Saturday, March 1, 2014

PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA


2.1         Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia
Pendidikan Islam yaitu bimbingan jasmani dan rohani menuju terbentuk kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam. Dengan pengertian lain Pendidikan Islam merupakan suatu bentuk kepribadian utama yakni kepribadian muslim. Kepribadian yang memiliki nilai-nilai agama Islam memilih dan memutuskan serta berbuat berdasarkan nilai-nilai Islam dan bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai Islam. Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang bertujuan membentuk individu menjadi makhluk yang bercorak diri berderajat tinggi menurut ukuran Allah dan isi pendidikan adalah mewujudkan tujuan ajaran Allah (Djamaluddin 1999: 9).
Suatu hal yang tidak terlepas dalam wacana pendidikan di Indonesia adalah Pondok Pesantren. Ia adalah model sistem pendidikan pertama dan tertua di Indonesia. Dalam catatan sejarah, Pondok Pesantren dikenal di Indonesia sejak zaman Walisongo. Ketika itu Sunan Ampel mendirikan sebuah padepokan di Ampel Surabaya dan menjadikannya pusat pendidikan di Jawa. Para santri yang berasal dari pulau Jawa datang untuk menuntut ilmu agama. Bahkan di antara para santri ada yang berasal dari Gowa dan Talo, Sulawesi.
Menurut Fadlil Aljamali tujuan pendidikan islam adalah sebagai berikut: Pertama mengenalkan manusia akan peran diantara sesama (makhluk) dan tanggung jawab pribadinya. Kedua mengenalkan manusia akan interaksi sosial dan tanggung jawab dalam tata hidup bermasyarakat. Ketiga mengenalkan manusia akan alam ini dan mengajak mereka untuk mengetahui hikmah diciptakan serta memberi kemungkinan untuk mengambil manfaat dari alam tersebut. Keempat mengenalkan manusia akan pencipta alam ini (Allah) dan memerintahkan beribadah kepada-Nya.
Dengan demikian sesungguh pendidikan Islam tak saja fokus pada education for the brain tetapi juga pada education for the heart. Dalam pandangan Islam karena salah satu misi utama pendidikan Islam adalah dalam rangka membantu peserta didik mencapai kesejahteraan lahir. Demikian pula pendidikan Islam mesti bersifat integralitik berarti ia harus memandang manusia sebagai satu kesatuan utuh kesatuan jasmani rohani, kesatuan intelektual emosional dan spiritual, kesatuan pribadi dan sosial, dan kesatuan dalam melangsungkan mempertahankan dan mengembangkan hidup dan kehidupannya.
Pendidikan Islam baik sebagai konsep maupun sebagai aktivitas yang bergaerak dalam rangka pembinaan kepribadian yang utuh paripurna memerlukan suatu dasar yang kokoh. Kajian tentang pendidikan Islam tak lepas dari landasan yang terkait dengan sumber ajaran Islam yaitu Al-Qur’an dan Hadist :([1])
1.     Al-Qur’an
§    Al-Qur’an ialah firman Allah berupa wahyu yang disampaikan oleh Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Ajaran yang terkandung dalam Al-Qur’an itu terdiri dari dua prinsip besar yaitu yang berhubungan dengan masalah keimanan yang disebut aqidah dan yang berhubungan dengan amal disebut syari’ah. Oleh karena itu pendidikan Islam harus menggunakan Al-Qur’an sebagai sumber dalam merumuskan berbagai teori tentang pendidikan Islam sesuai dengan perubahan dan pembaharuan.
2.     As-Sunnah
As-Sunnah ialah perkataan perbuatan ataupun pengakuan rasul. Sunnah merupakan sumber ajaran kedua sesudah Al-Qur’an yang juga sama berisi pedoman untuk kemaslahatan hidup manusia dalam segala aspek untuk membina umat menjadi manusia seutuh atau muslim yang bertaqwa. Untuk itulah Rosulullah menjadi guru dan pendidik utama. Maka dari pada itu Sunnah merupakan landasan kedua bagi cara pembinaan pribadi manusia muslim dan selalu membuka kemungkinan penafsiran berkembang.
3.     Ijtihad
Ijtihad adalah berfikir dengan menggunakan seluruh ilmu yang dimiliki oleh ilmuan syari’at Islam untuk menetapkan atau menentukan sesuatu hukum syara’ dalam hal-hal yang belum ditegaskan oleh Al-Qur’an dan Sunnah.
Namun dengan demikian ijtihad dalam hal ini dapat saja meliputi seluruh aspek kehidupan termasuk aspek pendidikan tetapi tetap berpedoman pada Al-Qur’an dan Sunnah. Oleh karena itu ijtihad dipandang sebagai salah satu sumber hukum Islam yang sangat dibutuhkan sepanjang masa setelah Rosululloh wafat. Sasaran ijtihad ialah segala sesuatu yang diperlukan dalam kehidupan yang senantiasa berkembang.

Pemerintah melalui Departemen Agama telah mengeluarkan kebijak-sanaannya dalam pendidikan, yaitu dengan SK Menteri Agama tentang penyelenggaraan pendidikan agama. Maka berdirilah MI, MTs, MA dan IAIN dengan tujuan mencetak ulama yang dapat menjawab tantangan zaman dan memberi kesempatan kepada warga Indonesia yang mayoritas muslim mendalami ilmu agama. Ijazah pun telah disetarakan dengan pendidikan umum sesuai dengan SK bersama tiga menteri (Menag, Mendikbud, Mendagri). Dengan demikian lulusan madrasah disetarakan dengan lulusan sekolah umum negeri.
Namun demikian, setelah berjalannya proses kebijakan tersebut, terbukti masih terdapat kelemahan-kelemahan, baik mutu pengajar, alumni (siswa) dan materinya, sehingga cita-cita mencetak ulama yang handal kandas di tengah jalan. Hal ini terbukti masih dominannya lulusan pendidikan agama dalam soal keagamaan. Bahkan lulusan madrasah dapat dikatakan serba tanggung, menjadi seorang profesional pun tidak, ulama pun tidak. Sehingga pada waktunya nanti Indonesia akan mengalami kelangkaan ulama. Ini terbukti dengan menjauhnya masyarakat dari madrasah. Mereka lebih bangga menyekolahkan anak-anaknya di sekolah-sekolah umum. Alasannya sederhana, lulusan madrasah sulit mencari pekerjaan dibanding lulusan sekolah umum, walaupun pendapat ini tidak seluruhnya benar, tapi demikianlah yang kini berkembang di masyarakat.
Begitu pula dalam masalah pendidikan, kepentingan dan keinginan umat Islam juga ditampung di Departemen ini. Namun sangat disayangkan perhatian para pemimpin negeri ini kurang begitu besar terhadap pendidikan Islam di bawah naungan Depag ini. Hal ini terbukti dengan anggaran yang sangat berbeda dengan saudara mudanya yaitu pendidikan nasional. Perbedaan perhatian dengan wujud kesenjangan anggaran ini kemudian menyebabkan munculnya perbedaan kualitas pendidikan yang berbeda. Di satu sisi lembaga-lembaga pendidikan yang di bawah departemen pendidikan nasional mengalami perkembangan cukup pesat sementara pendidikan Islam yang berada di bawah payung Departemen Agama “terseok-seok” dalam mengikuti perkembangan zaman.
Di tengah gagalnya sebagian sistem pendidikan Islam dewasa ini, ada baiknya kita menyimak kembali sistem pendidikan pesantren. Dalam hal ini, Gontor telah berani melangkah maju menuju perubahan yang sangat pesat dalam menjaga kearifan perkembangan Islam saat ini. Penggunaan dasi dan celana yang diterapkan Gontor adalah untuk mendobrak mitos bahwa santri selalu terkebelakang dan ketinggalan zaman. Prinsip ini tercermin dengan masuknya materi bahasa inggris menjadi pelajaran utama setelah bahasa Arab dan agama, dengan tujuan agar santri dapat mengikuti perkembangan zaman dan mampu mewarnai masyarakat dengan segala perubahannya.
Gontor mempunayi empat prinsip, yaitu: berbudi tinggi, berbadan sehat, berpikiran bebas dan berpengetahuan luas. Langkah-langkah reformasi yang dilakukan Gontor pada gilirannya melahirkan alumni-alumni yang dapat diandalkan, terbukti dengan duduknya para alumni Gontor di berbagai bidang, baik di instansi pemertintah maupun swasta. Bila mazdhab Ampel telah melahirkan para ulama, pejuang kemerdekaan dan mereka yang  memenuhi kebutuhan lokal, maka Gontor telah memenuhi kebutuhan di segala sendi kehidupan di negeri ini.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa lembaga-lembaga pendidikan Islam, khususnya pesantren telah banyak memberikan andil bagi bangsa Indoneisa, baik dahulu maupun kini. Kehandalan pondok pesantren selama berabad-abad, walau dengan segala kesederhanaannya masih menjadi harapan umat Islam sebagai benteng satu-satunya bagi umat Islam dan kelimiahannya. Karena dari sanalah lahir generasi-generasi yang melanjutkan da’wah Islam.


[1] Prof. Dr. A. Tafsir, dkk., cakrawala penididikan islam, Bandung: Mimbar Pustaka, 2004, Hal. 2

No comments:

Post a Comment