahan
dunia yang hanya bersifat sementara.
2.
Disamping itu pula, minimal
kurikulum pendidikan agama yang diajarkan di lembaga-lembaga swasta atau negeri
harus segera diselaraskan dengan konteks perkembangan zaman saat ini tanpa menghilangakn
identitas kita sebagai orang muslim. Demikian halnya dengan system dan
pengelolaannya yang membutuhkan pola dan management modern.
DAFTAR PUSTAKA
2.
Ikhsan, Fuad, 2005, “Dasar-dasar Pendidikan”, Reneka
Cipta, Jakarta
No comments:
Post a Comment